webnovel

Lendir dan Bulu Yang Halus

"Mbak Dina, bangun Mbak!" seseorang menggoyang-goyangkan tubuhku. Pelan-pelan aku membuka mata. Terlihat seorang pria chinese yang sangat familiar. Ko Pras atau biasa aku biasa memanggilnya Mas Pras. Melihatku sudah sadar, dia membantuku untuk bangkit. Sementara aku memijat kepala yang terasa pening sembari bergelayut di tubuh atletisnya.

"Keterlaluan papa, kenapa dia bisa meninggalkan mbak semalaman di dalam toilet." Gerutunya kesal.

Aku tidak terlalu memperhatikannya karena kepalaku yang masih terasa pusing. Pria ini sungguh berbeda perangai dengan kedua orang tuanya. Dia sangat baik dan dewasa. Diam-diam aku mengaguminya, apalagi dia adalah tipe orang yang sangat bisa menjaga penampilan, sehingga dengan sekali lihat saja, tentu banyak wanita yang tergila-gila.

Meskipun dia keturunan Chinese, tetapi dia tidak mau dipanggil ko, layaknya panggilan buat pemuda seumurannya. Dia lebih suka dipanggil Mas.

Begitupun aku, sudah berapa kali aku memintanya untuk memanggil namaku saja. Namun, dia lebih memilih memanggilku mbak. Alasannya karena aku lebih tua darinya, padahal hanya terpaut dua tahun saja. Hal-hal simple, yang membuatku merasa dihargai.

Satu hal yang membuatku kepincut adalah aroma parfumnya Vanilanya, seakan sudah menjadi signature bagi seorang Pras, karena aku tidak pernah menemukan aroma vanillanya yang begitu khas, begitu memikat.

"Mau kemana kita mas?" tanyaku ketika dia membawaku ke mobilnya.

"Aku membawamu ke rumah sakit." Sahutnya sembari membuka pintu depan mobil.

"Enggak usah Mas, aku tidak apa-apa kok, hanya pusing saja. Cukup beristirahat saja, pasti sembuh kok." Elakku. Aku sangat anti ke rumah sakit. Bau obat-obatan saja kadang membuatku terasa mual. Jadi sebisa mungkin kalau tidak begitu parah, minum obat-obatan saja, terus beristirahat.

"Yakin kamu." katanya memastikan. Wajahnya yang bersih tanpa noda itu mengernyit serius, membuatku geli.

"Iya Koh, eh Mas." Sahutku gugup. Kok mendadak jantungku berdegup kencang ya. Momen seperti ini yang paling aku tunggu-tunggu. Bisa sedekat ini dengan pria ini. Pria selain Angga suamiku yang aku kagumi karena perangainya yang berbeda dari kebanyakan yang aku kenal, yang kebanyakan adalah buaya.

Dia mengatur nafasnya sejenak. dan kini rasanya jantungku mau copot saja tatkala dia menampilkan senyum yang paling manis. Tuhan, aku enggak kuat, batinku menjerit. Namun aku harus bisa mengendalikan diriku sendiri. Untungnya Mas Pras adalah lelaki yang polos yang tidak tahu kalau aku sedang berbunga-bunga.

"Ya sudah, hari ini biar Mbak istirahat di rumah saja, tidak usah bekerja. Biar saya nanti suruh pegawai saya untuk menjaga gym ini." ujarnya memberikan solusi. Aku berpikir sejenak. aku bisa menggunakan kesempatan ini sebagai alasan untuk pulang kampung.

"Mari saya antar pulang Mbak. Mobil Mbak, biar pegawai saya yang mengantarkan." Ucapnya sembari membimbingku masuk ke dalam mobilnya. Kemudian, dia berlari menuju resepsionis dan mengambil peralatan pribadiku.

Setelah pegawainya datang, dia lantas mengantarku pulang.

***

Pras membaringkanku di tempat tidur. Sebenernya kondisiku sudah jauh membaik, dan rasa pening di kepalaku hilang. namun, aku harus tetap berpura-pura sakit.

"Mas, sepertinya aku besok tidak masuk kerja." Aku berpura-pura meringis kesakitan sembari memegang kepala.

"Sudah, jangan terlalu dipikirin. Yang penting kamu sehat dulu." Ujarnya menenangkanku.

"Tapi.."

"Biar saya yang bicara sama mama dan papa. Mbak enggak usah khawatir." Dia seolah bisa membaca pikiranku, "sebentar, boleh saya mengambilkan minum Mbak?"

"Iya, tolong ya mas. Kulkasnya ada di dapur. Tinggal lurus saja." Jelasku.

Dia langsung melipir ke dapur. Tidak berapa lama, dia kembali dengan membawa segelas air putih dingin.

"Ayo Mbak, diminum dulu."

Aku menegakkan badanku di sandaran ranjang. Lalu, perlahan air dingin membasahi kerongkonganku. Aku baru sadar kalau ternyata aku haus sekali. Kejadian semalam kembali terlintas dalam ingatanku. Seketika bulu romaku meremang. Yang membuatku keheranan sampai detik ini. Kemana perginya anton? Kenapa justru aku bertemu dengan mahluk itu?

