"Sedetik saja kau tak ada dalam genggamanku, kau akan celaka. Karena tak selamanya manusia yang kuat, akan tetap kuat tanpa adanya penopang saat dia merasa lelah." (Azka)
*****
Suasana ramai kantin masih tidak membuat keresahan Azka mereda. Entah kenapa perasaannya tiba-tiba tidak enak seolah akan ada sesuatu yang buruk terjadi pada orang-orang yang berada di sekitarnya, terutama orang-orang yang penting dalam hidupnya.
Azka menatap keempat sahabatnya yang sedang asyik dengan makanan mereka. Azka beralih menatap makanannya sendiri yang masih utuh dan belum dia sentuh sama sekali. Nafsu makannya mendadak menghilang memikirkan hal-hal negatif yang akan terjadi.
Helaan napas berat keluar dari mulut Azka, sebenarnya siapa yang harus Azka khawatirkan? Kondisi sahabatnya bahkan baik-baik saja. Mila, Veri, dan Rachel, Azka bisa menjamin mereka pasti baik-baik saja. Lalu... siapa orangnya? Kenapa rasanya sulit sekali untuk bernapas dengan tenang.
Ah, ya! Ada satu sosok lagi yang Azka lupakan. Dira, di mana dia? Apakah gadisnya itu masih dalam pengawasan anak buah sialan itu!
Azka mengedarkan pandangannya ke penjuru kantin. Matanya memicing tajam ketika menangkap objek yang membuat rasa kekhawatirannya semakin bertambah. Lihatlah! Di sana Nick dan Edward sedang makan dengan tenang, tapi ekspresi mereka terkesan kaku dan tidak suka dengan keramaian. Lalu,... di mana Queen yang harus mereka jaga?
Azka bangkit menuju tempat yang diduduki oleh Nick dan Edward yang menyadari keberadaan Azka. Mereka menegakkan tubuh mereka dan menatap Azka dingin.
"Ada apa?" Nick berbicara mewakili Edward dan dirinya sendiri. Dia bahkan mengabaikan tatapan intimidasi Azka yang ditujukan kepada mereka.
"Dira di mana?" Azka mendesis ketika Nick dan Edward baru menyadari bahwa Dira sudah terlepas dari pengawasan mereka.
"Q-queen, di mana?" Nick dan Edward mengedarkan pandangannya ke penjuru kantin dengan gelisah.
"Mana gue tahu, sialan! Lo pada yang tadi sok-sokan mau ngejaga Queen kalian. Tapi, sekarang nyatanya apa! Kalau gue enggak nanya lo enggak bakalan sadar, 'kan! Argh, bodoh!" Azka tanpa ragu mengucapkan kata-kata yang begitu kasar pada Nick dan Edward. Edward sempat melotot tidak terima dengan ucapan Azka. Tapi, dia kemudian menyadari bahwa itu semua kesalahannya jadi dia tidak bisa menyalahkan siapapun.
"K-kak A-Azka."
"APAAN SIH!" bentak Azka sambil menoleh ke belakang dan mendapati adik kelas perempuan yang sedang menunduk ketakutan. Azka mundur beberapa langkah saat menyadari bahwa jarak di antara mereka sedikit berdekatan. Dia harus menjaga jarak karena teringat fobianya. Bisa gawat jika dia tiba-tiba mual di tengah-tengah keramaian kantin.
Felysia, gadis itu menunduk ketakutan sambil mencengkeram erat ujung roknya. Dia bingung, apa yang harus dia katakan terlebih dahulu pada Azka. Sebelumnya, dia memang sempat kabur dari toilet, berniat mencari bantuan untuk Dira.
Awalnya, dia tidak tahu harus meminta bantuan kepada siapa, tapi waktu itu dia tidak sengaja melihat Azka yang sedang menggendong Dira ala bridal style menuju UKS. Jadi, Felysia berpikir mungkin Azkalah orang yang sedang dekat dengan Dira yang bisa membantunya.
Good, Fely!
"A-anu, k-kak-- i-itu..."
"Anu apaan! Lo kalau ngomong yang jelas dong! Jangan buat gue bingung, bocah!" Azka melotot garang, moodnya sedang buruk. Jadi, jangan salahkan Azka jika dia marah-marah tidak jelas.
"K-kak Dira, d-dia-- dia--"
"Dira kenapa! Kalau ngomong jangan bertele-tele dong!" Kembali, Azka memarahi Felysia yang semakin menunduk dalam. Edward sedari tadi jengah menyaksikan interaksi keduanya.
"Orang bodoh teriak bodoh! Menjijikkan! Kapan kami tahu keberadaan Queen kami jika Anda memotong ucapan Nona ini! Cih, tidak berotak!"
"Dasar bodoh."
"Idiot."
