webnovel

Biji Jarak

Pria muda dengan menggunakan setelan kepolisian lengkap, berlari menaiki tangga dengan sangat cepat. Ia ditugaskan oleh kapten Abi untuk menyampaikan pesan kepada Vivian, untuk menemui kapten Abi tepat ditenda para penyidik, untuk melihat laptop milik Gubernur dikarnakan telah mendapatkan izin oleh pihak yang berwenang.

Vivian yang hendak ingin keluar dari ruang kerja Gubernur tiba-tiba saja dikejutkan dengan kehadiran pria muda yang berpakaian lengkap kepolisan tersebut. Pria muda itu wajahnya merah, bukan karna malu tapi karna kelelahan. Ia berlari menuju lantai 3 tempat dimana ruang kerja Gubernur berada.

Mata Vivian membesar, mulutnya terbuka agak lebar. Vivian benar-benar terlihat terkejut saat itu. "Kau benar-benar mengangetkanku kawan!" Sahut Vivian seraya mengelus-eluskan dadanya.

Dengan dipenuhi keringat disekujur tubuhnya, terutama wajahnya. Pria itu berdiri tegak dengan sikap hormat, pria itu menegur Vivian. "Lapor detektif, Kapten Abi menyuruhku untuk memberitahukan anda bahwa kapten menunggu anda di tenda penyidik!" Ucap Pria itu dengan tegas.

"Baiklah, terimakasih." Sahut Vivian ramah. Vivian lalu langsung segera bergegas pergi meinggalkan ruangan tersebut dan juga pria itu. Seolah-olah Vivian tau bahwa kapten Abi telah mendapatkan izin perihal laptop itu.

Sesampainya ditenda penyidik, disana Vivian melihat sudah ada banyak orang yang berkumpul disana, dan salah satunya adalah kapten Abi yang sudah duduk dengan laptop Gubernur yang telah berada dihadapanya.

Vivian lalu masuk dengan mendesah kelelahan. Nafasnya tak beraturan dikarnakan habis berlari turun 3 lantai. Keringatnya pun juga bercucuran. Ia benar-benar merasa kelelahan saat itu, terlebih lagi ia sedang memakai sebuah dress yang sebetulnya membuatnya sulit untuk berlari, bahkan untuk bergerak sekalipun.

"Apa-apaan dengan pakaianmu itu detektif?!" Tanya salah satu petugas kepolisian yang berbadan besar dan berkepala botak itu. Ia tidak menyukai dengan penampilan dari Vivian yang dianggapnya menyalahi aturan.

Meski dirinya kelelahan, dan nafas pun sulit. Vivian menyempatkan tersenyum geli dengan pertanyaan dari petugas itu. "Akhirnya!" Teriak Vivian gembira.

Pernyataan Vivian itu semakin membuat petugas kepolisian itu geram. "Apa maksudmu berkata seperti itu detektif ?!"

Vivian mendekati petugas kepolisian berbadan besar yang menegurnya itu. "Akhirnya ada juga orang yang normal disini," ucap Vivian mengutarakan alasanya. "Justru aku benar-benar heran sedari tadi, kenapa tidak ada yang mengomentari penampilanku dengan dress ini." Ucap Vivian seraya menepuk pundak petugas kepolisian itu. " Terimakasih." Sahut Vivian tersenyum manis kepadanya.

"Sudahi basa-basinya, jangan buang-buang waktu lagi! Aku membutuhkanmu disini detektif." Ucap kapten Abi dengan tegas.

Vivian lalu dengan segera menghampiri kapten Abi yang sudah duduk dan siap dengan lapto yang sudah berada di hadapanya. Vivianpun duduk disebelahnya. "Baiklah apa yang kita punya disini kapten ?" Tanya Vivian bersemangat.

"Baiklah detektif, kau boleh memeriksa keseluruhan laptop ini, Pak Kepala telah mendapatkan izin dari pemerintah," Ucap kapten Abi yang membuat Vivian terlihat begitu bersemangat. "Namun tentu saja, tetap dalam pengawasanku." Tambah kapten Abi menegaskan.

