"Jadi perempuan itu enggak usah bar-bar. Cukup jadi seperti air yang tenang, tapi menghanyutkan. Maka musuh dalam selimut akan kalah telak. Karena ketenangan justru lebih menipu banyak orang." (Dira)
*****
Hanya suara embusan angin yang terdengar dan deru napas yang saling bersahutan. Burung-burung kecil yang hinggap di pohon bahkan tidak berani bersuara ketika merasakan adanya aura menyeramkan dari salah satu di antara tiga orang yang saling berdiri berhadapan.
Azka menyadari tatapan orang yang berdiri beberapa meter di depannya mengarah padanya. Tatapan itu sulit diartikan tapi terkesan mengintimidasinya yang membuat Azka merasa gugup. Azka berdehem untuk menormalkan ekspresinya agar tidak begitu kentara dan berusaha memasang wajah datarnya.
Azka melirik Dira yang ternyata sedang meliriknya juga. Azka memberikan tatapan pada Dira seolah bertanya, 'Siapa?' yang dibalas Dira dengan gerakan mulut tanpa suara.
'Papa gue.'
Kata-kata tersebut yang mampu Azka tangkap, dan itu sudah membuatnya membeku seketika. Azka menatap kembali Aditya yang masih mengintimidasi dirinya. Dan sialnya Azka terintimidasi oleh tatapan tersebut.
Azka untuk pertama kalinya merasa terintimidasi oleh seseorang, dan orang itu adalah Aditya Angelo, pemimpin Mafia Black Angel. Azka tiba-tiba berpikir, apa yang dirasakan oleh teman-temannya yang selalu ia berikan tatapan mengintimidasi darinya? Apakah mereka merasa sepertinya, rasa gugup dan... takut?
Azka sekarang berada di posisi sebaliknya dari yang biasanya mengintimidasi, menjadi terintimidasi. Ingin rasanya Azka tertawa terbahak-bahak merasa menjadi manusia terkonyol di dunia. Akan tetapi,... Azka berdehem untuk menetralkan perasaannya yang campur aduk. Dia memberanikan diri untuk membuka suara setelah keheningan yang cukup lama.
"Ekhem... Om, nama saya--"
"Kamu siapanya, Dira?" Azka tersentak ketika ucapannya dipotong begitu saja oleh Aditya.
"Dia teman aku, Pa." Dira menjawab dengan cepat bahkan tanpa jeda. Alarm tanda bahaya seketika berbunyi di dalam kepala Dira. Atmosfer yang tercipta akibat kehadiran Aditya membuat perasaan Dira tiba-tiba tidak enak.
Aditya beralih menatap putrinya, dia perlahan melangkah mengikis jarak di antara keduanya. Matanya menyorot tajam Dira yang membuat Dira menelan ludahnya kasar. Sedangkan, Azka hanya diam bagaikan patung yang tidak bisa berbuat apa-apa.
"Papa bertanya padanya, bukan kamu!" Aditya menunjuk Azka dan Dira secara bergantian.
"Tapi, Pa--"
"Kamu siapanya anak saya?" Suara itu terdengar tenang tapi berbanding terbalik dengan matanya yang menatap Azka bak pisau yang siap mencabik-cabik Azka. Sekarang Azka dapat melihat persamaan dari Aditya yang menurun pada Dira. Mata tajam Dira ternyata dari sosok ayahnya yang bahkan jauh lebih mengerikan.
"Pa... Aku, 'kan, udah bilang kalau dia cuma---"
"Diam! Lebih baik kamu masuk!" Aditya menunjuk gerbang rumah yang masih terbuka. Lihat! Bahkan gadis yang Azka kenal begitu angkuh dan keras kepala itu sedang menatap takut ayahnya.
Dengan nada putus asa, Dira masih mencoba membujuk Aditya supaya tidak memperpanjang perihal Azka. "Pa..."
"Masuk!" Dira menunduk, dia melangkah mendekati gerbang rumahnya yang sudah terbuka. Dira menghela napas berat, rasanya dia ingin menangis karena pasti ayahnya akan membuat teman-temannya menjauh darinya.
"Apa gue enggak boleh punya teman?!"
Batin Dira menjerit histeris, dia tidak ingin kehilangan teman-teman barunya. Kalaupun sekarang Azka, apa besok-besok teman-temannya yang lain?
Di sisi lain, Aditya menatap Azka dengan sorot dingin. "Nama kamu siapa? Dan, apa hubunganmu dengan putri saya?" Kalimat protektif itu keluar dari mulut Aditya sebagai seorang ayah dari putri satu-satunya yang sangat dia jaga dari mata publik.
"Nama saya Azkara Ranendra, Om. Saya teman satu kelasnya Dira." Aditya mengangguk-anggukan kepalanya seolah mengerti. Tapi, tak lama kemudian dia mengernyit.
