Setelah perjalanan yang cukup jauh, Akhirnya Tama sampai juga di alamat tersebut. Siapa sangka jika alamat itu tidak jauh dari desa sekartaji, dimana Raflina berasal. Cuma beda kecamatan saja.
Suasana desa itu sungguh sangat berbeda dengan yang foto yang dipegangnya sehingga dia kesulitan untuk menemukan rumah tersebut. Terlebih jarang ada rumah joglo di desa itu. Tapi Pria itu tidak parah arang. Dia terus mengelilingi desa itu dan memastikan alamatnya.
Sampai dia terhenti di sebuah rumah lawas yang di kelilingi oleh pohon rindang. Tama memperhatikannya lamat-lamat. Meski bagian wuwungan dari rumah itu hancur tapi pondasinya masih sangat kokoh sehingga tidak menghilangkan bentuk aslinya.
Tama turun dari mobilnya. Dia mengangkat foto lawas ditangannya ke depan, mencoba membandingkan dengan rumah yang sudah hancur itu. Hatinya bergemuruh. Tidak salah lagi. Rumah ini pasti ada sangkut pautnya dengan masa lalu leluhurnya.
"Nyuwun Sewu Mas, sampeyan ngapain di sini?" tanya seorang pemuda sambil menepuk pundaknya. Tama terhenyak lalu menoleh ke sumber suara. Terlihat seorang pemuda berumur kurang lebih 19 tahun sedang memandanginya keheranan.
"Oh...emmm...enggak Dik! Kamu tahu enggak asal usul rumah ini?" tanya Tama yang sedikit terbata-bata karena masih terkejut dengan kedatangan pemuda itu yang tiba-tiba. Pemuda itu tampak terdiam sejenak. lalu dia berujar,
"Kata orang-orang sih, rumah ini sudah ada pada zaman penjajahan. Tapi aku tidak tahu pasti sih Mas. Oh iya, perkenalkan mana saya Rama." Ujar pemuda itu sambil mengulurkan tangannya. Tama dengan senang hati menyambutnya dengan mengenggam tangannya dengan erat.
"Saya Tama." Sahutnya pendek.
"Kalau Mas, mau tahu tentang sejarah rumah ini. Mari saya antar ke rumahnya Mbah Singo, dia adalah tetua di desa ini." tuturnya.
"Boleh sekali Rama, Tolong antarkan saya ke sana," sahut Tama sangat antusias. Langsung dia mengajak pemuda itu masuk ke mobilnya untuk membawanya menuju rumah tetua desa itu.
Tidak berselang lama, mereka sampai di depan rumah sederhana yang terbuat dari kayu. Terlihat seorang Pria tua yang sedang duduk santai di teras rumahnya. Rama menunjuk ke arah pria tua itu sambil mengatakan bahwa dia adalah Mbah Singo. Lantas mereka pun turun dan menghampirinya.
"Selamat siang Mbah." sapa Tama penuh hormat. Pria tua yang sedang menyenderkan badannya ke pun menegakkan badan. Mata tuanya tampak membulat melihat kehadiran Pria berkulit putih itu. Pria itu segera meraih tongkatnya untuk berdiri dan menghampiri Tama.
"Shinichi..." matanya berkaca-kaca. Lalu dia melepas tongkatnya dan menubruk tubuh Tama. Seketika Tama terhenyak, tapi dia tidak kuasa untuk menolak pelukan orang tua itu.
"Mari duduk dulu Mbah."Tama pun menuntunnya untuk kembali duduk di kursi. Pria tua itu masih mengusap air mata yang menetes di wajahnya yang keriput. Sungguh dia sangat bahagia sekali atas kedatangan Tama, yang membuat Tama justru kebingungan.
"Mohon maaf kek, sebelumnya perkenalkan dulu. Nama saya Tama dari kota. Kedatangan saya kemari ingin menanyakan perihal rumah joglo tua ini." jelas Tama setelah membiarkan pria tua itu berhenti menangis.
Mbah Singo mengamati foto itu dengan seksama seakan sedang menyelami sebuah kenangan berpuluh-puluh tahun yang lalu.
"Darimana kamu mendapatkan foto ini, Nak?"
"Dari almarhumah ibu saya Mbah, namanya Cindy."
"Apa yang kamu maksud Hana Motokura?" sahut Mbah Singo yang membuat Tama tidak mengerti dengan nama jepang yang terasa asing di telinganya.
Dia mengelus-elus keningnya yang sudah dipenuhi keriput, pertanda dia sudah kenyang dengan pahit getirnya hidup. Dengan pandangan lurus ke depan dia mulai bercerita.
"Dulu pada masa penjajahan Jepang, datanglah seorang serdadu yang bernama Shinichi. Dia adalah serdadu jepang yang baik dan sangat menentang segala bentuk penindasan. Hanya saja dia adalah seorang serdadu yang wajib tunduk dengan kekaisaran jepang, sehingga dia tidak bisa berbuat macam-macam."
