webnovel

Tentang Moral

Siang yang cerah berawan memang dinanti setiap pekerja. Setengah hari mereka menguras keringat, bermandikan peluh, dan memeras tenaga supaya keluarga tetap memiliki sesuatu untuk di makan di rumah. Kini, mereka berbondong-bondong rehat sejenak demi memulihkan fisik dan pikiran untuk sekali lagi berjuang melewati setengah hari yang akan datang. Beberapa dari mereka menghabiskan waktu di tempat makan yang cukup berkelas, ada yang hanya menikmati santap siang dari bekal yang dibuatkan orang rumah, yang lain memilih untuk menenangkan diri sejenak dengan bersujud menyembah Sang Ilahi.

Angin sepoi-sepoi dan makanan yang disantap dikala lapar, hidup tak pernah senikmat ini. Memang udara tidaklah sesejuk di pagi hari, tapi setidaknya ini menjadi penyemangat dari alam untuk terus gigih berjuang. Memang bukan makanan bintang lima, tapi apapun yang dinikmati tatkala perut kosong serasa menjadi kebahagiaan tersendiri. Semua itu hanya tergantung pada bagaimana setiap insan mensyukuri karunia yang diberikan oleh-Nya.

Sedangkan untuk urusan batin, tak ada tempat yang lebih tenang daripada rumah ibadah. Di mana lagi kita bisa menundukkan kepala, tapi derajat kita terangkat semakin tinggi. Di mana lagi kita bisa berbisik rapat ke bumi, sedangkan yang mendengar kita adalah langit. Di mana lagi seorang hamba meminta pertolongan kecuali hanya kepada Tuhan-nya. Urusan batin tak pernah masuk akal bila dipikir dengan logika. Rasa damai hanya bisa dirasakan oleh insan yang dekat dengan Sang Pencipta melalui hati nurani yang terjaga.

"Sis habis ini kita mau ke mana?" tanya Andi seraya terduduk di pinggir serambi masjid. Ia dan Siska baru saja melaksanakan salat dzuhur di sana. Dari sekolah tempat mereka menimba ilmu, ia mengajak Siska untuk sekadar menghabiskan waktu di pusat kota.

"Yang jelas aku laper," jawab Siska sedikit manja. Ia terduduk tepat di samping Andi. Kini, ia mulai mengenakan kaos kaki dan sepatu sekolahnya.

"Di sekitar sini banyak jajan kok, nanti kita jajan bareng-bareng," kata Andi. Ia juga mengikuti apa yang Siska lakukan.

Setelah mereka bersiap, keduanya mulai melangkahkan kaki melewati gerbang masjid. Lalu, mereka mencari-cari jajanan yang sekiranya cocok untuk dinikmati berdua kala sinar matahari mulai terasa semakin menyengat di kulit. Beberapa meter mereka berjalan, akhirnya mereka memutuskan untuk membeli es dawet durian di dekat alun-alun Kota Wonosobo. Bukan tanpa sebab mereka memilih jajanan itu. Tenggorokan mereka terasa kering, tapi perut juga ikut keroncongan. Es dawet durian menjadi pilihan yang cocok lantaran isiannya yang cukup banyak dan tentu saja menyegarkan.

"Ibu, es dawetnya dua ya," kata Andi kepada ibu-ibu penjual dawet.

"Oh iya, sebentar ya, Mas."

Memang lapak dagangan ibu ini tak pernah sepi. Andi selalu suka membeli es dawet durian di sini. Selain karena rasanya yang enak, porsinya juga relatif besar dan tentu saja harga yang ramah untuk kantong pelajar. Berhubung antrian cukup banyak, Andi dan Siska terpaksa menunggu sedikit lebih lama. Namun, itu tak menjadi masalah besar. Selama keduanya sedang menghabiskan waktu bersama, selama apapun mereka menunggu waktu akan terasa lebih cepat dari biasanya.

"Mas, ini es dawetnya," kata si ibu penjual menyerahkan dua bungkus es dawet durian setelah melayani beberapa pembeli terlebih dahulu.

"Iya, Bu. Makasih," balas Andi seraya menyerahkan dua lembar pecahan lima ribuan kepada si ibu penjual.

Setelah itu, keduanya pergi melewati trotoar jalan. Belum jauh mereka melangkah, sebuah pertanyaan kembali terlontar dari mulut Andi. "Enaknya kita duduk di mana ya?"

