webnovel

Mesum

"Arah kanan, maju sepuluh langkah!"

"Badan serong 45 derajat, lanjut jalan lima langkah."

"Lompat! Di depan lo ada katak, noh!"

Begitu lah kiranya titah yang di ucapkan oleh setiap ketua regu sembari menyebut nama yang di maksudkan untuk mengikuti arahan. Sementara para panitia tengah sibuk mencari hiburan. Peristiwa konyol banyak tersaji. Entah para peserta yang jadinya saling tabrakan, terjungkal, bahkan tak sedikit dari mereka yang menjerit ketakutan karena keusilan panitia yang rela di salah pahami sebagai dedemit dengan tawa melengking khas.

Salah satu yang paling semangat adalah Melisa, dengan jabatan di percaya untuk menjadi pemandu acara.

"Jalan yang cepet! Slowmo banget kayak kukang! Waktu hampir habis, regu yang gagal membuat barisan lengkap dan rapi, akan mendapatkan hukuman besok pagi!"

Teriak Melisa menggunakan toa, pandangannya tak lepas dari sang adik yang berdiri paling jauh, bahkan pohon besar hampir menyembunyikan tubuh Arka.

Bagian menyenangkannya, memang rencana Melisa untuk mengerjai Arka yang menyebalkan. Biar tahu rasa. Bahkan Melisa sudah tak sabar melihat Arka menjerit ketakutan seperti kegaduhan yang terjadi saat ini, kalau perlu sampai terkencing-kencing setelah sadar posisinya di tempat angker.

"Hahaa... Tungguin aja, dasar penakut!" ujar sembari menunjukkan senyum seringainya. Arka yang sedikit pun tak lepas dari pandangannya nampak kelimpungan, bergerak-gerak kecil beralih dari tempat semula, bodohnya malah makin menjauh.

Melisa malah semakin gemas, ingin sekali berlari kencang dan menggoda Arka habis-habisan seperti tadi. Kalau saja sebuah tepukan di bahu tak mengejutkannya terlebih dahulu. 

"Napa, Mel?"

"Eh, ayam!" reflek Melisa latah. Bukan bawaan, hanya tertular teman dekatnya. "Eh, Nino?" lanjutnya yang kemudian meringis malu sambil garuk kepala.

"Kenapa, ada yang salah?"

"Hehee... Nggak ada apa-apaan, kok. Btw... Acara seru, ya..."

Setelah mengatakan itu, Melisa pun berlalu pergi, kesenangannya tak ingin di ganggu. Lagipula Nino menatapnya terlalu tajam seolah tengah mengawasi gerak-geriknya yang tengah berbuat kejam.

Sampai waktu semakin berlalu, beberapa regu di antara putra dan putri ada yang berhasil menyelesaikan tantangan. Bersorak merayakan kemenangan, jelas terlalu mengganggu konsentrasi pendengaran yang lainnya.

Sampai Arka yang tak sabaran pun semakin uring-uringan. "Awas aja tuh ketua ngelupain gue, bakalan jadi sasaran utama buat di kasih pelajaran," ikrar Arka yang kemudian bergerak inisiatif.

Bodohnya memang Arka yang terlalu bodoh, sampai menangkap sumber suara gaduh pun salah. Langkahnya malah makin menghampiri batas ilangan berjajar tinggi.

"Sialan, kayaknya ada serangga yang merayap ke celana dalam gue, deh!" pekik Arka setelah di sadari tubuhnya tersibak dedaunan basah.

Pun meliukkan tubuh saat rasa gatal semakin menjalar di belakang tubuh. Kedua tangannya pun saling di gesekkan, berusaha melepaskan ikatannya tadi, Arka sudah tak tahan.

Srekkk

Sampai terdengar bunyi lirih tapak kaki yang bergesekan dengan rerumputan basah, membuat Arka otomatis makin kelimpungan, seolah bantuan akan lekas hilang jika dirinya tak menjerit. 

"Bri? Brian, kan?" tebak Arka, pasalnya kawannya itu seperti anjing yang hapal bau tubuhnya, selalu mengekorinya kemana pun, mata tertutup tak jadi masalah, kan?

"Bri, tangan lo nganggur nggak? Pliss banget! Garukin pantat gue...!" rengek Arka sembari sedikit membungkukkan tubuhnya, pantatnya lantas menungging.

"Cepetan...! Udah nggak tahan lagi, nih..!" lanjut Arka yang sampai berjingkrak-jingkrak.

Wajah Arka bahkan sudah sampai merah padam, bibir bawahnya bahkan di gigit kuat saking geramnya mendapat cobaan konyol.

"Ahh..." desahnya, setelah Arka merasa sebuah tangan yang akhirnya hinggap di pantatnya. "Ya-ya... Tepat banget di situ, Bri."

"Isshh... Bisa agak kerasan nggak? Lo tabok pa gimana, kek! Sumpah, gatel banget, Bri...!"

"Sialan! Bukain celana gue, deh! Bantuin gue cari serangganya, abis itu kasih gue biar gue bantai sampai lebur, dah! Dendem kesemat, nih! Serangga sialan, apalagi sampek ninggalin bentol, gue cari keluarganya sekalian buat di bantai! Biar habis tujuh turunan!"

"Ekhem! Telanjangin lo di depan siswa lain, kalo lo nggak malu aja, sih!"

Deg

Sebentar-sebentar, apa ini? Kenapa Arka merasakan kendala baru yang membuat situasinya makin bertambah konyol?

