Hari ini, Mirna harus melepas suaminya Zayn untuk pergi ke kota. Meskipun berat, tetapi dia harus merelakan suaminya itu untuk pergi ke kota untuk mencari nafkah. Di depan rumah, Zayn sudah siap diatas motornya sementara Mirna di sampingnya.
"Janji ya Mas, nanti kalau sudah sampai sana kabari aku." tuturnya sembari masih bergelayut manja di tangan Zayn yang kekar. Lelaki itu hanya tersenyum sambil mengelus lembut dagunya lembut.
"Iya sayang, aku janji nanti kalau udah sampai sana langsung hubungi kamu." sahutnya.
"Janji ya."
"Iya."
Lalu Zayn menatap wajah istrinya dalam-dalam. Dia mendekatkan mulutnya lebih dekat. raut wajah Mirna bersemu merah saat mengetahui apa yang dilakukan oleh suaminya itu. tetapi dia juga tidak mau mengelak. Tetapi ketika bibir mereka akan bertemu tiba-tiba terdengar suara deheman dari belakang.
"Ehem... di depan rumah lho ini." seloroh ayahnya yang menggoda. Seketika mereka langsung menjauh satu sama lain. Mirna terlihat salah tingkah. Sementara Zayn bersikap biasa saja.
"Ah, bapak ini kayak enggak pernah muda saja." sahutnya santai. terlihat ibu yang baru keluar dari dalam rumah pun berjalan ke depan mencubit lengan suaminya itu.
"Ayah, jangan ganggu mereka dong." Ujar istrinya. Sementara Pak Bagus hanya terkekeh. Untung saja adegan tadi tidak terlihat oleh Amel, kalau sampai lihat pasti anak cerewet dan cerdas itu akan bertanya macam-macam. Tentu mereka akan sangat gelapan untuk menjawabnya.
"Pak, Bu. aku pergi dulu ya." Ujar Zayn yang mulai menstater motornya.
"Hati-hati di jalan." sahut Ibu.
"Aku pergi dulu ya sayang." ucap Zayn kepada istrinya yang terlihat sendu wajahnya, sehingga membuat hatinya menjadi sangat trenyuh. Sebenernya dia tidak ingin pergi untuk saat ini. tetapi waktu cutinya yang hanya empat hari membuatnya tidak bisa berbuat banyak. Dengan berat hati dia meninggalkan istrinya tercinta itu.
"Kamu hati-hati di jalan ya." Lirih Mirna lantas motor tua Zayn langsung melaju meninggalkan pelataran rumah dan berlalu begitu saja.
Mirna menghela nafas berat. Dia sekarang harus mulai terbiasa dengan kehidupannya yang tidak selalu bisa bersama dengan Zayn. Meskipun, dia tidak benar-benar mencintai pria itu, tetapi entah kenapa, dia merasa sepi saja kalau tidak ada Zayn di sampingnya.
"Ayo masuk Nduk," tukas Bu Nining yang berjalan masuk ke dalam rumah bersama suaminya. Lalu masuk ke dalam rumah mengikuti mertuanya lebih dahulu.
Pagi itu Mirna yang bertugas untuk mengerjakan pekerjaan rumah Seperti beres-beres rumah. hal yang sangat jarang sekali dia lakukan semasa di rumahnya dulu maupun selama ngekos. Dia awalnya juga agak kikuk. Tapi dia memaksakan diri untuk mulai membiasakannya.
Memasak, Mirna sama sekali tidak bisa memasak. Kalau di dapur, dia hanya memperhatikan Nining mertuanya memasak. Wanita itu tidak segan untuk mengajari menantunya masak. Meskipun, Mirna masih sangat awan, bahkan dia tidak bisa membedakan mana jahe sama lengkuas. Tetapi Bu Nining dengan sabar membimbingnya. Selama ada niat, pasti ada jalan juga.
Sementara Pak Bagus pun bersiap-siap pergi ke sawah. Masa tanam sudah usai. Dia tinggal menjaga tanamannya itu dari gangguan para hama saja.
Bu Nining yang sudah selesai memasak pun bergegas mandi. setelah itu dia langsung berdandan.
"Ibu Mau kemana?"
"Eh, mau pergi ke sekolahnya Amel. Ada rapat orang tua." Tuturnya. Mirna hanya ber'o' pendek. Entah kenapa, dia merasa enggak enak saja kalau ditinggal di rumah sendirian. Terlebih kejadian kemaren yang masih membekas di benaknya.