Vivian lalu tersenyum tipis seraya merenggangkan tanganya. "Ya, tentu saja aku tau soal itu kapten, kau tidak perlu khawatir." Ucap Vivian yang segera mengutak-atik laptop tersebut.

Vivian membuka file demi file. Banyak sekali informasi yang seharusnya tidak boleh dilihat oleh Vivian ataupun bahkan Kapten Abi sekalipun, namun telah dilihat oleh mereka semua yang ada disana. Ya, file-file tersebut adalah rahasia negara yang dipegang oleh gubernur.

Dengan wajah merasa bersalah Vivian berkata. "Seharusnya aku tak melihat ini semua." Keluh Vivian. Setelah waktu yang cukup lama, akhinya Vivian menemukan sebuah file 'ganjil' disana.

Vivian menarik bibir mungkilnya itu sedikit. "Hmm menarik." serunya tersenyum. Vivian kemudian membuka file tersebut. Tiba-tiba ketika file tersebut dibuka suarapun mulai terdengar, suara itu adalah suara lagu yang berbahasakan jepang.

Kapten Abi merasa bingung, ia tidak mengetahui suara lagu apa itu. "Apa itu detektif?" Tanyanya penasaran.

Vivian menatap layar laptop itu dengan serius. "Ini adalah lagu dari Ikimonogakari," jawab Vivian dengan tanpa melihat wajah kapten Abi sama sekali.

Kapten Abi terdiam, ia mengerutkan dahinya dan juga alis matanya, mengode Vivian agar segera memberikan penjelasan yang dapat dimengeri olehnya. Vivian lalu menyempatkan diri menoleh kearah kapten Abi dan melihat reaksi kapten Abi yang seperti itu, Vivian lalu menghelakan nafasnya sejenak. "Ini adalah lagu dari band jepang Ikimonogakari, dan kau tau kapten, apa bagian menariknya ?" Tanya Vivian seraya melirik kembali kepada kapten Abi.

Kapten Abi menggeleng perlahan. "Tidak detektif, tidak sama sekali." Jawab kapten Abi dengan tegas.

Vivian mendesit, kemudian ia tersenyum. "Judul lagu ini adalah Blue Bird! Jadi," ucap Vivian yang kemudian kembali menoleh ke layar laptop tersebut. "Ya, kapten. Ini adalah pembunuhan." Tegas Vivian sembari membaca puisi-puisi itu didalam hatinya. Vivianpun tersenyum-senyum sendiri melihat puisi itu, dan itu membuat kapten Abi san seluruh petugas kepolisian yang berada disana kebingungan.

"Apa ada yang salah dengan yang kau baca detektif ?" Tanya kapten Abi heran. "Sampai-sampai kau tersenyum seperti itu."

"Puisi ini sangat menarik kapten, inginku bacakan?" Tanya Vivian bersemangat.

Kapten Abipun dengan tegas mengatakan. "Ya, tentu saja detektif. Kami semua ingin mengetahui apa itu." Tegas kapten Abi.

Vivianpun mulai membacakan puisi tersebut dengan suara yang sangat lantang. "Kau dan aku mungkin berbeda. Kau ada diatas dan aku berada dibawah, kau besar dan aku kecil. Begitu kecilnya aku hingga kau tak dapat melihatku. Terkadang yang tak dapat dilihat itu berbahaya, dan dapat membuat dunia bersedih. Namun terkadang memanglah harus ada kesedihan agar timbul kebahagiaan. Sama seperti burung yang harus jatuh terlebih dahulu agar bisa bangkit dan terbang ke langit yang biru," ucap Vivian panjang lebar menjelaskan. Vivian lalu mengangkat bahunya seraya menghelakan nafasnya. "Sisahnya hanya tinggal kode-kode yang tak aku mengerti apa itu sebenarnya."