"Di alun-alun sebelah timur aja gimana? Di sana ngga terlalu banyak orang, pohonnya di sana juga rimbun. Jadi kita nggak akan kepanasan."

"Ya udah. Kita nyebrang dulu ke sana." Andi menyerahkan es dawet mereka untuk di bawa Siska.

Tepat di sisi barat alun-alun kota mereka hendak menyeberangi jalanan yang cukup padat. Beberapa lama mereka hanya berdiri di ujung zebracross, menunggu kesempatan untuk menyeberang. Andi terus memantau keadaan, tapi rasanya tak ada celah di antara lalu lintas yang ramai. Sampai ada seorang ibu yang sedang menggendong balita juga ikut berdiri di belakang Andi berniat ikut menyeberang bersama. Tak lama berselang juga ada seorang kakek tua yang ikut berdiri di belakang Andi tanda ingin menyeberang.

"Duh, ramai sekali jalannya," keluh si ibu dengan raut wajah was-was.

"Iya, Bu. Bareng aku aja nyebrangnya," sahut Andi seraya menoleh ke wajah si ibu.

Akhirnya, ada celah yang walau pun tak terlalu jauh tapi dirasa cukup untuk menyeberangi jalan. Perlahan Andi melangkah sambil mengangkat tangannya untuk memastikan jika ketiga orang yang menyeberang bersamanya dalam keadaan aman. Awalnya semua berjalan lancar, kendaraan di sekitar mereka melambat tatkala melihat mereka menyeberang. Hingga ketiga orang itu berhasil naik ke trotoar alun-alun kota, sesuatu yang tak mengenakkan terjadi.

Andi belum sempat naik ke trotoar karena ia memang berada di posisi paling terakhir saat menyeberang, memastikan saja jika tiga orang itu bisa menyeberang dengan aman. Namun, sayangnya perbuatan baiknya sedang tidak membawa keberuntungan. Seorang pengendara motor tiba-tiba melewatinya dengan kecepatan tinggi. Posisinya sangat dekat, hingga stang kendaraan itu menghantam siku Andi. Spontan ia langsung melompat ke trotoar sambil menahan nyeri.

Melihat kejadian itu, Siska langsung mendekat dengan ekspresi panik. "Andi! Kamu nggak papa?" Ia langsung memeriksa keadaan siku Andi. Terlihat ada sedikit goresan di sana, hingga mengeluarkan setetes darah. "We! Kalau jalan pake mata!" serunya kepada si pengendara motor FU yang kini sudah terlihat semakin menjauh.

"Udah, Sis. Nggak apa kok," kata Andi menenangkan.

"Ih nyebelin banget tuh orang," lanjut Siska.

"Udah. Cuma kegores, nggak papa."

Kemudian, Andi mengajak Siska berjalan menuju ke alun-alun bagian timur. Suasana di sana tak terlalu ramai, mungkin karena ini bukan hari minggu dan memang sudah lewat tengah hari. Orang-orang hanya terlihat sekadar duduk-duduk di bawah pohon beringin di sepanjang tepian alun-alun sambil asyik dengan gedget mereka. Lalu, tak lama kemudian keduanya juga telah terduduk di salah satu sudut alun-alun kota sambil mulai menikmati es dawet durian tadi.

"Makasih," celetuk Siska tiba-tiba.

"Buat?"

"Ya, udah perhatian ke aku dan selalu menghargai aku. Nggak semua cowok begitu lo."

Andi hanya tersenyum kecil. "Ah cuma gitu doang kok. Kemarin sebenernya waktu kamu bilang hubungan kita flat aja, itu aku mikir. Mungkin aku emang terlalu cuek."

"Kamu tahu? Hubungan itu nggak melulu soal hal-hal besar. Sesuatu yang sepele juga sebenarnya sangat penting buat membangun chemistry."

"Iya, Sis. Kamu bener," jawab Andi pada akhirnya.

Dua sejoli ini pun menikmati minuman mereka sepanjang sisa hari yang cerah hingga senja tiba.

***

Hadiah anda adalah motivasi untuk kreasi saya. Beri aku lebih banyak motivasi!

Eirene_Aether_5671creators' thoughts
Nächstes Kapitel