Hari pertama UAS berjalan dengan baik. Tak ada sesuatu yang spesial yang terjadi hari itu. Kebanyakan siswa mempersiapkan UAS jauh-jauh hari, sedangkan sebagian yang lain lebih memilih apa adanya dan tak terlalu dipaksakan. Beberapa siswa juga memilih melakukan UAS tanpa persiapan berarti karena mereka hanya ingin cepat-cepat menyelesaikan urusan sekolah dan kembali fokus ke hal yang benar-benar mereka tekuni.
Sebenarnya, jika ditanya apakah sekolah formal itu penting? Ya, itu tergantung pada tujuan hidupmu di masa depan. Jika kau menginginkan pekerjaan dengan ijazah dan gelar sebagai syaratnya, maka sekolah formal menjadi sangat penting. Sebab tanpanya, kau takkan pernah menggapai cita-citamu itu. Banyak orang menggemari pekerjaan formal karena nasib mereka jelas dijamin negara atau perusahaan.
Bagi mereka yang senang menggeluti profesi sektor informal, ijazah tak begitu berarti bagi mereka. Yang terpenting adalah kita menekuni sesuatu hal tertentu sampai membuahkan hasil berupa pundi-pundi rupiah. Sedikit lebih menantang, tak ada yang tahu apakah kau akan berhasil atau tidak. Terutama bagi mereka para wirausaha, mereka harus benar-benar memutar otak untuk membangun dan mempertahankan usahanya. Sekali kau berhasil, mungkin namamu bisa terpampang di deretan daftar orang-orang terkaya dengan penghasilan fantastis. Resikonya tentu sepadan, jika kau bangkrut maka kau akan kehilangan segalanya.
Berbeda dengan orang-orang di industri kreatif. Kebanyakan dari mereka tak menganggap pekerjaan mereka sebagai pekerjaan, melainkan hanya sekadar sesuatu yang mereka senangi. Namun, karena mereka memiliki kompetensi di dalam hobi mereka, rasanya mereka menjalani pekerjaannya dengan sepenuh hati dan tanpa merasa terbebani sama sekali. Yang terpenting adalah menghasilkan karya yang orisinil dan memiliki media untuk mengekspresikan diri.
Intinya adalah apapun pekerjaanmu, sebaiknya dijalankan dengan sepenuh hati, atau setidaknya kau tak membenci pekerjaanmu.
Soal sekolah, kembali pada pribadi dari setiap orang. Jika ijazah dan gelar dirasa perlu, fokus saja pada mempercantik nilai rapormu. Jika tidak, tekuni saja apa yang kau inginkan dan jadilah seorang expert. Soal penghasilan dan rizki, itu sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa.
"Andi" seru Rafi dari kejauhan.
Andi yang sedang berjalan menuju keparkiran sekolah pun lantas menoleh ke belakang. "Hei, Rafi. Ayo pulang," sahut Andi.
"Iya, ini mau pulang," kata Rafi sambil merangkul bahu Andi. "Oh ya, gimana UAS kamu hari ini?"
"Biasa aja," jawab Andi singkat.
"Ih, kok kamu nyebelin banget sih," keluh Rafi.
"Haha, kamu nih, Raf. Baperan banget jadi orang," ujar Andi seraya tersenyum kecil.
"Ya kan aku tanya baik-baik juga, kamu jawabnya judes banget. Salah apa aku coba."
"La? Emang UAS-ku tadi biasa aja kok. Nggak gampang, nggak sulit. Biasa aja."
"Ya udah deh, iya iya. Aku yang salah."
"Ih kok kamu ngambeknya kaya Siska si?" Merasa kesal dengan ucapan Andi, Rafi pun memegang pinggang Andi supaya dirinya merasa geli. "Aduh! Iya iya, maaf."
"Nah, kamu ini."
Setelah sampai di parkiran, mereka pun mencari posisi motor mereka bersama. Kebetulan tadi pagi, Andi parkir tepat di samping motor Rafi.
"Ngomong-ngomong soal Siska, emang dia nggak pulang bareng kamu, An?"
"Nggak. Tadi aku dapet chat, katanya dia udah dijemput ayahnya."
"Owalah, ya udah. Bareng aku aja pulangnya," ajak Rafi sambil menyalakan motornya.
"Iya, ini kan mau bareng."
Baru saja mereka berdua akan melewati gerbang depan sekolah, sebuah suara memanggil Andi dari kejauhan. "Andi!"