"Memalu--"
"HEY! Kenapa jadi gue yang disalahin, hah!! Terus apa maksud kalian mengata-ngatai gue kayak tadi!" Wajah Azka memerah padam, rahangnya mengeras, matanya menatap nyalang Edward dan Nick yang tadi mengata-ngatainya secara bergantian. Terutama Edward, Azka merasa Edward akan menjadi rivalnya. Setiap dia mengatakan sesuatu, pasti akan dibalas begitu sinis oleh Edward.
Nick berdehem untuk menghilangkan aura mencekam yang diciptakan oleh Edward dan Azka yang masih saling melempar tatapan sinis. "Sudahlah, kalian begitu kekanak-kanakan!"
"HEY! APA MAKSUDMU?!" Nick memejamkan matanya refleks sambil menyerapahi Azka dan Edward yang berteriak bersamaan di kedua telinganya yang seketika berdengung.
"Nona, bisa jelaskan kepada saya di mana keberadaan Nona Dira?"
"K-kak Dira ada di toilet. D-dia dibully sama kak Monic dan teman-temannya."
"Bisa antarkan saya ke tempat yang Nona maksud?"
"B-bisa."
Felysia berbalik dan berjalan dengan tergesa-gesa menuju toilet perempuan. Dia tidak punya banyak waktu karena Monic bisa saja nekat melukai Dira. Ini semua salahnya seharusnya dia tidak membohongi orang yang jelas-jelas sudah menolongnya dari Monic. Tapi... dia memang manusia yang tidak tahu diri dan juga munafik seperti yang dikatakan oleh Dira.
Tanpa disadari, air mata Felysia sudah mengalir deras membasahi pipinya. Dia makhluk pengecut yang tidak bisa melakukan apapun. Dia begitu bodoh dan hanya menyusahkan orang-orang yang ada di sekitarnya. Dia itu pembawa sial! Dia itu---
"Sudah, jangan menyalahkan dirimu sendiri." Tepukan di bahunya membuat Fely tersentak dari rutukan untuk dirinya sendiri.
"K-kenapa kamu bisa tahu?" Fely mengerjapkan matanya beberapa kali.
"Ekspresimu mudah untuk dibaca. Jadi, tak perlu menyalahkan dirimu sendiri, karena itu juga bagian dari kelalaianku dalam menjalankan tugasku." Wajah itu sudah terlatih untuk tidak memperlihatkan senyum barang sedikitpun.
"M-Mon, D-Dira enggak m-mati, 'kan?"
Suara gaduh tiba-tiba terdengar begitu mereka-- Azka, Nick, Edward, dan Fely --sampai di toilet perempuan. Mereka bisa mendengar suara pelan dari Monic yang ada di kamar mandi.
Mata mereka seketika membulat saat sudah mencerna dengan baik kalimat yang mereka dengar. "A-apa! D-Dira mati!!" Mereka mencicit bersamaan. Suara mereka tertahan di tenggorokan.
Azka menggeram marah dengan gigi yang saling bergemelatuk, rahangnya mengeras dengan wajahnya yang merah padam. "Mo-nic!" Dengan tangannya yang sudah terkepal erat bahkan membuat buku jarinya memutih, Azka mendekati pintu toilet dan mendobraknya dengan keras.
BRAK!
"MONIC!!"
Pemilik nama itu terlonjak kaget ketika pintu toilet tiba-tiba didobrak keras. Monic, Bella, dan Bunga gemetaran ketakutan melihat kemurkaan Azka.
"Sialan! Lo apain pacar gue, hah!" Azka melangkah mendekati ketiganya yang seketika melangkah mundur.
"Kalian..." Azka menatap Dira yang tak sadarkan diri dan hampir terjatuh jika saja Nick dan Edward tidak sigap menangkapnya. "Berani banget nyakitin milik gue."
"G-gue enggak sengaja, Az! Bu-bukan Gue pelakunya, t-tapi Bella sama Bunga." Monic mengelak dari tuduhan Azka yang jelas-jelas nyata.
Bella dan Bunga mendelik mendengar ucapan Monic. "K-kok lo nyalahin gue sama Bunga sih, Mon! Jelas-jelas lo yang salah di sini! G-gue sama Bunga cuma nuruti apa kata lo!" Walaupun dengan suara yang bergetar takut, Bella masih ingin membela diri dan tidak mau disalahkan oleh Monic.
"I-iya, Mon. Lagian lo yang jadi bos kita. J-jadi, tanpa perintah dari lo, g-gue sama Bella enggak mungkin ngelakuin hal yang enggak lo perintahin." Bunga meneguk ludah kasar, dia begitu takut mendapatkan tatapan tajam dua orang sekaligus begitu juga Bella, tatapan pertama dari Azka dan tatapan kedua dari Monic.
"T-tapi, 'kan gue--"
"CUKUP!" Monic tidak melanjutkan ucapannya. "Enggak ada gunanya kalian saling menyalahkan! Karena di sini gue udah tahu bahwa kalian bertigalah yang bersalah!"
