webnovel

Dia, Suamiku

"Nay."

Kanaya tidak menoleh sedikitpun ke sumber suara, ia berdehem untuk menjawabnya. Perempuan itu masih sibuk menghabiskan air minum yang di bawakan oleh Arka.

"Kamu tidak akan memberiku harapan palsu, kan?" Tiba tiba suasana terasa berubah lebih serius.

Kanaya mengehentikan aktifitasnya, ia menoleh ke Arka dengan memasukkan kedua bibirnya ke dalam. Perempuan itu berusaha menampilkan senyum tipis di bibirnya.

"Maksud Kakak apa?"

Arka menarik nafas pelan, lalu ia menatap Kanaya dengan penuh keyakinan.

"Apa yang kamu janjikan waktu itu, kamu pasti akan tepati, kan?"

"Janji yang mana?"

Kali ini Arka benar benar menarik nafasnya cukup panjang, agar ia tidak emosi dengan perempuan cantik di hadapanya. Arka menyentil hidung Kanaya dengan pelan untuk mengungkapkan rasa kesalnya.

"Hei, jangan pura pura tidak tau." Laki laki itu menatap dalam kedua mata Kanaya, dan semakin mendekatkan kedua wajahnya.

"Eh, iya iya aku ingat." Kanaya segera mendorong lengan Arka agar menjauh.

"Lalu?" Tagih laki laki itu lagi.

"Iya, aku tidak janji. Maaf, aku tidak berani janji, aku hanya akan memeberi kesempatan kan waktu itu," koreksinya.

"Iya, tapi yang aku tanya kamu janji akan memberi kesempatan kan? Masalah nanti jawaban kamu apa, aku tidak peduli," ujar Arka sungguh sungguh.

"Iya, Kak."

Arka tersenyum senang saat mendengar kalimat itu dari bibir Kanaya, betapa ia sangat menanti jawaban itu sejak lama.

****

Gibran hari ini benar benar niat sekali untuk menemui Kanaya, pasalnya laki-laki itu datang di jam yang tak biasa, 1 jam sebelum para pekerja OB datang. Entah kenapa begitu niat laki laku itu mengkorek korek tentang Kanaya. Apalagi ini bukan diri Gibran yang suka menunggu sesuatu, tapi jika tentang Kanaya seolah segalanya berubah.

Setalah menunggu satu jam, akhirnya yang dia tunggu datang. Gibran segera berdiri dari duduknya untuk mendekati Kanaya.

"Nay...." Panggilan itu terdengar bersamaan dari seseorang di belakang Kanaya.

Gibran langsung terdiam. Namun, langkahnya sudah berhenti di depan Kanaya, ia tidak mungkin pergi menghindar.

Kanaya menoleh ke belakang dan depan, di depan ada Gibran dan di belakang ada Arka yang tengah berjalan menuju dirinya.

"Nay, ini makanan kamu ketinggalan." Arka membawakan satu kotak makanan Kanaya kepadanya. Laki-laki itu berlanjut tersenyum ke arah Gibran.

Gibran hanya menyaksikan mereka dengan tatapan yang sulit di artikan, nampaknya laki-laki itu masih bertanya tanya tentang Arka dalam hati.

"Oh, iya terimakasih."

"Dia siapa, Nay?" Entah kenapa Gibran tidak basa basi, ia langsung pada pertanyaan yang ingin ia ketahui.

"Dia--." Kanaya tadinya ingin langsung menjawab, tetapi tiba tiba ia berfikir lagi dengan kalimat yang akan ia lontarkan.

Arka hanya tersenyum ke arah Kanaya, nampaknya ia juga menanti jawaban apa yang akan Kanaya terangkan pada orang lain tentang dirinya.

"Dia suamiku."

Kalimat itu tiba-tiba seperti sambaran petir dan begitu terasa menusuk di hati Gibran. Hatinya terasa seperti ada ribuan jarum yang menghujam jantungnya. Gibran juga merasa, ia sekarang memiliki serangan jantung dadakan.

Arka disini cukup kaget dan tidak percaya dengan jawaban yang ia dengar, ingin rasanya ia bertanya kembali agar ia yakin dengan apa yang baru saja di dengarnya. Tetapi sepertinya hal itu tidak mungkin ia lakukan, karena ada orang lain di hadapanya.

Kanaya menunduk sembari menutup kedua matanya, rasanya ia merasa malu dan merasa menjadi pendusta. Padahal, perempuan itu tidak suka kebohongan.

