webnovel

Keputusan Lamaran

Aisyah terdiam cukup lama, membuat keheningan itu menjadi begitu mencekam, apalagi wajah Latifah yang begitu khawatir terhadap keputusannya.

"Aku menerimanya" jawab Aisyah dengan suara lembutnya namun jelas untuk di dengar.

Semua yang ada di sana menatap Aisyah dengan lega, akhirnya ketegangan yang tadi sempat mengisi hati mereka kini meluap juga.

"Alhamdulillah" ucap semua orang dengan lega.

"Baiklah, karna calon mempelai wanita sudah menerima lamaran dari mempelai pria maka di persilahkan untuk memberikan seserahan sebagai simbolis jika mempelai pria menghargai harkat dan martabat dari mempelai wanita." Tukas pak RT lagi dengan lantang.

Rafka pun mengangguk paham, lalu Latifah melangkah mendekati Rafka untuk membantu mengambilkan seserahan yang berada di belakangnya. Tidak banyak yang ia bawa, hanya ada 3 parsel berisi pakaian, aksesoris, uang dengan lembar yang cukup banyak.

Lalu Aisyah dan Rafka di minta untuk berhadapan, walau masih ada jarak sekitar 1 meter di antara mereka tapi rasanya jarak itu tidak terasa sama sekali.

Aisyah tidak bisa mengangkat wajahnya karna rasa malu yang menguasai dirinya, dan Rafka hanya tersenyum tipis saat sesekali saja menatap Aisyah yang wajahnya merona.

Rafka memberikan seserahan itu pada Aisyah, lalu Aisyah menerimanya dengan senyumnya. Momen itu pun di abadikan melalui ponsel oleh Rahima, ia benar-benar senang dengan rencana pernikahan tidak terduga ini.

Acara lamaran pun selesai, tapi mereka tidak mengadakan tukar cincin karna Aisyah menolaknya. Mengingat pernikahan di lakukan minggu depan, Aisyah menyayangkan jika membeli perhiasan itu sampai dua kali.

"Baiklah, dengan ini kalian resmi saling mengikat walaupun belum sah. Saya selaku ketua RT di wilayah ini sudah meresmikan pertunangan kalian, dan untuk pernikahan kami serahkan pada keputusan bersama. Kalau begitu saya mohon undur diri, apabila ada kesalahan dari perkataan ataupun perbuatan, mohon di maafkan. Terima kasih, wassalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh." Ungkap pak RT itu dengan pasti.

Lalu pak RT itu pun bangkit, di antar oleh Umar selaku tuan rumahnya. Dan kini waktunya dua keluarga itu merencanakan pernikahan yang akan terjadi, walau sebenarnya Aisyah tidak ingin yang berlebihan.

"Jadi Aisyah, pernikahan seperti apa yang kamu inginkan?" Tanya Rahima dengan semangat.

Aisyah menatap calon ibu mertuanya itu dengan senyum tipis, lalu ia pun menjawabnya.

"Seperti biasa saja bu, yang penting sah di mata hukum dan agama." Jawab Aisyah dengan tenang.

Mendengar jawaban itu Latifah dan Rafka sama-sama menatap Aisyah dengan tatapan tidak percaya, tapi mereka tidak membuka suaranya dan memilih untuk mendengarkan saja pembicaraan Rahima dan Aisyah itu.

Rahima mengangguk kagum, ia pikir Aisyah akan meminta sesuatu yang mewah dan spesial mengingat dirinya itu akan menjadi istri kedua. Tapi ternyata Aisyah tetaplah Aisyah, seorang gadis polos yang memiliki akhlak baik.

"Baiklah nak, kamu akan menikah secara sederhana dan di saksikan oleh orang terdekat kita saja." Balas Rahima memutuskan.

"Ya, terima kasih bu" jawab Aisyah dengan senyumnya.

"Oh ya Aisyah, pernikahanmu akan di lakukan di rumah ini minggu depan. Jadi kamu harus bersiap, dan mulai hari ini kamu tidak boleh terlalu banyak keluar rumah." Jelas Latifah memberi arahan.

Aisyah mengangguk paham, ia mengetahui tradisi itu. Selama tidak bertentangan dengan agama, maka Aisyah akan mengikutinya.

"Baik mba, Aisyah mengerti." Jawab Aisyah dengan pasti.

