webnovel

4. Gardu

Aku terperanjat sendiri melihat apa yang ada di sekitarku. Ini masih tempat yang sama. Dan tasku masih di sini. Motor juga masih di tempat semula. Kuraih tasku. Kuraba raba sehingga aku berdiri. Kaki yang bergetar kini mulai mereda.

Kurasakan kulitku yang amat sangan lengket karena berhari hari tidak mandi. Belum lagi tadi berkeringat karena ketakutan. Aku melihat ddi hadapanku Pak Hadi masih terduduk menatapku. Ada apa?

Aku masih hidup didunia yang sama.

Namun di mana begal begal itu? Kenapa tidak jadi membunuhku padahal aku sudah dicekik tadi.

Aku mendekati Pak Hadi dan berjongkok di depannya. Pak Hadi tampak kaget dan menghindariku.

"Pak... apa bapak sudah sadar?. Bapak tadi pingsan." Pak Hadi tidak menjawabku Dia seperti baru saja melihat yang seharusnya tidak Ia lihat. Seperti antara ketakutan atau terkejut.

Jadi sebenarnya ada apa tadi? Se persekian detik yang lalu aku memasrahkan nyawaku pada Tuhan. Dan Pak Hadi yang telah sadar namun menatapku nanar.

Konon setiap dari diri kita yang terlahir dibumi diberi satu malaikat pelindung oleh Tuhan. Dalam keadaan teraniaya setiap doa yang kamu panjatkan akan dikabulkan oleh Tuhan secara kontan. Di jaman ini omongan orang tua menjadi patokan tindakan kita. Dan aku selalu mengikuti apa yang Simbok dan Bapak katakan padaku.

Pak Hadi mulai berdiri dan membenahi dirinya dari daun-daun kering yang menempel pada tubuhnya. Ia masih bungkam serta memalingkan wajah dariku. Aku tahu sesuatu telah terjadi. Tapi aku masih belum mendapat jawaban apa pun dari mulut Pak Hadi yang tampak syok.

"Aku pasti dapat pelindungan dari malaikat Tuhan. Kukira aku mati sejak tadi.. haha.. aku bahkan berpikir sudah ada di akhirat." Tuturku pada Pak Hadi yang masih terkejut.

Aku berhasil menarik perhatian Pak Hadi. Ia menoleh ke arahku. Setidaknya aku berusaha merubah suasana kaku ini.

"Maafkan aku nyai.. hamba akan menjadi pengikut nyai. Hamba hanya orang kecil. Hamba siap melayani nyai dengan menyerahkan nyawa hamba." Tiba-tiba Pak Hadi menyembahku. Tangannya menangkup  memohon mohon kepadaku.

"Pak Hadi, apa yang kamu lakukan?" Aku mengangkat bahunya dan membuatnya tegap.

Dia terlihat ketakutan padaku.

"Nyai, saya tidak akan mengatakannya kepada siapa pun." Katanya seraya menunduk.

"Memangnya apa yang terjadi Pak Hadi. Apa yang terjadi tadi."

Semua yang dikatakan Pak Hadi terasa tidak masuk akal. Padahal aku bahkan merasa keadaan masih sama seperti awal perjalanan kita. Terlebih aku senang karena komplotan begal-begal itu telah pergi.

"Nyai.. maafkan saya.. tapi saya melihat cahaya mencuat dari sini." Dia menunjuk ke arah kalungku pemberian ayah.

Aku nampak bingung. Bertahun tahun aku memakai ini. Tidak pernah ada kejadian aneh seperti ini. Apalagi keluar cahaya dari bagian tubuhku. Itu hal mustahil.

"Cahayanya begitu kuat lebih terang dari matahari. Bersinar cepat menembus gelap. Dan menyilaukan mata, itulah yang menyelamatkan kita tadi nyai. Jika bukan karenanya begal-begal tadi pasti sudah menebas kepala kita." Tuturnya panjang.

Diam sejenak sambil menunduk. Ku pegang bandul kalung pemberian Bapakku sedsrk kecil dahulu.

"Dan juga aku. Bagaimana mungkin...." tambahnya lagi dengan nada lirih namun ragu untuk melanjutkan kalimatnya.

aku mulai mencerna apa yang dituturkan Pak Hadi. Jadi aku mengerti kenapa Pak Hadi merubah raut wajahnya. Itu pasti karena kejadian yang aku sendiri tidak melihatnya. Kejadian tidak masuk akal yang akan membuat orang awam bahkan sebijaksana Pak Hadi pun akan merasa ketakutan.

Aku berusaha menenangkan Pak Hadi. Sekalipun aku sendiri tidak punya penjelasan rasional tentang peristiwa Itu. Kupegang pundak Pak Hadi. Aku juga berusaha tenang  Di depannya. Aku tidak mau memperburuk keadaan karena sekarang Pak Hadilah yang harus saya lindungi.

