webnovel

Bab 9 - Seorang prajurit

Untung saja kedua tembakan itu meleset, dengan cepat Walther meloncat ke belakang pohon terdekat untuk berlindung.

[Bang!] [Bang!] [Bang!]

Walaupun dia telah bersembunyi di balik pohon, dia tetap saja dihujani oleh banyak peluru.

"Tunggu! Aku manusia! Sama seperti kalian," Walther berteriak dengan keras agar orang berbaju hijau itu mendengarnya.

"Berhenti! Berhenti!" kata salah satu dari mereka, terlihat seperti pemimpin orang - orang tersebut. Dia memiliki rambut berwarna hitam dengan beberapa helai rambut putih di bagian depan kepalanya.

"Apa kalian tidak dengar!? Dia manusia."

"Tapi aku tadi melihat matanya berwarna merah, dia pasti zombie yang sedang menyamar," sahut yang lainnya.

"Zombie yang menyamar? Apa kau sudah gila?" sahut pemimpin itu lagi.

Anak buah yang lain langsung menjawab frontal bersama segudang emosi yang menyertainya.

"Memangnya kenapa? Dunia ini sudah gila semenjak 'hari terakhir' terjadi, istri dan anakku telah meninggal secara tragis di dunia yang gila ini," katanya saat air mata perlahan menetes keluar dari matanya.

Dia masih mengarahkan senapan apinya ke arah tempat Walther bersembunyi,

"Jika dunia ini menjadi gila, bukankah tidak apa - apa bila aku ikut menjadi gila juga?"

Melihat keadaan yang mulai menjadi ruyam, pria beruban itu perlahan mendekati pria yang sedang bersedih itu, saat ini tidak ada setitik ekspresi kemarahan pun di wajahnya.

Lalu dia tersenyum sambil memegangi pundak pria tersebut,

"Memang aku akui bahwa dunia ini sudah gila."

"Tidak," tambahnya lagi sambil menggelengkan kepalanya, dia tetap tidak menghilangkan senyumnya.

"Aku akui bahwa aku dan dunia ini telah menjadi gila, tapi kemudian aku menyadari bahwa bahkan di dunia yang telah gila ini masih terdapat manusia - manusia yang berharap akan kembalinya dunia menjadi seperti semula, dunia di mana kita bisa hidup dengan tenang di dalamnya, dan orang - orang itu semua ada di belakang kita. Mereka adalah eksistensi manusia yang sebenarnya, apa kau ingin membuat sisa - sisa peradaban manusia ikut menggila bersama dunia ini? Oleh karena itu, kita sebagai prajurit di sini bertempur untuk melindungi mereka, mereka yang masih memiliki harapan di dada mereka," jelas pemimpin itu sambil memandang langit di kejauhan.

"K-ketua," kata pria itu dengan gagap, kali ini dia sudah menurunkan senapan api miliknya. Dia tidak berpikir sejauh itu, dia hanya ingin mengarahkan semua kesedihannya pada dunia ini, dia tidak ingin membuat peradaban manusia jadi hancur karenanya.

"Aku tahu bahwa kau sudah gila, aku sendiri juga sudah cukup untuk disebut gila, tapi apa kau ingin semua manusia juga ikut gila bersamamu?"

"T-tidak, Pak," katanya.

Seolah telah menerima wahyu, matanya yang semula redup sekarang menjadi sedikit bercahaya karena ucapan ketua.

Melihat prajurit itu telah mendapatkan semangatnya lagi, membuat pria beruban itu tersenyum lembut.

"Kurang keras," katanya lagi.

Kali ini yang menjawab bukan hanya prajurit yang bersedih itu, tapi juga semua prajurit yang ada di sana.

"TIDAK, PAK!!"

Saat keadaan mulai menenang, Walther sekali lagi menunjukkan batang hidungnya dari balik pohon.

Ketika ketua melihat Walther keluar dari balik pohom, dia segera mengecek kondisi tubuh Walther.

Saat ini dia benar - benar merasa bersalah karena telah membiarkan anggotanya menembaki Walther.

"Hey, apa kau baik - baik saja? Maaf, kami tadi panik dan mengira kau adalah zombie," kata ketua sambil sedikit menundukkan kepalanya.

Sebenarnya Walther merasa geram pada orang - orang ini, baru saja bertemu dan mereka sudah menembakinya tanpa pamrih.

Namun jika dia membiarkan emosi menguasai dirinya maka keadaan akan menjadi semakin rumit dan dia tidak akan bisa menemukan kelompok Anne.

Lagipula dia juga tidak ingin bila orang - orang ini memandangnya sebagai orang yang rendah.

Untuk itu lebih baik bagi Walther untuk tetap bersabar,

"Tenang saja, aku tidak apa - apa."

"Untunglah kalau begitu," desah ketua itu lega.

"Ngomong - ngomong aku Dean, ketua unit 7 divisi pertahanan, kebetulan kami sedang menjaga pos depan saat kau datang," kata Dean sambil mengulurkan tangannya pada Walther.

Walther menjabat tangan Dean seraya berkata,

"Aku Walther, Pen Walther. Aku tadi terpisah dari kelompokku, apa kau tahu tentang seseorang yang bernama Anne?"

Samar - samar Dean merasa familiar dengan nama tersebut, dia berpikir sejenak tapi tetap saja tidak menemukan jawaban yang dia cari. Jadi dia hanya bisa menggelengkan kepalanya,

"Maaf nak, aku tidak punya kenalan bernama Anne, bisakah kau sebutkan nama - nama anggota lainnya? Mungkin aku bisa mengenali salah satu anggota lainnya."

"Anggota lainnya? Bagaimana dengan Linda? Dia adalah gadis pirang berkacamata."