Meninggalkan para wanita yang sibuk berbicara sejak tadi, Rafka dan Umar memilih untuk duduk sedikit berjauhan dari mereka. Karna Umar sendiri ingin berbincang banyak dengan Rafka, mengingat mereka hanya pernah bertemu satu kali itupun sangat singkat karna Rafka langsung pergi setelah itu.

"Jadi nak Rafka sendiri, kenapa mau menikahi anak saya?" Tanya Umar dengan tenang.

Rafka yang di tanya tiba-tiba seperti itu langsung menunduk, ia harus jawab apa di situasi seperti ini.

"Maaf yah, sebelumnya saya pernah menolak rencana ini karna saya mencintai istri saya dan tidak ingin menyakitinya. Tapi ibu dan istri saya malah mendesak saya untuk membuat keputusan yang saya sendiri tidak menginginkannya, saya hanya bisa pasrah menjalani semua ini." Jawab Rafka dengan jujur sesuai isi hatinya.

Umar mengangguk paham dengan jawaban Rafka, ia juga mengerti posisi Rafka yang memang sulit sama seperti Aisyah.

"Ayah mengerti perasaanmu, Aisyah juga berada di posisi yang sama sulitnya denganmu. Kalian harus berkorban untuk orang yang kalian sayangi, dan pengorbanan ini di restui oleh Allah." Balas Umar dengan senyum tipisnya.

Rafka menatap Umar dengan bingung, ia sama sekali tidak mengerti dengan perkataan Umar.

"Maksud ayah?" Tanya Rafka heran.

Umar tersenyum tipis, lalu ia menepuk pundak Rafka untuk menyalurkan kekuatan pada calon menantunya itu.

"Sebelum memutuskan jawaban ini, Aisyah sudah bertanya langsung pada yang kuasa nak. Dan jawabannya di berikan melalui mimpi dalam tidur Aisyah selama 8 malam berturut-turut, bahkan Aisyah sendiri tidak mengerti dengan hal itu." Jawab Umar tidak menjelaskan lebih jauh.

Rafka semakin tidak paham dengan penjelasan Umar, rasanya semakin banyak pertanyaan yang hadir di kepalanya.

"Maksud ayah kami memang berjodoh?" Tanya Rafka memastikan.

Umar mengangguk pelan, walau tidak menjawabnya tapi Rafka tau arti anggukan itu.

"Nak Rafka, berpoligami itu tidak mudah. Nak Rafka harus adil antara keduanya, tidak membedakan satu dengan yang lain, dan sama-sama memenuhi kebutuhannya. Tapi ayah tidak akan mendesak nak Rafka untuk mencintai putri ayah, karna putri ayah sendiri tidak meminta hal itu." Jawab Umar dengan tenang.

Rafka kembali menunduk, karna memang itu juga yang sulit baginya. Hatinya sudah di penuhi oleh Latifah, Rafka sendiri tidak yakin bisa mencintai Aisyah sama besarnya dengan rasa cintanya untuk Latifah.

"Memang apa yang Aisyah inginkan yah?" Tanya Rafka sambil melirik Aisyah yang tersenyum pada Latifah dan Rahima.

Umar menatap Aisyah yang tersenyum, ia pun ikut tersenyum melihatnya.

"Aisyah putri kecilku yang manja, dia tumbuh dengan ajaran agama dan moral yang selalu aku utamakan. Aisyah tidak akan pernah menuntut lebih padamu, dia terbiasa menjalani hidupnya dengan arus takdir. Jika memang kalian di takdirkan bahagia, maka dia akan bahagia. Dan bila sebaliknya, Aisyah tidak akan mengatakan isi hatinya pada siapapun. Nak Rafka, bagiku Aisyah adalah sebuah anugrah terindah. Di saat istriku tiada 10 tahun lalu, Aisyah langsung menggantikan tugas istriku dengan sangat baik. Ia tidak pernah mengeluh, dan senyumannya tidak pernah hilang. Walau masalah menerpa kami, Aisyah tetap yang paling pintar mencairkan suasana. Dia halus dan lembut, tapi juga kuat dan tegar. Aisyah masuk dalam rumah tangga kalian sebagai penolong, walau dia sendiri harus mengorbankan masa depannya. Tolong jaga putri ayah, dia satu-satunya harta ayah yang paling berharga." Jelas Umar menceritakan sosok Aisyah di matanya.

Nächstes Kapitel