Spontan, Andi menghentikan motornya dan melihat ke arah sekeliling mencari sumber suara. Setelah ditelisik, rupanya Pak Fami yang memanggil Andi. Dari arah ruang kaca, dia setengah berlari menuju ke arah Andi.
"Iya, Pak. Ada perlu apa?"
"Saya dengar ayah kamu lagi sakit di rumah. Kalau misal sekarang saya jenguk ayah kamu gimana?" tanya Pak Fahmi.
"Oh, kalau bapak mau pulang bareng saya boleh, Pak. Sekalian itu juga bareng sama Rafi," jelas Andi seraya menatap Rafi yang juga ikut berhenti tak jauh dari posisinya.
"Iya. Kamu jalan dulu aja, nanti saya nyusul di belakang kalian."
"Oke, Pak."
Andi pun kembali melanjutkan perjalanan pulangnya bersama Rafi di depannya. Pak Fahmi memang berteman akrab dengan ayahnya. Umur mereka tak terpaut jauh, hanya saja gurunya itu belum juga memiliki pasangan hidup. Dirinya tak tahu pasti mengapa dan bagaimana mereka bisa menjadi teman akrab, yang jelas hubungan kedua pria itu sangatlah dekat, mungkin sudah seperti saudara kandung.
Sedari tadi, berulang kali Andi melirik ke arah kaca spion. Sepanjang perjalanan, ia mencari keberadaan Pak Fahmi yang belum terlihat menyusul juga. Sampai mereka berdua memasuki gapura perumahan komplek kediaman mereka, keberadaan Pak Fahmi belum terlihat sama sekali. Apa mungkin dirinya tak jadi menyusul, atau ia akan menyusul beberapa jam lagi? Entahlah.
Sampailah pada pertigaan di mana Rafi dan Andi berpisah. Keduanya hanya saling melepar klakson tanda ucapan sampai jumpa. Andi masih saja melirik kaca spion, masih belum ada tanda-tanda. Ketika ia tiba di rumah dan memarkirkan kendaraan tepat di samping teras, barulah ia mendengar suara khas motor sport milik Pak Fahmi.
Gurunya itu memang agak eksentrik untuk seorang guru PAI. Ketika Pak Fahmi memarkirkan kendaraannya, ia mengenakan kemeja batik lengan pendek dan tas selempang kecil. Ia tidak menggunakan jaket yang biasa ia gunakan untuk berkendara. Saat melepas helm full face-nya, ia baru mengenakan kupluk hitam polos kesayangannya.
"Mari masuk, Pak," kata Andi seraya melewati pintu masuk. "Assalamualaikum."
"Assalamualaikum," ucap Pak Fahmi ketika memasuki rumah Andi.
"Waalaikumsalam. Silakan duduk dulu, Pak. Aku panggil Ayah sebentar," kata Andi sambil bergegas menuju tangga.
"Iya, Andi."
"Ayah!" seru Andi ketika sudah berada di lantai dua. Kamar Jaka memang di lantai bawah, tapi Andi tahu jika hari ini ayahnya sedang menghabiskan waktu di ruangan kesayangannya di lantai dua. Jaka memang sulit ditebak, tapi Andi masih mengenali kebiasaan-kebiasaan Jaka di rumah.
"Ayah?" panggilnya sambil mengetuk pintu ruangan.
"Iya? Kenapa, Nak?" jawab sebuah suara dari dalam.
"Ada Pak Fahmi tuh di bawah."
Suara langkah kaki samar-samar terdengar mendekati pintu. Tak lama berselang pintu terbuka dan terlihat Jaka sedang memegang sebuah buku tua. "Ada Fahmi?"
"Iya."
"Ya sudah. Kamu bersih-bersih, ganti baju, terus istirahat aja di kamar. Nanti Inem tak suruh bikin nasi goreng buat kamu."
"Iya, Yah," jawab Andi sambil melangkah menuju kamarnya.
Sementara itu, Jaka bergegas turun ke ruang tamu. Dirinya masih berada di dasar tangga ketika ia menyapa sang sahabat. "Fahmi?"
"Jaka." Fahmi langsung bangkit dari duduknya dan menghampiri Jaka. "Astaga, lukanya parah juga," katanya ketika melihat bekas luka yang masih baru di dekat pelipis kepala Jaka.
"Cuma kegores kok. Kita ngobrol di lantai dua aja, ya. Biar lebih leluasa," tegas Jaka sembari kembali menaiki tangga.
"Iyalah, jangan di sini. Nanti banyak yang dengar," kata Fahmi menyetujui.
***
Adakah pemikiran tentang kisah saya? Tinggalkan komentar dan saya akan membaca dengan serius