Bel pintu berbunyi. Milly baru selesai mandi. Ia bangun terlambat. Lima belas menit lagi menuju pukul tujuh dan ia belum sarapan. Cepat-cepat ia mengenakan pakaiannya. Milly berderap menuruni tangga, lalu melesat ke ruang tamu untuk membuka pintu.
Nicholas tersenyum manis. Tanpa sadar Milly melepaskan ikatan rambutnya sambil perlahan balas tersenyum. Nick tampak keren dengan kemeja kotak-kotak kasual dan celana jeans hitam. Jaket jeans hitam senada dengan kancing terbuka melekat sempurna di badannya. Kaos biru tua mengintip di balik kemeja kotak-kotaknya. Bahunya tampak bidang dan begitu menggoda untuk disentuh.
Milly mempersilahkan Nick untuk masuk.
"Kamu belum siap?" tanya Nick.
Milly menyeringai. "Sebentar lagi aku siap." Dengan tergesa-gesa Milly menuju dapur, mengeluarkan salad buah yang telah ia persiapkan tadi malam.
Kepalanya agak berdenyut akibat kurang tidur. Salahnya sendiri karena tidak bisa berhenti mengobrol dengan Ika semalaman. Ia baru tidur dua jam ketika alarm berbunyi. Jika ia tidak menyuruh Ika untuk pulang, maka bisa jadi Ika menginap di rumahnya. Rumah mereka sangat dekat. Tapi ia jadi semakin tidak bisa tidur jika Ika mendengkur di sebelahnya.
Nick menghampirinya ke dapur, lalu duduk di meja makan. Matanya terus memperhatikan Milly yang sedang melahap salad sambil berdiri.
"Kamu tidak tidur semalam," ucap Nick. Itu bukan pertanyaan. Tapi benar. Milly tidak dapat menyangkalnya.
"Apa aku terlihat berantakan?"
Milly meletakkan mangkuknya di meja, mengerjap-ngerjapkan matanya, membersihkan mata dengan jarinya, siapa tahu ada kotoran yang menempel, lalu merapihkan rambut, menepuk-nepuk pipi, seolah kegiatan itu berguna untuk membuat dirinya terlihat jadi lebih segar. Mungkin sedikit.
"Yaaa... Sekarang lebih baik." Nick mengangkat bahunya seolah tidak peduli. Milly mengaca di kulkas dan melihat ada lingkaran hitam di bawah matanya.
Milly teringat bahwa ia belum dandan sama sekali. Jadi ia bergerak cepat mengambil concealer dari dalam tas kecil yang berada di dalam tas kerjanya. Setelah selesai dandan seadanya, Milly kemudian memakai lip cream berwarna nude kesukaannya.
Ini sungguh memalukan karena ia melakukan semua ini di depan Nicholas. Sungguh Milly telah kehilangan harga dirinya. Seharusnya Milly sudah siap saat Nick datang. Lima belas menit yang berharga. Milly sanggup melahap saladnya dengan singkat dan berdandan jauh lebih baik seandainya Nick datang tepat waktu, atau mungkin terlambat beberapa menit. Milly tidak akan menyalahkannya bila Nick datang terlambat. Tapi tidak. Semua ini sungguh di luar rencana. Baiklah. Tidak ada waktu untuk mengeluh. Saatnya kembali mengunyah sarapannya yang rasanya sungguh hambar.
"Kamu makan apa sih?" tanya Nick sambil berdiri, kemudian berjalan menghampirinya.
"Salad buah," jawab Milly sambil mengunyah alpukat. Sebaiknya Nick tidak mendekatinya dan menatapnya seperti itu, karena bisa jadi Milly tidak sanggup menelan makanannya.
"Wow! Sehat sekali. Pantas saja badan kamu langsing."
"Kamu sendiri, bagaimana cara kamu menurunkan berat badan sebanyak itu?"
"Aku berolahraga. Apa menurutmu badanku sudah ideal sekarang?" Nick membuka tangannya agak lebar agar Milly bisa menilainya.
Astaga. Bukan hanya ideal, Nick sekarang tampak semakin tampan dan mempesona. Tidak perlu Nick menguruskan badannya saja sudah membuat Milly jatuh hati setengah mati.
"Bentuk tubuh ideal bukanlah tolok ukur untuk menilai kepribadian seseorang."
Kenapa ia malah berkata seperti itu? Lidahnya seolah kelu untuk mengucapkan isi hati dan pikirannya yang sesungguhnya. Jadi ia selalu saja membangun benteng untuk mempertahakan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu dilindungi. Gengsinya? Sungguh itu tidak ada gunanya.
