(Gubraaakk)
Seketika itu juga, kesadaran Jaka dipaksa kembali ke kehidupan nyata. Namun, seolah-olah nyawa belum sepenuhnya menduduki tubuhnya. Hingga tanpa ia sadari mulutnya sedikit menggerang menahan sakit karena terjatuh dari ranjang. Memang terasa nyeri, namun justru yang paling menyakitkan datang dari telapak tangan kanannya.
"Argh, sialan," umpat Jaka kemudian.
Perlahan ia bangkit dari lantai dan menyandarkan diri sejenak di samping ranjang. Tatapannya yang kosong mengarah ke bayangannya sendiri di cermin lemari pakaian. Helaan napas berat terus saja ia hembuskan, berusaha untuk menenangkan hati dan pikiran. Disentuhnya telapak tangan kanan itu, ada sedikit bekas lebam tepat di tengahnya. Ia tahu benar bekas itu berasal dari mana, yang jelas bukan berasal dari dimensi ini.
Setelah beberapa saat terdiam saja, Jaka bangkit dan bergerak membuka kunci pintu kamarnya. Kemudian, ia melangkah menuju dapur. Tangannya meraih pintu lemari di atas wastafel, matanya menyorot setiap rak dari lemari itu. Ia sedang mencari sebuah botol kaca yang berisi minuman berwarna ungu gelap. Setelah ia temukan, tanpa menunggu lama ia segera mengambilnya seraya ikut meraih sebuah gelas ukuran kecil dari rak piring.
Ketika Jaka hendak kembali menuju ke kamarnya, tanpa disadari ternyata Inem yang masih memegang sapu ijuk di ruang tengah melihat dirinya membawa barang-barang itu. Ternyata, asisten rumah tangganya itu telah memperhatikan gerak gerik Jaka sedari tadi. Namun, Inem sama sekali tak terkejut dengan kelakuan majikannya. Seolah itu sudah menjadi hal yang biasa di tangkap oleh pandangannya. Jadi, Jaka pun hanya meletakkan telunjuk di bibirnya dengan diiringi tatapan tajam. Maka kemudian mereka berdua pun saling memahami keadaan yang sedang terjadi.
Jaka segera kembali mengunci pintu kamarnya. Ia mengambil posisi duduk ternyaman di salah satu sisi ranjang kesayangannya itu dan mulai membuka tutup botol yang ia genggam. Isinya sudah setengah kosong, mungkin nanti sore ia akan membeli dua atau tiga botol lagi sebagai persediaan di rumah. Dituangkannya minuman berwarna ungu gelap itu ke dalam gelas dan segera menenggaknya dalam sekali tegukan.
Kemudian, Jaka mengulanginya. Terus mengulangi, lagi dan lagi hingga isi botol kaca itu benar-benar habis. Barulah setelah ia puas dengan minuman, tubuhnya merasa nyaman.
Hangat seperti tenggelam dalam dekapan kasih seorang wanita. Tenang seperti tengah terduduk di atas karang yang dibelai mesra oleh ombak lautan. Damai seperti berada di puncak gunung seorang diri. Hingga tanpa ia sadari tubuhnya rubuh ke atas ranjang yang selalu menjadi teman setia tatkala susah maupun senang.
"Kau merindukan cinta, bukan begitu?"
Suara yang sama kembali terdengar. Ya, suara sensual seorang wanita penuh tipu daya. Jaka takkan terbuai semudah itu. "Tidakkah kau lihat jika aku sedang beristirahat? Baru saja kubereskan semua kekacauanmu kemarin. Kini kau sudah datang lagi, mengganggu tidur soreku yang berharga dengan membawa petaka."
"Haha, kau lucu sekali, Inisiat rendahan." Suara itu terdengar di seluruh penjuru ruangan, tapi Jaka tak mampu melihat dari mana sumber suara itu berasal.
"Apa kau tidak punya telinga atau pura-pura lupa? Sudah kubilang padamu, perang kita bukan di sini. Siapa kau berani masuk ke kamarku tanpa permisi dan seijin dariku? Begitukah caramu memperlakukan kaum yang lebih tinggi derajatnya darimu? Dasar wanita tak tahu diri."
Karena terpengaruh minuman, ucapan Jaka sudah tak mampu lagi disaring dengan baik. Bukannya mencari cara untuk membuat sosok itu pergi, ia malah makin membuatnya kesal.
