webnovel

Crazy Girl

Di loby kantor Pt Abinaya, Shireen tengah duduk menunggu Sullivan. Sebelumnya dia sudah mengirimkan pesan akan menemui pria itu, meski tidak ada balasan. Shireen tetap berangkat, sejak terakhir pertemuannya dengan pria itu, dia merasa hidupnya tidak tenang. Setiap saat dirinya merasa ketakutan, diikuti oleh pembunuh bayaran.

Waktu menunjukkan pukul 12.30 seharusnya istirahat karyawan sedang berlangsung, mata Shireen tak berhentinya mengamati wajah setiap orang yang lewat. Dia berharap Sullivan segera muncul, karena dia tak tahan lagi dengan ketakutan dirinya.

Saat hatinya di puncak kegundahan, Sullivan muncul dari pintu lift. Shireen melompat kegirangaan ketika pria bertubuh kurus berkacamata yang ditunggunya, munul dihadapannya. Dia merasa kagum melihat Sullivan memakai kemeja berwarna cream dengan dasi yang senada, penampilannya jauh berbeda sepertti saat menemuinya di indekost.

Melihat Shireen tersenyum cengengesan, ullivan menepuk jidatnya yang sedikit lebar. Pria itu terkejut dengan kedatangan Shireen yang mendadak, dia melihat ponselnya dan baru membaca pesan dari wanita itu. Sullivan berjalan cepat, lalu menggeret tangan Shireen ke kantin kantor.

"Om ribet, lepasin!" pinta Shireen, mencoba melepaskan cengkraman Sullivan.

"Duduk!" perintah Sullivan, melepaskan tangan Shireen.

"Biasa aja donk, main geret aja, sakit tau suing," protes Shireen.

"Ngapain lo dateng kemari jam segini?"

"Ya, terus harus dateng jam berapa? Jam kunti? Tar disangka mau ehem ehem lagi sama aki-aki," ketus Shireen, wajahnya cemberut kesal.

"Emang lo suka kaya gettoh kan." Sullivan tersenyum mengejek.

"Jangan sembarangan ya Om ribet, aku tuntut atas pencemaran nama baik nanti."

"Lagu lo ketinggian, ada apaan kesini?"

"Kanada," jawab Shireen, cengengesan.

"Ye apaan, buruan dah gua banyak kerjaan neh," tandas Sullivan.

"Aku ikut ke Kanada, gegara Om ribet hidupku jadi terancam. Ayo aku ikut kesana ya Om, daripada di sini takut," tutur Shireen, menampakkan wajahnya yang ketakutan.

"Oh, ya udah," sahut Sullivan, matanya sibuk menatap ponsel.

"Bujug, gitu doank?"

"Apalagi she." Sullivan menoleh sesaat, lalu sibuk lagi dengan ponselnya.

"Ishy! Orang lagi takut juga, dia malah biasa aja," tukas Shireen, tatapannya tajam melihat Sullivan yang menunduk. Sesekali pria itu terlihat tersenyum simpul.

"Besok pagi jam 3 lo harus sudah di bandara, dua jam sebelum berangkat. Kita harus sudah check in, terus jangan terlalu bawa banyak barang. Kita di sana cuma seminggu, terus juga karena biaya bagasi mahal, ngerti?" Sullivan menjelaskan semuanya.

"Om,kan, orang berduit. Ngapain atuh mikirin uang bagasi yang cetek."

"Lo emang suka ngegampangin orang."

"Ya aneh, pemilik perusahaan kok pelit."

"Dont judge by the cover, gua ulangin perkataan gua tempo hari. Udah sana pulang, gua mau kerja lagi. Kalau dipecat gegara lo, kita batal ke Kanada," tegas Sullivan, dia beranjak pergi meninggalkan Shireen sendirian.

Shireen mengepalkan tangannya menahan geram, jarinya dia ketukkan keatas meja sambil terus merutuk mengucap amit-amit jabang bayi. Dia kesal dengan sikap dingin Sullivan, di sisi lain dia merasa tidak ada pilihan selain mengikuti pria itu.

"Juah-jauh kesini, nggak dikasih minum atau makan. Nggak di respon yang gimana gitu, aku ini sedang ketakutan. Tapi dia? Dia biasa aja santai, Yaa Allah kenapa harus kau pertemukan aku dengannya, menyebalkan!" Shireen bicara sendirian, beberapa orang melihat tingkahnya.

Sesaat sebelum pintu lift tertutup, Sullivan sempat melihat Shireen. Membaca raut wajahnya sekilas, Sullivan tahu Shireen kesal. Dia menggelengkan kepalanya, merasa lucu dengan tingkah gadis itu. Beberapa orang di dalam lift melihatnya tersenyum sendiri.