Sama seperti sebelumnya, dia hanya menggelengkan kepalanya.

"Bagaimana dengan Marco?" tanyanya pada Dean, kali ini dia terlihat ragu.

Ketua Dean tetap menggelengkan kepalanya.

'Mungkinkah kelompok Anne tidak datang ke tempat ini? Apa aku telah mengikuti jejak yang salah?'

"Kalau Paman Lan?" kata Walther lagi, jika memang kelompok Anne tidak datang ke tempat ini maka dia hanya akan hidup di benteng ini, dia tidak akan repot - repot mencari mereka lagi.

Namun saat Dean mendengar kata 'Paman Lan' terucap dari mulut Walther, dia tiba - tiba menjadi sedikit antusias.

"Paman Lan? Apa yang kau maksud Si Tua Lan itu?"

Walther bingung,

"Aku tidak tahu nama panggilan apa yang dia miliki, tapi sepertinya itu memang dia."

"Kau beruntung, baru saja kelompok miliknya telah kembali ke dalam benteng. Jadi itu yang terjadi ya, hal tersebut menjelaskan kenapa mereka tadi memiliki wajah yang suram, mungkin mereka mengira kau telah hilang atau terbunuh," tambahnya sambil menggosok bagian bawah dagunya.

"Kalau begitu baguslah, setidaknya mereka ada di sini."

"Apa kau mau aku mengantarmu ke pangkalannya?" tawar Dean.

Jika itu benar, maka Walther akan menerima bantuan itu dengan senang hati.

"Apa kau tidak kerepotan bila mengantarku?"

Mendengar hal tersebut membuat Dean tertawa terbahak - bahak, dia memukul punggung Walther dengan keras seraya berkata,

"Tenang saja, Nak. Aku dan Lan dulu adalah teman saat berperang, membantumu sama dengan membantu dirinya, jadi jangan terlalu dipikirkan."

"Maaf merepotkan," kata Walther sambil menggaruk bagian belakang kepalanya.

Kemudian Dean menghadap ke pasukannya,

"Aku akan mengantar anak muda ini dahulu, kalian tetap jaga pos ini, aku akan segera kembali."

"Siap, Pak!" kata semua orang di pasukan.

Setelah itu, Dean berjalan ke mobil jip hijau yang terparkir di samping pos penjagaan. Lalu dia masuk dan menyalakan mesinnya,

"Ayo cepat naik, apa kau tidak ingin bertemu dengan teman - temanmu?" goda Dean pada Walther.

Sebenarnya Walther tidak terlalu peduli dengan kelompok Anne, tapi untuk hidup di dunia ini dia butuh identitas dan pendukung, jadi untuk sementara ini dia akan hidup bersama Anne dan kelompoknya.

"Baiklah aku datang," kata Walther saat dia masuk ke dalam mobil jip itu.

Dean segera mengemudikan jip itu untuk memasuki pintu gerbang yang telah dibuka oleh prajurit lainnya.

Saat melewati gerbang, Walther dapat melihat jelas tekstur gerbang dan dinding yang terbuat dari kayu tersebut. Sepertinya tembok itu dibuat secara tergesa - gesa, masih terdapat beberapa kayu kasar yang tidak rata, tapi itu sudah cukup untuk mengatasi zombie dan makhluk mutan yang lemah.

Ketika Walther sudah berada di dalam benteng, dia kecewa. Itu karena benteng ini tidak seperti benteng yang ada di dalam bayangannya. Saat bertama kali dia mendengar kata 'benteng' keluar dari mulut Anne, dia langsung membayangkan sebuah kastil besar yang tidak tergoyahkan.

Jadi dia agak kecewa saat mengetahui bahwa benteng sebenarnya hanyalah tempat pengungsian, di mana pun arah Walther memandang hanya ada tenda, tenda dan tenda.

"Maaf bila aku lancang, sebenarnya apa yang sedang terjadi di sini? Maksudku di dunia ini. Aku tahu bahwa zombie dan monster muncul di mana saja, tapi apa yang menyebabkan mereka muncul?" tanya Walther saat dia mencoba menggali informasi dari Dean. Meskipun dia tahu dari sistem bahwa ada sebuah ledakan misterius di bagian utara dunia ini, dia ingin tahu secara detail dari orang - orang yang hidup di dunia ini.

Mendengar itu membuat Dean mengingat beberapa memori buruk, dia menghela napas dan mulai berbicara,

"Aku sendiri juga tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi di dunia ini. Sekitar 2 minggu yang lalu, tiba - tiba saja kabut abu - abu aneh mulai beterbangan dari utara yang membuat beberapa manusia menjadi zombie serta membuat makhluk hidup lainnya berevolusi."

Dean berhenti sejenak, merenung, lalu melanjutkannya lagi,

"Pada saat itu, kota tiba - tiba menjadi kacau seperti sedang kiamat, zombie dan monster bermunculan di mana - mana, kami menyebutnya sebagai hari terakhir. Awalnya kita bertempur untuk melindungi kota, namun kita kalah jumlah maupun persenjataan, jadi pemerintah pun mulai mengevakuasi seluruh penduduk menuju hutan terdekat, apa kau ingin mengerti kenapa kita memilih hutan sebagai tempat persembunyian? Akan kuberi tahu, entah kenapa para monster menjadi ketakutan saat mendekati hutan, tentu saja kami penasaran jadi kami mengadakan ekpedisi menyeluruh pada hutan ini, tapi berapa kali pun kami mengelilingi dan memasuki hutan ini, kami tidak menemukan alasan mengapa para monster itu ketakutan, jadi kami menggunakan hutan ini sebagai pengungsian."