Gibran tidak menjawab, ia berusaha membalikkan tubuhnya untuk ia langkahkan kembali kedalam kantor. Terasa berat? Tentu itu yang Gibran rasakan saat kalimat bak petir itu menyambar dirinya.

"Maksudnya apa, Nay?" Saat Gibran menghilang dari pandangan mereka, Arka berusaha mencari tau maksud dari kalimat Kanaya.

Kanaya tersenyum nyengir sembari mengangkat kedua jarinya ke arah Arka. "Maaf."

"Jelasin dulu apa?" Tagih laki laki itu dengan sabar.

"Nanti pulang kerja kamu jemput aku, nanti aku jelasin. Sekarang aku waktunya kerja, Kak." Kanaya melangkah cepat masuk kantor dengan rasa malu.

"NAY ...." Arka berusaha memanggil Kanaya agar kembali, ia merasa di buat penasaran dengan kalimat janggal tersebut.

Arka menggelengkan kepalanya melihat tingkah Kanaya yang menurutnya lucu.

****

"Mas, pagi ini Mas Toni buat minuman?" Tanya Kanaya saat melihat Toni menyiapkan beberapa gelas di nampan.

"Iya, Nay."

"Yang lain mana?"

"Hari ini para OB lagi mempersiapkan kursi dan panggung untuk acara besok," jelas Toni.

"Acara apa, Mas?"

"Akan ada promosi besar besaran di kantor katanya, aku juga kurang pahan sih. Jadi, hari ini kita yang bertugar mengirim minuman," terang Toni.

Kanaya mengangguk paham, ia berlanjut membantu Toni untuk membuat minuman.

Gibran tidak percaya akan bertemu dengan sosok suami Kanaya, seseorang yang ingin dia tau tetapi tidak ingin ia temui secara langsung. Pikiranya mendadak kacau dan tidak karuan setiap kali mengingat kejadian di depan kantor tadi. Hatinya mendadak gelisah dan tidak bisa tenang.

"Kenapa begitu sulit melupakanmu, Kanaya?" Gumam laki-laki itu pada dirinya sendiri.

****

"Hari ini para pekerja kantor pesanannya aneh-aneh," ujar Toni.

"Aneh?"

"Ada yang minta teh susu, kopi campur sirup dan lain lain."

Kanaya tertawa saat mendengar cerita Toni. Laki laki itu memandangnya dengan rasa kagum, hatinya terasa ikut nyaman melihat senyum Kanaya.

"Emang ini baru pertama kali, Mas?" Tanya perempuan itu dengan masih tersisa tawa kecil.

"Enggak sih, tapi sebelumnya sudah lama tidak ada yang minta seperti itu, entah kenapa ada lagi," terang Toni.

"Lucu ya mereka. Aku jadi penasaran rasanya."

"Kamu mau coba?" Tawar Toni serius.

"Ah, enggak." Kanaya tertawa lagi mendengar kalimat Toni.

Toni ikut tersenyum, terasa begitu adem baginya melihat sikap Kanaya.

****

"Kenapa cuma kita yang di suruh mempersiapkan ini, gimana sama OB baru itu?" Gerutu Nadia tak terima.

"Dia kan masih baru, pasti mas Toni tidak mau dia lakukan kesalahan," pungkas Iqbal.

Ya, memang Toni yang meminta agar Kanaya tidak ikut bersama mereka.

"Iya, dia disana kerja dan kita disini kerja. Sudahlah, nggak perlu iri irian," tambah Rani.

Zidan hanya diam tak ikut bicara. Zidan memang bukan tipe laki-laki yang suka banyak bicara, ia hanya ingin bekerja mencari uang untuk istri dan anaknya. Tidak mau menjadikan hal sepele menjadi beban berat baginya.

****

Toni dan Kanaya mulai mengirim minuman pada para pekerja kantor. Kini Kanaya sudah tidak bingung untuk meletakkan minuman di meja para pekerja, tidak seperti kemarin yang masih kebingungan. Namun, yang menjadi pikiran Kanaya yaitu ruangan wakil direktur, tempat dimana ruangan Gibran berada. Siapkah ia bertemu dengannya lagi? siapkah ia menjawab berbagai pertanyaan dari mulut Gibran?

BACA TERUS KUSAH GIBRAN

NANTIKAN PART SELANJUTNYA

JANGAN LUPA MASUKKAN RAK YA ....

SALAM

GIBRANKU.

Nächstes Kapitel