Kapten Abi yang begitu penasaran dengan kode tersebut langsung mengeser laptop itu sedikit kearah kanan, tepat ke hadapannya. "Kode apa ini?! aku juga tidak pernah melihatnya." Gumam kapten Abi mengeluh.

"Kita butuh pemecah kode." Sahut Vivian memberi saran kepada kapten Abi. Kapten Abipun langsung setuju dengan saran dari Vivian, dia langsung memerintahkan salah satu petugas kepolisian yang berada disana untuk menghubungi pemecah kode yang dimiliki oleh pihak kepolisian.

"Jika ini pembunuhan, bagaimana bisa tidak ada luka, dan tidak bisa terdeteksi sama sekali," keluh kapten Abi. "Maksudku bagai mana ia melakukanya ?" Tanya kapten Abi heran.

Vivian lalu diam sejenak,ia sedang memfokuskan dirinya untuk menerka-nerka jawaba yang tepat untuk pertanyaan dari kapten Abi tersebut. Vivian menutup matanya, lalu tangan sebelah kirinya memegangi dahinya tersebut, seraya memijit-mijit dahinya itu ia terus berpikir. "Kecil dan tidak terlihat,"gumam Vivian seraya mengingat pesan didalam puisi tersebut. "Terkadang yang tidak terlihat itu berbahaya." Gumam Vivian kembali mengingat isi puisi tersebut.

"Kurasa mungkin aku tau bagaimana ia melakukannya." Sahut Vivian seraya membuka matanya.

Kapten Abi seketika langsung menegakkan badanya, dan duduk dengan sigap. Seraya menatap tajam kepada Vivian iapun berkata. "Benarkah itu detektif ?!"

"Mungkin," ucap Vivian menekankan. "Sekali lagi ini hanya mungkin, karna aku tidak bisa memastikan dengan pasti jika tidak ada barang bukti dan juga hasil yang jelas dari tim forensik."

Dengan tatapan sangat menyakinkan kapten Abipun berkata. "Tidak apa-apa detektif, pandanganmu akan sangat berguna untuk penyelidikan ini." Katanya tegas.

Vivianpun mengelus-elus dadanya, lalu menegakan badanya dan mempersiapkan diri untuk menjelaskan kepada kapten Abi kemungkinan yang ia pikirkan. "Jika ini memang seperti apa yang dikatakan oleh tim forensik, bahwa tidak ada luka dan tidak ada tanda-tanda Gubernur diracuni kemungkinan besar Gubernur meninggal dunia dikarnakan bubuk risin, atau bisa juga disebut biji jarak yang telah dimurnikan," ucap Vivian seraya kemudian ia menoleh kearah kapten Abi.

Kapten Abi hanya terdiam menatap Vivian dengan tatapan kosong, seolah memberikode kepada Vivian bahwa ia tidak mengerti apa itu semua dan menunggu Vivian kembali berbicara. Melihat kapten Abi yang tidak ada tanggapan Vivianpun memulai kembali penjelasanya itu. "Kau tau, bubuk risin ini sangatlah mematikan. Bahkan dengan bubuk risin sebesar butiran garam meja saja sudah dapat membunuh kita kapten," ucap Vivian menjelaskan. Vivian lalu tersenyum tipis. "Kecil namun berbahaya, itulah yang coba ia sampaikan kapten."

Kapten Abi mengangkat tanganya sedikit ke atas. "Tunggu dulu, bukankah tadi kau bilang ini adalah biji Jarak ?" tanya kapten Abi penasaran. Vivianpun menganguk. "Bukankah biji jarak itu digunakan sebagai minyak dan juga obat ?"