"Aku datang bukan untukmu. Aku datang untuk mengambil jiwa seseorang."
"Jika kau berani menyentuh putraku sekali lagi, kupastikan kau akan menyesalinya seumur hidupmu."
"Bagaimana jika aku hidup abadi, Sayang?"
"Maka penyesalanmu kekal bersama dengan hidupmu yang tidak berguna."
Seketika, leher Jaka dicekik oleh sesuatu yang tak kasat mata. Tubuhnya terangkat ke udara hingga melayang beberapa sentimeter dari ranjang. Kedua tangan Jaka berusaha melepas cekikan itu, tapi yang ia pegang hanyalah lehernya sendiri. Bagaimana ia melawan sesuatu yang bahkan tak bisa dilihat oleh mata?
"Jalang murahan!" makinya dengan suara yang nyaris tak terdengar.
Namun, perkataan itu membuat si sosok bertambah murka. Dengan sekuat tenaga, ia melempar tubuh Jaka ke arah cermin hingga kepala pria itu terbentur keras. Tubuhnya jatuh menghantam lantai untuk yang kedua kalinya. Puluhan serpihan kaca berjatuhan silih berganti, mendarat di sekitar tubuh Jaka yang kini telah terkulai lemas tanpa tenaga. Denging aneh mulai memenuhi kepalanya, hingga suara di sekitar menjadi senyap.
Terlihat gagang pintu bergerak naik-turun, seperti ada yang ingin memaksa masuk ke dalam. Tapi, pandangan Jaka terlanjur buram. Darah mulai mengalir melewati pelipis matanya menuju leher yang juga telah tergores serpihan kaca. Ia benar-benar di ambang batas kesadaran sekarang.
"Kau masih terlalu lemah untuk tugas ini, Lazarus. Kau takkan mampu menandingi kekuatan kami. Apalagi jika kau berhadapan dengan Yang Mulia, kau bahkan akan mati sebelum melihat kebesarannya," ucap sebuah suara.
Mungkin tubuh Jaka sudah tak berdaya, namun itu sama sekali tak menyurutkan tekadnya untuk memerangi kegelapan. Dengan suara terbata-bata ia berkata, "Hanya Sang Terang yang berhak menyandang gelar Yang Mulia. Tuanmu sama sekali tak pantas duduk di singgahsananya. Kekuasaannya tidak lain hanyalah sebuah kesemuan belaka. Yang fana tetaplah mati, bahkan jika kau mengaku abadi."
Pintu kamar berhasil didobrak dan muncullah Andi sebagai yang pertama memeluk tubuh Jaka dengan erat. Putranya itu benar-benar panik, tak tahu harus berbuat apa. Kejadian yang terjadi juga takkan masuk di nalar. Inem dan Rafi yang melihat keduanya dari belakang pun hanya bisa terdiam membisu.
"Ayah kenapa?!"
Andi berusaha membersihkan darah yang mengalir di wajah Jaka. Tapi pria itu malah menggenggam tangan anaknya dengan penuh kehangatan sembari menatapnya senang.
"Nak, untung saja kamu nggak perlu ngalamin hal kaya gini. Cukup Ayah saja dan kamu nggak perlu khawatir."
"Ayah tuh gimana?! Masa aku disuruh jangan khawatir."
"Andi, dengerin Ayah ya, Nak." Andi terlihat terus saja ingin mendebat Jaka lantaran emosi yang tak mampu ia kendalikan. Tapi, dengan sikap tenangnya Jaka berusaha membuat anaknya itu tetap tegar menghadapi semua ini. "Ayah janji, kita akan melewati semua ini bersama. Ayah ingin kamu bahagia, walau itu mengorbankan jiwa dan raga Ayah."
"Nggak gitu juga caranya, Yah!"
Melihat Inem dan Rafi yang masih terpatung melihat kejadian ini, Jaka pun memilih untuk mengalah. Ia menghela napas panjang dan memejamkan mata sejenak. Rupanya, kesadaran Jaka kini hilang sepenuhnya. Andi yang semakin panik dengan keadaan saat itu langsung berusaha menyadarkan sang ayah. Tapi, ternyata usaha Andi tak membuahkan hasil.
***
"Jika kau berani menyentuh putraku sekali lagi, kupastikan kau akan menyesalinya seumur hidupmu."