Seekor serangga menyusup ke dalam pakaiannya, membuat kericuhan dengan gigit sana-sini. Nah... Karena permainan konyol yang tak memungkinkan untuknya menggaruk tubuh sendiri, maka Arka meminta bantuan pada Brian.

Ya, sampai bagian akhirnya yang salah. Ternyata yang menyentuh bokongnya terlalu ekstrem dengan kuku menancap di permukaan kulitnya adalah orang lain. Sialnya Arka sudah menyimpan segala ciri khas seseorang yang begitu di gilainya.

Di balik hawa yang makin menghimpit, Arka merasakan sebuah cengkraman kuat yang mengalihkan posisi hadapnya, ikatan tangannya yang kemudian di bebaskan. Malah semakin mendebarkan, dari kibasan angin kencang yang menerjang, intens Arka hanya di hentikan oleh hembusan napas pelan yang menyapu permukaan wajahnya.

Kain kedua pun terlepas, jatuh di atas tanah. Perlahan kelopak mata Arka pun terbuka. Senyap, tak ada interaksi untuk beberapa saat, Arka bahkan sudah hampir pingsan saat suara husky itu kembali terdengar.

"Lo udah ngelewatin batas, bahaya tau."

"Nino?"

.

.

.

Mau taruh di mana wajahnya? Bahkan sampai Arka yang sudah meringkuk di sudut tenda dengan selimut menutup habis tubuhnya seperti tak bisa membantu.

Bayang-bayang tentang kejadian beberapa jam lalu masih jelas teringat di pikirannya. Menjadi semakin gila, satu titik yang sudah terjamah bahkan menjadi semakin sensitif, semakin binal meminta lagi dan lagi.

Gampar saja Arka dengan kenyataannya. Nyatanya setelah di hadapkan dengan situasi yang begitu langka dan di harapkannya selama tiga tahun, ia malah menjelma menjadi manekin, tak bisa berkutik atau sekedar mengucap satu kata pun. Perkos* aku saja, Nino! Misalnya. 

"Diem-diem bae nih anak, lo kesambet ya?"

Brian datang, mengobrak-abrik persembunyian Arka dengan melempar jauh selimut yang di mulanya sebagai benteng.

Arka yang sedang tak ingin di ganggu pun memutar bola matanya, melengkapi tampilan dari raut wajah kakunya. Bergerak, tak mempedulikan Brian. 

"Ye.. Malah nyingkur! Lo nggak mau beberes? Bentar lagi kita cabut, nih!"

"Nggak mau...!"

Brian yang mendengar jawaban Arka lantas menggaruk belakang kepalanya, merasa bingung. Memang dari nada bicaranya, ia nampak memberikan pilihan?

Matahari sudah mulai terbit, jadwal hari ini untuk lekas meninggalkan tempat yang menjadi saksi penuh lelah. Semua orang sudah berkemas, tenda akan di robohkan, dan Arka malah masih betah meringkuk seperti kepompong?

Sudah, Brian tak ada ide lagi untuk membujuk Arka yang nampak dalam suasana buruk. Sebagai kawan yang baik, Brian pun membantu, mengumpulkan pakaian kotor bekas pakai milik Arka dan menimbunnya ke arah sang pemilik. Jangan pikir Brian akan bantu berkemas, enak saja! Bahkan miliknya saja hanya di gulung kecil, asal bisa masuk ke dalam ransel.

"Ar, ni ada titipan dari kak Nino."

Fahmi- ketua regu mereka mencelingukkan kepalanya dari pintu tenda, sempat di kira Brian akan mengusir dirinya dan Arka untuk segera keluar, alih-alih malah mengansurkan satu bagian sarung tangan dan juga dua buah scarf.

"Kak Nino? Abang gue?" Brian memastikan, walau tetap mewakili Arka untuk menerima.

Fahmi segera pergi setelah mengangguk, meninggalkan Brian yang makin mengerutkan dahi.

Rupanya pesan sampaian itu tertangkap jelas oleh pendengaran Arka. Jantungnya berdebar dengan begitu kencang, yang setelahnya buru-buru bangkit, menerbangkan pakaiannya yang mulai di serang lalat. "Bri!" Panggilannya seperti menggonggong ganas, membuat Brian berjengkit dari tempatnya.

"Bangsat! Bisa persiapan dulu, nggak? Kaget, nih!" tegur Brian, sementara Arka yang berwajah semakin pucat dengan mata terbelalak makin mencengkram bahunya.

"Bri, gimana kalo lo kubur gue? Sumpah, gue malu banget!"

"Boleh aja, tapi gue harus ngekek lo dulu sampek mampus. Crita ke gue, nggak!" tuntut Brian memberikan pilihan. Jemarinya bahkan mewanti-wanti Arka, sementara gerak matanya mengkode bagian sarung tangan yang masih menutupi satu telapak tangan kawannya itu. Tanda tanya besarnya, Nino lah yang menemukan satu bagian yang hilang?

"Akhh... Tolong...! Percobaan pembunuhan..!" jerit Arka, saat Brian yang sudah tak sabaran untuk mendengarkan cerita balik menerkamnya, jatuh tertimpa badan berat dari kawannya itu. Mereka kembali bergulat, berguling-guling dengan kaki saling tendang. Yang lagi-lagi membuat anggota seregu mereka yang berjaga di luar tenda bergoyang itu bergantian bantu mengelus dada.

"Dasar, pasangan gay mesum!" umpat mereka bersamaan.

Nächstes Kapitel