"Pak... bukannya Pak Hadi mempunyai keluarga?.. punya istri tentu punya anak. Bagaimana mungkin Pak Hadi menyerahkan nyawamu untukku. Aku bukan Tuhan, bukan orang ningrat, apalagi wali. Aku tidak berhak menerima abdi." tuturku dan membuat Pak Hadi sedikit tenang dan berani menatapku.

Pak Hadi terlihat mendengarkanku seraya menunduk. Lalu ia menimpaliku.

"tapi nyai ini orang berilmu. Saya tidak bisa menjamin kan apa pun kecuali tubuh saya saat ini. "

"Yang Pak Hadi lihat adalah kuasa Gusti Allah. Kalung ini hannyalah penyampai. Aku tidak pernah menyembah apa pun kecuali Gusti Allah. Tidak setan. Jin atau demit mana pun. Aku hanya menyembah Tuhan. Jadi Pak Hadi tidak perlu takut padaku. Yang perlu Pak Hadi takutkan adalah Yang Maha Kuasa. Dan kalung ini hanyalah pemberian atau kenang-kenangan dari almarhum Bapakku. Tidak ada yang lebih isyimewa dari itu."

Pak Hadi bergeming tanpa sepatah kata pun. Hal itu membuatku bingung menghadapinya. Dia menjadi orang lain dalam sekejap. Baiklah jika sudah begini. Aku harus melakukan sesuatu.

"Pak.. bukankah kita harus melanjutkan perjalanan?."

Aku berusaha mendirikan motornya namun ternyata berat juga. Melihat itu Pak Hadi langsung berdiri dan membantuku.

"Memang bukan jatahnya wanita. Hahaha..." kataku untuk mencairkan suasana.

"Mari saya antar nyai.." saya menghembuskan nafas dengan kesal.

Baiklah Pak Hadi memang tidak mau memperbaiki dirinya. Tapi, apa aku ini terlihat sudah tua sekali? Apa harus dengan sebutan Nyai? Apa aku terlihat seperti Nyainya?

Kini motor telah hidup kembali. Pak Hadi mempersilahkan aku naik.

"Silakan duduk Nyai.."

Aku memutar bola mata kembali. Ini tidak bisa didiamkan. Akhirnya aku mengutarakan kekesalanku.

"Pak.. pertama. Saya tidak suka Bapak bicara hormat kepada saya. Kedua. Terserah Bapak mau menuruti saya atau tidak. Ketiga. Saya tidak mau dipanggil Nyai. Karena saya ini belum menikah. Dan apakah saya terlihat setua itu?. Bapak sepertinya harus perhatikan wajah saya baik- baik. Keempat. Bapak harus ikut dengan aturan saya yang nomor tiga."

Aku mendengus kesal namun dalam hati lega juga. Akhirnya aku bisa memecah kecanggungan ini.

"Ehmm.." Pak Hadi terdengar berdehem.. tanda bahwa Dia tidak enak hati..

"Baik. Non.."

Saya memutar bola mata kembali.

Seumur hidup baru pertama kali diperlakukan seperti ini.

Akhirnya kami menyusuri jalan-jalan gelap kembali. Sepeda motor butut yang kukira akan rusak ini ternyata benar-benar tahan banting.

Kita tidak memulai percakapan apa pun. Deru motor yang meraba jalanan tanah basah menjadi pengiring perjalanan kami. Menjadi suara satu-satunya dsri keheningan yang yercipta oleh pekatnya malam.

Akhirnya tempat yang disebut Pak Hadi pun terlihat. Cahaya remang dari sebuah petromaks nampak berkedip kedip.  Seolah menyambut kedatangan kami.

Aku tersenyum senang. Padahal baru beberapa waktu lalu penuh tangis. Pak Hadi juga mengendarai si butut dengan santai.

Kita terus melaju hingga gardu. Di sana terlihat bapak bapak sedang berkumpul. Aku yakin mereka adalah penjaga desa. Mereka terus memandangi kami. Aku mengangguk dan tersenyum tanda permisi. Mereka juga membalas senyumku.

Kukira Pak Hadi akan berhenti sejenak. Namun ternyata Dia malah terus melaju. Apakah sopan jika seperti ini?. Ah sudahlah aku tidak mau terlalu memikirkan itu. Mungkin karena Pak Hadi sudah terbiasa lewat jalan ini.

"Ini kampung masnya non.. saya akan tanya orang sekitar alamat yang pasti  rumah masnya non.."

"Kenapa tidak tanya Bapak-bapak yang tadi di gardu pak?"

Pak Hadi hanya diam membisu. Tak menjawab sepatah kata pun.

Nächstes Kapitel