Vivianpun kemudian membenarkanya. "Ya, memang. Tapi seperti yang kubilang ini adalah biji jarak yang dimurnikan, itu sangatlah efektif untuk membunuh. Dia tidak meninggalkan bau, ataupun tanda-tanda. Dan kematian korbanyapun tidak langsung seketika korban terpapar bubuk itu, melainkan membutuhkan waktu berjam-jam bahkan mungkin berhari-hari, sehingga sulit untuk dilacak jika seseorang meninggal karna racun dari bubuk risin ini,"

Vivian lalu menyederkan tubuhnya dikursi yang ia duduki tersebut. "Bahkan ditahun 2013 lalu, seseorang di texas pernah hampir membunuh presiden barak obama dengan menggunakan racun ini. Pria itu mengirim surat-surat yang telah dilumuri oleh bubuk risin ini."

Kapten Abi membuka mulutnya lebar-lebar, seakan tidak percaya dengan omonga-omongan yang dilontarkan oleh Vivian. "Jadi kau ingin mengatakan bahwa pembunuhnya bisa meracuni Gubernur dengan segala cara?!"

Vivian menatap wajah kapten Abi murung, dengan berat hati Vivian berkata. "Ya, kira-kira seperti itu. Ia bisa saja menaruh bubuk itu di buku-buku yang akan dibaca gubernur, di sepatunya, dibajunya, di kemejanya, di meja kerjanya, di mana saja yang pembunuh itu mau. Karna dengan hanya menghirup sedikit saja, sudah cukup untuk membunuh gubernur," ucap Vivian menjelaskan kemungkinan-kumungkinannya kepada kapten Abi. "Bahkan bisa saja melalui laptop ini." Sahut Vivian dengan wajah datar.

Seketika setelah Vivian berkata seperti itu, kapten Abi langsung beranjak dari duduknya dan menjauhi laptopnya. Dan bukan hanya kapten Abi, tetapi semua petugas yang berada disana seakan menjaga jarak dari laptop tersebut.

Vivian lalu tertawa terbahak-bahak. "Jika memang ia menaruhnya disini, " ucap Vivian menunjuk laptop milik Gubernur itu. "Maka mungkin kita semua telah menghirupnya juga, dan jika kita telah menghirupnya beberapa jam kedepan kita akan sesak napas lalu kita semua akan mati." Ucap Vivian bercanda.

Meskipun saat itu Vivian konteksnya sedang bercanda, namun nampaknya semua orang disana benar-benar merasa ketakutan. Mereka takut bahwa apa yang dikatakan Vivian barusan bisa saja benar.

Vivian berdiri dari duduknya, lalu merengangkan badanya yang merasa pegal itu. "Oh iya, dibagian akhir puisinya, (sebelum kode-kode) menurutku ia mencoba mengatakan apa yang ia lakukan ini adalah untuk kebaikan, karna katanya terkadang kita harus bersedih dulu agar bisa bahagia. Simpelnya ia ingin mengatakan bahwa malam akan semakin gelap sebelum terbitnya fajar." Sahut Vivian seraya merenggangkan tubuhnya.

Sementara itu yang lainya hanya teridam terpaku. Mereka terdiam dikarnakan sedang memikirkan sesuatu, dan pikiran merekapun berbeda-beda. Ada yang sedang memikirkan perkataan Vivian barusan tenang bubuk risini tersebut, ada yang sedang memikirkan kapan ia pulang, ada juga yang sedang memikirkan tentang hutang-hutangnya, dan bahkan ada juga yang sedang memikirkan dan membayangkan makan dan jalan bersama Vivian seketika melihat tubuh Vivian yang terlihat begitu sexy ketika sedang merengangkan badanya dengan menggunakan dress. Namun anehnya tak ada satupun dari mereka yang benar-benar memikirkan Blue Bird Murder, tak ada satupun kecuali Vivian. Ya, hanya Vivianlah yang terus memikirkan itu.

Kode: ~ t tl bl, t b t bd t u, tl t bl, b t b&t, tl t bl, t b t bd t u, t tl bl. tl s b t s t u t u b s, b bl t, s s s s, tg t b&t t, b t u b t b t. ~

Hint: points of the compass.

#Note

Mohon maaf dikarnakan tidak bisa memuat simbol, jadi saya hanya bisa menggunakan ini, terimakasih.

Milsscar82creators' thoughts
Nächstes Kapitel