"Ranendra? Namamu Azkara Ranendra?" Aditya tak lagi menunjukkan wajah santainya. Dia bahkan menggeram marah dengan gigi bergemelatuk.
"Iya, Om." Walaupun sedikit bingung dengan perubahan raut wajah Aditya yang tidak bisa lagi dibilang santai. Ada kobaran amarah di mata Aditya yang membuat Azka semakin gugup.
"Pergi kamu dari sini! Jangan pernah menginjakkan kaki di wilayah ini lagi!" Aditya mendorong pundak Azka dengan kasar yang membuat Azka sedikit oleng. Azka terkejut bukan main dengan perlakuan kasar Aditya.
"Maaf sebelumnya, tapi apa salah saya, Om? Dan kenapa Om bertanya tentang nama belakang saya?" Pertanyaan itu spontan keluar dari mulut Azka yang masih dilanda keterkejutan.
"Bukan urusanmu! Pergi dari sini! Dan saya peringatkan, jangan dekati anak saya, apalagi menyentuhnya walau seujung kuku!" Aditya mengibaskan tangannya dengan gerakan mengusir yang membuat Azka mau tak mau perlahan berbalik dan melangkah pergi.
Sebelum masuk ke dalam mobil, dia menyempatkan diri untuk menatap Dira yang ternyata mengamati interaksinya dengan Aditya dari kejauhanan. Azka mendadak khawatir ketika melihat mata tajam itu memerah, apa Dira mendengar interaksinya dengan Aditya? Ingin sekali Azka berlari dan merengkuh gadisnya ke dalam pelukan untuk menenangkannya.
Tapi, itu tidak mungkin, karena Azka menyadari tatapan menusuk yang dilayangkan Aditya padanya. Azka hanya bisa memperlihatkan senyum teduhnya dan telunjuknya bergerak ke kanan-kiri lalu membuat gerakan seolah sedang menyeka air matanya.
Azka tidak ingin membuat gadisnya bersedih karena dirinya. Di sana, Dira melakukan apa yang diperagakan oleh Azka. Dira bahkan tidak sadar bahwa dirinya hampir menangis. Dira membalas lambaian tangan Azka yang bermaksud untuk pamit pulang padanya.
Dira menghela napas ketika melihat mobil Azka melaju meninggalkan area rumahnya. Tatapan Dira beralih pada Aditya yang melangkah ke arahnya dengan tangan terkepal. Dira menahan napas saat Aditya berhenti di depannya dan mengatakan kata-kata yang membuat air matanya mengalir deras.
"Kamu jangan dekat-dekat dengan pria itu lagi! Papa enggak suka sama dia! Bila perlu kamu pindah kelas, atau bisa juga pindah sekolah! Sekolah di sini banyak. Kamu bisa Papa pindahkan ke sekolah lain kapan saja kalau kamu tidak menuruti perkataan Papa! Kamu paham?"
"I-iya, Pa." Dira menjawab dengan bibirnya yang bergetar. Dia menunduk dan menangis dalam diam setelah Aditya melenggang masuk ke dalam rumah.
"Hidup gue kok, gini banget ya?"
*****
Dira mendengus keras, rasanya dia ingin mencekik semua orang yang menghalangi jalannya. Bagaimana tidak? Saat ini, di koridor menuju kelasnya, banyak siswa-siswi yang berdesak-desakan untuk menerobos barisan terdepan. Dan sialnya, Dira terjebak di dalam kerumunan tersebut. Sudah terhitung lebih dari tiga kali dia hampir jatuh terjungkal ke depan, tapi beruntung dia sangat handal dalam menjaga keseimbangan.
Tubuh kecil Dira terdesak ke kanan-kiri sampai membuatnya berada di barisan terdepan. Sekarang Dira bisa melihat penyebab kerumunan terjadi. Dari tempatnya berdiri, Dira bisa melihat adanya sosok perempuan yang tidak pernah dia lihat sebelumnya. Perempuan itu memakai seragam sekolah seperti yang Dira pakai.
Dilihat dari fisiknya, perempuan itu memiliki paras yang bisa dibilang cantik. Penampilannya pun sangat berbeda dari yang lain, dia terlihat sangat mencolok. Apalagi cara berpakaiannya yang tidak bisa dibilang rapi.
Dira mengernyit jijik ketika pandangannya beralih pada seragam yang dua kancing teratasnya dibuka. Rok yang dikenakannya bahkan di atas lutut dan hanya menutupi setengah paha. Melihat hal itu membuat Dira berdecih sinis.
"Ck! Dasar jalang!"
Tapi, bukan itu semua yang menarik perhatian siswa-siswi. Melainkan apa yang sedang dilakukan oleh perempuan itu pada gadis yang sepertinya adik kelas. Coba tebak apa yang dilakukan oleh perempuan jalang itu?
Ya, dia sedang membully adik kelasnya. Entah masalah apa yang adik kelas itu perbuat sampai perempuan jalang itu membullynya habis-habisan.