"Come on Sulli, what are you doing," bisik nya dalam hati.

Melihat Sullivan tersenyum adalah momentum yang langka. Karena pria itu selalu menunjukkan wajah dinginnya. Sullivan melirik ke belakang, karena ia merasa ada yang memperhatikan. Para karyawan langsung menundukkan kepalanya.

Di luar kantor, Shireen sudah di tunggu oleh anak buah Bryan. Saat sedang makan di kedai lesehan, dua preman itu mengapit dirinya. Shireen yang tidak sadar siapa mereka, tetap santai makan dengan kaki yang diangkat sebelah ke atas kursi.

"Enak banget makannya, Mbak," kata seorang pria bertato.

"Iya, masakannya lezat," sahut Shireen.

"Lebih enak lagi, kalau pisau ini nancap di perut mulus kamu," bisik pria tersebut.

Alis Shireen bertaut, ia melihat ke bawah, saat merasakan benda tajam itu ada di dekatnya. Napasnya tercekat saat menoleh ke samping kiri dan kanan posisinya. Ada dua pria tengah menghimpit dirinya.

Perlahan Shireen menjauhkan piring miliknya. Dia tetap bersikap biasa, meski jantungnya berdebar kencang. Tangannya menggeserkan mangkuk cabai, berjaga-jaga jika para preman itu bertingkah aneh.

"Ngapain kamu masuk kantor itu? Apa kamu kekasih Sullivan?" tanya pria bertato.

"Bu-- bukan-- apaan kekasih, gue jomblo Om." Shireen menggelengkan kepalanya cepat.

"Jangan bohong! Jawab dengan benar!" sentak pria tersebut menekan Shireen.

"Sumpah, demi apapun. Sullivan siapa, nggak kenal gue." Shireen mulai gemetar, ia menutup matanya.

"Dasar wanita penghibur! Jangan kamu pikir, saya tidak lihat tadi, kamu bicara dengannya. Jawab jujur siapa kamu dan apa hubunganmu dengan Sullivan!" Pria bertato menekankan pisau ke perut Shireen.

"Sullivan mana? Gue nggak tahu," kilah Shireen. Ia merasa hidupnya ujung tanduk.

"Ini!" seru pria di sebelah kanannya, menunjukkan selembar foto Sullivan.

"It-- itu-- dia, anu, emh. Dia Om Om yang gue-- tolong tempo hari di klinik. Gue-- ke sini-- nagih duit, karena dia belum bayar," jawab Shireen gugup.

"Kenapa ngomongnya gagap begitu, pasti kamu sembunyikan sesuatu!" cecar pria bertato.

Shireen menggelengkan kepalanya dan berkata, "Om, nya nodongin pisau. Saya, takut lah--," kata Shireen.

Pria bertato menoleh ke bawah, lalu menarik pisau dari perut Shireen. Shireen sedikit bernapas lega, tangannya mulai menggeser tempat cabai. Melihat para preman itu saling melemparkan pandangan. Shireen dengan sigap menginjak kedua kaki preman tersebut.

"Rasain!" Shireen menyiramkan cabai pada salah satu preman dan menonjok muka pria bertato. Lalu lari ke luar kedai lesehan.

"Kurang ajar!" teriak pria bertato.

"Panas, panassss." Temannya tak kalah berteriak, karena matanya penuh dengan cabai.

"Tuhan, kenapa hidup gue horor begini," ucap Shireen, dia kebingungan berlari entah ke mana.

Pikirannya panik diserang ketakutan, apalagi tadi sebuah pisau hampir menancap di perutnya. Shireen kembali melihat kantor Sullivan, ia memutuskan untuk masuk dan berlarian di dalam kantor mencari tempat sembunyi.

Tanpa peduli dengan tangga darurat, ia melewatinya dengan sangat cepat dan sampai di lantai empat. Ia menengok ke belakang, takut para preman itu masih mengejarnya.

"Haduh, gue sembunyi di mana ini." Shireen panik mencari tempat sembunyi.

Ia mencoba membuka satu persatu pintu, tapi semuanya terkunci rapat. Shireen tidak menyerah, sampai tiba diujung ruangan. Salah satu kamar terbuka, ia pun segera masuk dan bersembunyi di kamar mandi, lalu menguncinya dari dalam.

"Tuhan, sekali ini aja dengerin doa gue. Mohon Tuhan, ampuni jomblo ini," ucap Shireen.

Nächstes Kapitel