"Kamu mau ikut?" tanya Bu Nining yang setelah selesai menggelung rambutnya. Dia sudah tampak cantik dengan kemejanya.
"Tidak Bu, masa rapat orang tua, saya ikut." Ujarnya dengan terbata-bata. Nining hanya tersenyum lalu memegang kedua pundak menantunya itu.
"Ya sudah kamu tinggal di rumah saja. ibu tidak lama kok. Paling juga dua jam saja." ujarnya. Mirna hanya mengangguk sembari tersenyum kecil.
"Ibu pergi dulu ya."
"Iya, Bu."
Kini hanya Mirna sendiri di rumah itu. dia mengitarkan pandangan ke rumah itu dengan agak ngeri. Kalau ada penghuni lain, rumah itu tampak biasa saja. tetapi kalau hanya dirinya seorang. Seperti ada sesuatu yang memperhatikan tapi entah apa.
"Ah, Mungkin perasaanku saja." gumamnya menghalau pikiran negatif. Mirna pun berdiri dan berjalan ke arah belakang. Dia tadi lupa untuk menjemur bajunya.Di belakang rumah itu, terdapat sebuah gubuk kecil yang letaknya terpisah dengan rumah yang berisi dengan kayu bakar untuk memasak dan tempat menjemur pakaian saja. Tidak ada ternak yang biasanya di pelihara di belakang rumah seperti orang-orang desa pada umumnya. Dia tertegun melihat tanah kosong yang berbatasan dengan rumah Zayn.
Sejauh mata memandang, dia tidak melihat rumah lain. Yang ada hanya pepohonan mangga yang di bawahnya ditumbuhi oleh ilalang-ilalang liar.
Kalau menilik ke kanan dan kekiri ada rumah tetangga yang jaraknya cukup jauh dan juga terpisah oleh tanah kosong seperti rumah pedesaan pada umumnya. entah kenapa dia merasakan bulu kuduknya merinding apa lagi melihat di bawah dibawa rerimbunan daun mangga yang agak gelap, meski ada beberapa titik cahaya matahari yang mampu menembus di sela-selanya.
Mirna menghela nafas sejenak. Dia hanya menunduk dan cepat-cepat menjemur bajunya. Semakin dia cepat menjemur bajunya, semakin dia bisa cepat masuk ke dalam rumah. Dia tidak mau terus-terusan berada pekarangan belakang itu yang semakin menakutkan.
"Mirna.." panggil suara serak. secara refleks Mirna menoleh dan mengedarkan pandangan ke arah pepohonan Mangga. Tetapi tidak ada siapapun. Raut wajahnya pias. Dia sangat yakin ada seseorang yang memanggilnya yang suaranya bersumber dari sana. tetapi..
Wanita itu lantas mempercepat menjemur bajunya. Setelah itu dia masuk ke dalam rumah dan menutup pintunya rapat.
Malam harinya, Mirna tidur sendirian. Di sampingnya tidak ada lagi Zayn yang biasanya tidur sembari mendekapnya dengan sangat mesra. tiba-tiba rasa rindu menyusup di hatinya. Padahal baru siang tadi, Zayn telfon mengabarkan bahwa dia sudah sampai di tempat kosnya dan langsung bekerja.
Beberapa kali wanita itu mengubah posisi tidurnya. Tetapi yang dia temukan hanya kehampaan hatinya. Entah kenapa hatinya masih belum bias menerima kenyataan tentang apa yang dia alami ini, Meski sudah ada Zayn lelaki sederhana yang mau menerima keadaannya dan menyayanginya dengan setulus hati. Tetap saja, ini bukan impiannya sama sekali.
Dia dulu bermimpi menikah dengan lelaki yang sangat tampan dan kaya raya. Kalau perlu seperti tokoh-tokoh CEO di novel yang biasanya dia baca. Tetapi ini, justru dia terperosok dalam kehidupan desa yang dia merasa bukan tempatnya. Meski dia sudah berusaha keras untuk menyesuaikan. Tetapi tetap saja, nalurinya sebagai orang berada pun meronta-ronta.
Mirna menghela nafas. Pelik rasanya memikirkan ini semua. Dia pun segera memejamkan matanya berharap supaya bisa lupa akan masalahnya. Tetapi baru beberapa saat memejamkan mata, tiba-tiba ada yang mengetuk jendela kamarnya.