Setelah selesai minum, Pras mengambil gelasku dan menaruhnya di atas nakas. dia membenarkan posisi duduknya yang lebih condong ke arahku, memberi jarak supaya tidak terlalu dekat. Duh, kenapa cowok ini tidak berhenti membuatku terkagum dengan sikap gentlemannya sih, andai dia suamiku pasti aku sudah bermanja-manja dengannya sekarang batinku gemas. Tapi buru-buru aku menghapus pikiran itu. jari manisku masih terpasang cincin perkawinan dengan Mas Angga, aku harus bisa menjaga komitmen.

Pras memperhatikanku. Dia pasti penasaran tentang kejadian semalam, sampai aku ketiduran di toilet pria. Tapi sepertinya dia lebih menahan untuk bertanya, apalagi setelah melihat kondisiku.

Pras mengedarkan pandangannya ke sekitar, "Mbak tinggal sama siapa disini?"

"Sebenernya sama suami Mas, tapi suami saya sedang berlayar sekarang." tuturku.

"Jadi, Mbak tinggal di rumah ini sendirian?" ucapnya keheranan. Aku hanya mengangguk lemah.

"Iya Mas, dulu sebelum menikah aku sudah biasa kok tinggal sendiri. jadi kalau ditinggal jauh sama suami enggak kaget."

"Mbak Dina memang wanita yang hebat. Mandiri banget. aku suka dengan wanita yang mandiri." sadar atau enggak, yang jelas perkataannya membuat jantungku rasanya terlepas sampai ke ulu hati. Wajahku bersemu merah. Pria romantis tapi tidak pernah sadar kalau dia romantis.

Sebenernya dia sudah memiliki pacar, atau lebih tepatnya calon istri. Namanya stevani. Aku tahu karena aku sering memantau sosial medianya. Perjodohan yang sudah diikrarkan dalam tali pertunangan. Kebetulan kedua orang tua mereka sama-sama terpandang dan mengenal lama, sehingga mereka memutuskan untuk berbesan. Dan sepertinya anak-anak mereka juga suka satu sama lain.

Hanya saja, aku tidak terlalu suka dengan calon istrinya. Pernah ketika pergi belanja ke mall. Aku berpas-pasan dengannya yang sedang menggandeng pria lain. Karena stevani tidak mengetahui kalau aku adalah karyawan dari calon ibu mertuanya. Mereka terlihat sangat mesra sekali seperti layaknya pasangan kekasih. aku berdecak kesal, kurang baik apa Pras, sehingga stevani menikungnya dari belakang? Namun pada saat itu aku tidak mau ikut campur. Aku sadar diri bahwa aku hanya seorang karyawan. Berurusan dengan orang kaya, sama saja mencelakai diri sendiri.

Tiba-tiba Sekelebat bayangan melintas di langit-langit rumah, membuatku terperanjat.

"Kenapa Mbak?"

Aku tidak segera menjawab, pandanganku melihat kesekitar dengan cepat seperti orang parno. Pras mengikuti arah pandangku.

"Mbak lihat apa?"

"Itu, Mas. Ada... ada bayangan hitam." Ujarku terbata-bata. Pras langsung berdiri, dia berjalan ke sana ke mari. Memastikan tidak ada apa-apa.

Ketika Pras mendekati jendela. Bayangan itu muncul dari balik pintu. Menampilkan taringnya yang berlumuran darah.

Ahhhhhhh

Seketika aku meraih bantal dan menutupi wajahku. Pas yang kebingungan lantas menghampiriku.

"Kenapa Mbak?"

Aku menutup wajahku dengan bantal dengan tubuh gemetaran. Pras memegang tangan pundakku, mencoba menenangkanku.

"Sudah Mbak, tidak ada apa-apa disini."

Perlahan aku membuka bantal. Wajahku bertubrukan dengan Pras. Waktu seakan berhenti berputar. Sorot mata pras yang teduh menembus cakrawala hatiku, membuatku terbuai. Sejenak aku melupakan ketakutanku.

Dia menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu beringsut mundur. dia terlihat salah tingkah. Bersamaan dengan hal itu, deru suara mobilku masuk ke dalam garasi.

"Itu mobil Mbak, sudah datang." ujarnya mengalihkan kejadian yang baru saja terjadi. Tidak berapa lama, seorang laki-laki menggunakan seragam restoran masuk ke rumah dan memberikan kunci mobilku.

"Makasih ya Mas, sudah membawa pulang mobil saya." Tukasku kepada karyawan resto itu. dia hanya bersikap ngapurancang sembari mengangguk pelan.

"Kalau begitu kami pamit pulang dulu ya Mbak. Mbak tidak apa-apa kan di rumah sendiri?" ujar Pras yang mengkhawatirkan kondisiku. Jujur, aku ingin dia berlama-lama disini, menemaniku di rumah yang sepi ini. apalagi melihat sekelebat bayangan yang terus menerus mengikutiku semenjak kejadian semalam. Tapi, aku tahu diri bahwa Pras adalah orang lain, tentu aku tidak bisa berharap lebih darinya.

"Enggak apa-apa kok Mas." Aku mencoba untuk tersenyum.

"Baik, kalau begitu kita pamit dulu ya Mbak. Permisi." Ucapnya sebelum keluar dari kamarku. Begitupun Karyawannya yang hanya mengangguk pelan sembari mengikuti juragannya itu. dari balik jendela, terlihat mereka masuk kedalam mobil dan berlalu dari rumahku.

Arghhhh

Tiba-tiba rasa nyeri menyerang kemaluanku. Lalu, tanganku mencoba menembus risleting celana jeans. Betapa kagetnya aku tatkala mendapati lendir yang bercampur bulu misterius.

Nächstes Kapitel