Nick membentuk bibirnya menjadi huruf O. Lalu ia mengangguk sambil tersenyum. "Tentu saja. Kita tidak bisa menilai seseorang hanya dari luarnya saja."
Milly memutuskan untuk lebih berhati-hati saat berbicara. Ia tidak ingin mengeluarkan kata-kata yang tajam. Ia harus menjadi wanita yang lebih manis dan menyenangkan.
"Kamu tinggal sendirian?" Nick melipat tangannya di dada. Bahunya bersandar di tembok.
"Ehem." Milly mengangguk.
"Di mana keluargamu? Apa mereka kembali ke Inggris?"
Sesuatu yang luar biasa, Nick ingat bahwa keluarga Milly berasal dari Inggris. Itu bukan hal yang penting, tentu saja. Karena bagaimanapun juga, Milly lahir dan besar di Indonesia.
"Tidak. Mereka semua masih tinggal di Batam. Aku membeli tanah di sini, lalu membangunnya."
"Dengan uangmu sendiri?" Nick mengangkat alisnya.
"Ya. Sebagian besar. Tapi ayahku memaksa untuk menyumbangkan uangnya. Jadi ya beberapa perabot di rumah ini hasil pemberian dari orang tuaku."
"Wow! Kamu benar-benar hebat. Aku saja tidak pernah berpikir untuk membeli rumah untuk diriku sendiri."
Pagi ini, dua kali Nick mengucapkan : Wow.
"Tidak usah memuji. Lagipula rumah ini tidak terlalu besar. Rumah ini hanya untukku seorang. Kalau ada yang menginap, ya mau tidak mau mereka harus tidur di sofa atau berdesak-desakkan denganku di kasur yang kecil."
Milly membayangkan jika Nick yang menginap dan memilih untuk berdesakan dengannya di kasur yang kecil. Sesuatu yang mengandung aliran listrik menggelenyar di bagian bawah perutnya. Ia merapatkan pahanya, berharap agar naga tak kasat mata di dalam sana tidak tiba-tiba melesat keluar dari sarangnya.
"Menurutku rumahmu sangat bagus dan terasa nyaman. Semua benda yang ada di sini sesuai dengan fungsinya. Sangat minimalis. Tidak perlu ditambahkan lagi pernak-pernik perhiasan."
"Terima kasih." Milly mulai merasa pipinya agak memanas.
Nick ternyata sangat pemerhati. Padahal ia baru juga beberapa menit di rumahnya. Tatapannya sudah langsung menilai dengan tepat. Tidak ada hiasan apapun di rumahnya. Yang ada hanya perabot yang sesuai dengan fungsinya. Sama seperti karakter dirinya yang sederhana dan tidak suka memakai perhiasan apapun. Layaknya pakaian yang berfungsi untuk menutupi tubuhnya dan bukan hanya sekedar untuk bergaya. Mungkin itu yang membuat Melanie protes dengan gaya berpakaiannya yang biasa-biasa saja.
"Ngomong-ngomong apa kamu tidak suka lukisan atau pigura foto?"
"Tidak. Sungguh tidak perlu. Aku lebih suka polos seperti ini." Sebenarnya ada sebuah foto Nicholas yang ia simpan dengan rapih di sebuah kotak kecil di dalam lemari pakaiannya. Tapi Nick tidak perlu tahu hal itu sama sekali.
Milly selesai sarapan. Nick memperhatikannya saat meneguk susu kedelai sampai habis. Ia meletakkan mangkuk dan gelas kotor di cucian piring. Lalu sambil setengah berlari menyambar kunci mobil dan tas di meja, masih sempat merapihkan rambutnya sebentar sambil melirik kulkas. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul tujuh lewat sepuluh menit.
Ia menghampiri Nick lalu berkata, "Aku sudah siap."
"Let's go!"
Milly berjalan menuju garasi. Ketika ia hendak membuka kunci mobilnya, tiba-tiba Nick menahannya. "Kamu lupa ya. Hari ini aku yang akan mengantarmu."
"Oh..."
Jantungnya berdebar kencang saat Nick menggandeng tangannya lalu mengajaknya ke motor Nick yang diparkir di luar.
Motor? Nick pasti bercanda. Milly terperangah memandang motor sport hijau yang begitu gagah dan tampak... agak kurang ramah itu. Ia tidak pernah dibonceng dengan motor.