"Lo itu masih adik kelas kok songong banget, sih! Lo tahu enggak siapa gue, hah!!" bentak perempuan itu pada adik kelasnya yang menunduk takut sambil menggeleng.
"Wah, dia enggak tahu siapa lo, Mon! Hajar, Mon, hajar!!"
"Kasih tahu, Mon, siapa lo!"
Dira beralih menatap dua perempuan yang sepertinya antek-antek jalang tersebut yang semakin membuat suasana menjadi tegang. Hm, tunggu. Sepertinya Dira pernah melihat dua antek tersebut.
Ah, Dira teringat dengan kejadian saat dia pertama kali menginjakkan kaki di SMA Merpati. Ada dua perempuan yang membully adik kelas, sama seperti kejadian yang sedang Dira saksikan. Mengenai adik kelas, yang dibully sekarang juga masihlah orang sama yang Dira jumpai sebelumnya.
"Hah, padahal udah susah-susah gue tolong. Kenapa malah jadi target bully lagi?"
Dira memaki adik kelas tersebut dalam hatinya. Kenapa yang lemah begitu tidak tahu diri? Saat ditolong oleh yang lebih kuat seharusnya mereka juga berusaha untuk menjadi kuat. Setidaknya, ada sedikit usaha yang dilakukan walau akhirnya akan kalah. Namun, dengan adanya usaha, kekalahan pun akan terasa seperti kemenangan.
"Cih! Bukannya menenangkan suasana, malah semakin memperkeruh saja!"
Dira kembali memperhatikan trio jalang itu yang kembali berkoar-koar seperti orang gila. Bunga dan Bella yang memanaskan suasana tampak menikmati pemandangan saat pemimpin mereka membully adik kelasnya.
"Nama gue, Monic Azura! Gue Queen di sini dan gue ketua cheers sekaligus anak dari kepala sekolah ini! Lo itu harusnya tahu diri dong! Lo cuma anak beasiswa, 'kan? Jadi, jangan songong! Kalau gue sama teman-teman gue lewat, lo enggak boleh lewat di depan kami! Paham, lo?"
Tubuh Felysia, adik kelas yang menjadi bahan pembullyan tersebut bergetar ketakutan. Dia tidak menyangka akan dibully habis-habisan hanya karena berpapasan dengan kakak kelasnya dan tidak berhenti melangkah untuk menundukkan kepalanya seolah menghormati mereka.
"Heh! Jawab! Kenapa diam aja? Lo tuli, ya?!" Pundak Felysia didorong dengan kasar dan hampir jatuh jika tidak ada sepasang tangan yang menahannya.
"Hah, lo siapa? Mau jadi pahlawan?!" Monic menatap Dira dengan wajah sangarnya. Dia bahkan melotot dengan ekspresi yang membuat kerumunan bergidik ngeri.
Hm, jadi ini yang namanya Monic. Nama yang dikoar-koarkan oleh Bunga saat berhadapan dengannya untuk pertama kali. Menilai dari sikapnya, yah, Monic memang gadis yang cukup menantang sikap keras dalam diri Dira.
Dira menampilkan wajah datarnya. Dia menyeringai lebar ketika telinganya berhasil menangkap beberapa suara dari belakang.
"Eh! Kok ada Dira, sih?"
"Wah! Dira mau ngapain, nih!"
"Aduh, gawat! Dua singa mau tarung!"
Yang membuat Dira semakin menyeringai adalah kata-kata dari Bella yang berbisik pada Monic dan mengatakan kata-kata yang membuat wajah Monic menjadi merah padam.
"Mon, ini cewek yang gue ceritain sama lo. Yang katanya lagi deket sama Azka. Dia juga yang ganggu kita pas lagi main sama anak itu." Bella menunjuk Felysia dengan penuh permusuhan. Matanya menatap tajam Dira untuk sejenak dan langsung berpaling pada Monic kembali.
"Oh, jadi, lo itu..." Perkataan Monic terhenti ketika tangan Dira terulur padanya.
"Kenalin, nama gue, Dirandra Angelina."
Plak!
Tangan Dira ditepis kasar oleh Monic dan membuat tangan Dira memerah. Beberapa orang yang ada di kerumunan itu memekik tertahan.
"Gue enggak mau tahu lo siapa! Gue cuma peringatkan sama lo, bitch! Jangan dekat-dekat dengan Azka! Dia itu milik gue!" Mata Monic melotot garang.
Dira memiringkan kepalanya dan menampilkan wajah menyebalkan di mata Monic. "Loh, memangnya kenapa? Gue, 'kan...," Dira tersenyum miring.
"Pacarnya."
Nantikan terus QOM yang akan update 2 hari sekali :* Jangan lupa untuk berkomentar dan voting dengan power stone! Yang ingin memberi hadiah juga bisa lewat gift:*
Hadiah anda adalah motivasi untuk kreasi saya. Beri aku lebih banyak motivasi!