"Aku ingat ketika dia diam-diam datang ke desa ini sambil membawa bahan-bahan pangan. Kebetulan dia adalah serdadu yang bertugas untuk mengawasi kebutuhan logistik para tentara jepang dengan membawa sebuah truk besar. Dia sengaja 'mencuri'nya dan memberikannya kepada kepada saya selaku tetua desa pada saat itu untuk dibagikan kepada warga yang mengalami kesusahan pangan." Dia terdiam sejenak. menyeka air matanya. Tama tersenyum kecil sambil mengelus-elus pundak pria tua itu.
"Seiring seringnya dia datang ke sini, dia bertemu dengan seorang janda desa Juminten. Meskipun Juminten secara fisik kurang menarik, sehingga dia luput dari penculikan jepang tapi entah kenapa Shinichi menetapkan hatinya kepada wanita itu dan berniat menikahinya. Meskipun dilakukan sembunyi-sembunyi, Tapi seluruh warga desa sudah mengetahuinya."
"Terus apa yang terjadi Mbah?" kejar Tama yang seakan larut dalam cerita pria tua itu.
"Sampai tersiar kabar bahwa Shinichi meninggal tertembak oleh komandannya karena berusaha untuk melindungi Jugun ianfu. Hal itu membuat Juminten frustasi. Tapi dia tidak patah semangat. Dia berusaha bertahan demi buah cinta mereka yang bernama Hana Motokura Dan Ken Shimizu."
Tama memperhatikan cerita Mbah Singo dengan seksama. Seakan tidak mau meninggalkannya walau sedetik saja. seandainya dia bisa bertahan untuk tidak berkedip, dia pasti akan memusatkan penglihatannya tanpa berkedip walau hanya sekali.
Beberapa orang desa terlihat menatapnya aneh. Tapi Tama sama sekali tidak mengubrisnya. Dia lebih terfoku kepada cerita Mbah Singo.
"Seiring berjalan waktu, mereka tumbuh menjadi remaja yang rupawan. Hana dengan kecantikannya sementara Ken dengan ketampanannya. Namun, demi keselamatan mereka, mereka menggunakan nama samaran. Supaya warga bisa diterima oleh masyarakat."
"Tapi keberadaan Ken dan Hana sangat meresahkan warga desa. Wajah mereka mengingatkan akan penjajah di masa lalu. Warga yang dendam pun berusaha untuk mengusir mereka dari kampung itu. Aku sebagai tetua desa, tidak mampu untuk menghalau mereka. hal yang sangat aku sesali hingga sekarang."
"Juminten yang mengetahui hal itu segera menyuruh anak-anaknya untuk lari dari pintu belakang. Hanya Hana yang menuruti keinginan ibunya untuk lari. Sementara Ken yang merasa emosi menghadang para warga di depan. Juminten berusaha menarik-narik tangan putranya itu tapi percuma saja. Warga yang sudah siap dengan batu ditangannya segera menghujani tubuh mereka dengan batu sehingga tewas seketika. Hana hanya bisa menangis dan lari sekencang-kencangnya dengan sebuah kotak hitam berisi beberapa foto." Pungkas Mbah Singo dengan nafas yang sesak. Sepertinya berat sekali untuk menceritakan kisah yang tragis itu.
"Sebentar Mbah." Tutur Tama sambil merogoh sesuatu dari saku celananya. Lalu dia memberikan foto bu Cindy kepada Mbah Singo. Berjaga-jaga saja kalau diperlukan. Tapi sekarang foto itu sangat dibutuhkan.
"Iya, tidak salah lagi. Ini Hana Motokura. Dan kamu adalah anaknya. Wajah kamu sangat mirip dengan mendiang kakekmu Shinichi yang baik hati itu Nak." Tukas Mbah Singo mantap. sekarang Tama semakin yakin akan asal usulnya. Ternyata dia adalah garis keturunan Shinichi. Dia mewarisi darah dari penjajah jepang!
"Mbah, kalau boleh tahu apa nama samaran yang digunakan oleh Ken Shimizu, saudara ibu itu?"
"Nama samarannya adalah Rama." Sahutnya singkat. Tama terbelalak. Dia melihat kesekitar. Dia baru menyadari bahwa seorang pemuda yang mengantarkannya tadi menghilang secara misterius. Dan pemuda itu bernama Rama? Jangan-jangan.
Tama lalu menoleh kembali ke arah Mbah Singo. Dia heran kakek tua itu juga tidak ada di sampingnya. Jelas sangat mustahil baginya untuk bangkit dan berjalan terlebih dia harus menggunakan tongkatnya.
Tama berdiri lalu membalikan badannya. Matanya nanar saat melihat pemakaman di depannya. Padahal jelas-jelas tadi dia melihat rumah kayu. Sementara kursi yang sedari tadi dia duduki ternyata adalah sebuah makam yang bertuliskan Mbah Singo!