Ketiganya saling melempar pandang seolah mengatakan. 'Kita bakalan abis nih di tangan Azka, hiks.'
"Kalian..." Azka menyeringai kejam. "... cari mati, ya!"
Ketiganya menjerit histeris ketika Azka menerjang mereka. Tangan Azka sudah mencengkeram kuat leher Monic dan Bella yang kesulitan bernapas. Bunga yang tidak tercekik berusaha kabur dengan keegoisannya, tapi Azka meluruskan kakinya dan membuat Bunga tersandung lalu jatuh terantuk lantai dengan keras sampai membuatnya pingsan.
"L-lep-phas... Uhukk..." Monic terbatuk-batuk, tenggorokannya terasa terbakar karena tidak bisa memasukkan oksigen.
"A-Az-kha! L-lo g-ghi-la yah!" Bella mendelik, mulutnya yang megap-megap berusaha memasok oksigen. Wajahnya bahkan sudah memucat karena kuatnya cengkeraman Azka pada lehernya. Tangan Bella memukul-mukul lengan Azka berusaha membebaskan diri.
"Kalian memang seharusnya mati tahu enggak! Hidup cuma nyusahin orang! Cih, enggak guna!" Azka menguatkan cengkeramannya, dia bahkan tidak memedulikan apa akibat yang akan dia dapat atas perbuatannya.
"T-to-long... L-lep-phas!" Wajah Monic dan Bella sudah membiru, tangan yang mereka gunakan untuk membebaskan diri bahkan sudah lemas dan terkulai di samping tubuhnya.
"Dasar bodoh! Sadar, woy! Mereka bisa mati!!" Edward yang tadinya ikut memapah tubuh Dira dengan Nick, digantikan dengan Felysia yang masih mematung karena terlalu syok.
"Bangsat! Enggak usah ikut campur!" Tubuh Azka memberontak ketika Edward berusaha menariknya menjauhi Monic dan Bella yang masih setengah sadar hampir kehabisan oksigen.
"LEPASIN GUE!! LEPASIN!!" Azka berteriak kesetanan, dia sudah terlalu kalap melihat kekasihnya tak sadarkan diri akibat ulah Monic dan teman-temannya.
"GUE ENGGAK AKAN BIARIN MEREKA HIDUP! BIARIN AJA MEREKA MATI, BANGSAT!!!" Cengkeraman tangan Azka pada leher Monic dan Bella berhasil terlepas. Tubuh keduanya seketika terkulai lemas dan jatuh ke lantai dengan napas yang terengah-engah.
Edward begitu kesulitan menahan tubuh Azka yang terus berontak. Teriakan Azka yang menggelegar sampai terdengar keluar dari toilet dan menarik perhatian siswa-siswi. Toilet seketika ramai oleh manusia dengan rasa penasaran yang tinggi. Mereka begitu terkejut ketika mendapati Bunga yang tengkurap di lantai toilet dengan keadaan tak sadarkan diri dan juga Monic dengan Bella yang dalam kondisi lemah sambil terengah-engah.
Apalagi teriakan-teriakan Azka yang bernapsu untuk membunuh ketiga orang yang berani menyakiti kekasihnya. Mereka sekarang tahu apa penyebabnya, bahkan ada yang sibuk memotret dan merekamnya untuk disebarkan ke grup sekolah.
Nick menggeram frustrasi, apa yang harus dia lakukan untuk membuat Azka tenang, dia tidak suka keramaian seperti sekarang. "Nona, sadarlah..." Yah, satu-satunya cara untuk menenangkan singa yang sedang mengamuk itu adalah Dira.
"Nona... singa itu terus saja mengamuk. Sadarlah, Nona, dia sudah gila karena ingin membunuh orang-orang yang sudah melukai Nona..." Nick berbisik di telinga Dira berharap Dira mendengarnya dan segera bangun.
"Nona... saya mohon sadarlah..." Nick bergerak gelisah, apa yang selanjutnya harus dia lakukan.
Sedangkan kondisi di toilet itu mendadak mencekam ketika Azka berhasil terlepas dari Edward yang terlempar karena tendangannya. Azka menyeringai, dia tertawa menakutkan bagaikan malaikat maut yang siap mencabut nyawa seseorang.
"Kalian bertiga, harus mati!"
"AZKA! NONA SUDAH SADAR!" Nick berteriak heboh.
"OMONG KOSONG!!" Azka tidak percaya, dia terus melangkah mendekati Monic yang menjadi sasaran pertamanya.
"AZKA! WOY! NONA SUDAH--"
"BERIS..."
"A-Azka... s-stop..."
"...sik."
Suara itu...
Azka menoleh dengan cepat, matanya membulat seketika.
"A-Azka..."
Wow Azka dalam mode mengamuk memang badas banget ><
Hadiah anda adalah motivasi untuk kreasi saya. Beri aku lebih banyak motivasi!
Penciptaan itu sulit, dukung aku ~ Voting untuk aku!