Kroya, 98-an
Seperti biasa, sesampai di stasiun Kroya rangkaian kereta api Capbaya (dulu dikenal dengan nama Purbaya) yang kunaiki akan dipotong hingga menjadi dua atau maksimal tiga gerbong yang menuju ke Cilacap, kota tujuanku sedangkan gerbong lainnya ke jurusan Purwokerto.
Otomatis semua penumpang jurusan Cilacap yang tadinya tersebar di seluruh rangkaian gerbong mesti buru-buru pindah ke gerbong-gerbong yang telah ditentukan akan dipotong tersebut.
Kalau sudah begitu, biasanya gerbong jurusan Cilacap dalam kondisi penuh penumpang hingga banyak yang terpaksa berdiri di bordes atau sambungan antar gerbong. Terlebih pada musim liburan.
Begitu juga kali ini, aku bersama beberapa orang memilih berdiri di bordes, selain karena di dalam penuh aku juga lebih leluasa "nembak" kondektur mengingat tiket yang kubeli dari Jogja sebenarnya hanya sampai tujuan Kebumen.
Hari telah berganti senja saat kereta melaju kencang meninggalkan stasiun Kroya. Aku berdiri sendirian di salah satu sisi pintu gerbong yang terbuka. Seorang gadis manis berambut pendek mengenakan jaket blue jeans tiba-tiba muncul dari lorong dan ikut berdiri di pintu, berhadapan denganku.
"Ke Cilacap, Mbak?" Aku tersenyum menyapa namun dia hanya terdiam menatap keluar.
Sadar diri sapaanku tak berbalas, aku turut terdiam menatap pepohonan yang seolah berlari. Sesekali aku mencuri pandang ke gadis itu, menikmati wajah manisnya yang membisu. Mirip dengan seseorang yang kutaksir berat di sekolah dulu.
"Karcis..karcis..!" Kondektur kereta muncul membuyarkan lamunanku.
Kuselipkan beberapa lembar seribuan ke tangannya sambil berkata, "Numpang, Om"
Dia tersenyum dan berlalu meninggalkan kami. Sempat muncul pertanyaan di benakku kenapa gadis di depanku tidak diperiksa karcisnya. Tapi mungkin saja gadis ini sudah dikenal baik oleh kondektur atau malah saudaranya, bisa jadi. Saat kereta berhenti di stasiun Maos, kuberanikan diri lagi menyapanya, "Sendiri aja, Mbak?"
Dia tetap berdiri membisu.
"Saya turun sebentar ya," ucapku sambil meloncat turun. Begitu kakiku menapak di lantai stasiun, kulirik ke pintu, gadis itu tidak terlihat lagi. Paling ke toilet atau berjalan ke dalam gerbong, pikirku.
Tidak begitu lama berhenti, peluit kereta berbunyi pertanda akan melanjutkan perjalanan ke stasiun akhir di Cilacap. Aku buru-buru naik dan bertengger kembali di bordes pintu tempatku tadi berada.
Kereta melaju perlahan dan kulayangkan pandangan keluar menyusuri peron dan halaman stasiun.
Lho, gadis tadi.
Dia berdiri di tengah jalur rel paling ujung, berselisih dua jalur rel dengan kereta ini. Kali ini kulihat dia menatapku.
"Hei. Awaaass...!!" teriakku spontan melihat ada rangkaian kereta yang melaju cepat di jalur rel itu.
Namun ia tetap berdiri diam di tempatnya saat kereta itu menembus tubuhnya.
Ya betul, menembus tubuhnya!
Lalu sosoknya menghilang.
Dan beberapa hari kemudian dari tepi bordes kereta yang menbawaku kembali ke Jogja, kulihat gadis itu masih berdiri di sana, menatapku dalam diam.
Rest In Peace, Girl....
(Seperti diceritakan seorang sahabat padaku)