webnovel

Jangan salah paham!

"Bri, bisa-bisanya mereka nggak percayain kita lagi buat bagian masak." Arka memberenggut, sembari melipat pakaiannya semalam.

Brian yang ada di sampingnya pun mendongakkan wajah, melempar sebuah selimut ke tumpukan pojok samping tas yang menggunung. 

"Jangan lo pikir, semua orang punya selera makan mie benyek banget kayak lo. Lagian ini udah bagian kita buat bebersih, kali," ucap Brian mengingatkan rengekan Arka tempo hari.

"Mang kenapa? Habis enak gitu, kok! Bumbu mie nya kan lebih meresap, lo sama yang lain aja yang masih belum nemuin kenikmatannya." Bahkan Brian yang menirukan alasan Arka dengan gerak bibirnya yang terlatih. Ia hapal di luar kepala.

"Trus lo nurut aja sama peraturan, gitu?" Arka tak habis pikir. Brian itu sepemikiran dengannya, ego tinggi dan ingin berkedudukan lebih di atas yang lain. Ya... Terkecuali saat di hadapkan dengan posisi rendah Arka yang coba mengais secuil perhatian Nino- sang pacar incaran, lantas pertukaran demi apa Brian menjadi rajin seperti ini? Tak mungkin juga untuk menarik perhatian orang lain, kan?

Arka lantas menatap lamat-lamat kawannya itu, berusaha merasuk ke pemikiran Brian. "Lo lagi nggak naksir siapa-siapa, kan?"

"Gue tau arti mimik wajah sumringah lo itu, Ar..." Arka lagi-lagi memberenggut, bisa-bisanya Brian mendorong jidatnya dengan tanpa perasaan, lebih-lebih mengoloknya. "Gue nggak mungkin jadi pecinta batangan kayak lo juga kali."

"Lo..!" Arka menggertakkan gigi. Tak suka dengan artian olokan dari Brian yang menudingnya gay untuk siapa pun pria. Pada kenyataannya, Arka hanya tertarik pada Nino, mustahil untuk pria lainnya. "Engrh..!" Jelas saja Arka menggeram. Kedua telapak tangannya mencengkram udara, kalau bisa meraup wajah Brian dan mencabik-cabiknya.

Salahkan Brian yang menjengkelkan dengan raut humor alaminya di saat tak tepat, Arka tengah emosi.

"Dah lah, yang penting kita buru-buru beresin nih tenda, gue dah laper banget, nih!" Meski pun Brian menadakan ucapannya sebagai perintah, namun masih saja tak sanggup beringsut saat Arka sudah melotot.

Pergerakan Brian yang sempat di awasi, membuat gerakkannya terkesan waspada. Lebih anehnya sanggup membuat dada Brian berhenti berdebar, kala mendapati pokok permasalahan yang sangat mungkin di gunakan Arka untuk kembali menyerocos.

Terburu-buru, Brian pun melempar keluar sandal jepit yang tau-tau terselip di antara kain tebal itu. Kotor, jelas saja meninggalkan noda bekas lumpur yang sedikit mengering, buruknya di selimut milik Arka. Jika kawannya itu tahu, pasti Arka bakal tak segan untuk meruntut kasus ringan dengan pencarian pelaku yang bisa di adili. Meski Brian sendiri tak yakin jika Arka seposesif itu mengenai kebersihan, hanya ingin mencari musuh saja. Ya... Bahkan Brian sendiri sampai berpikir, apakah kehadiran dekatnya pada Arka hanya untuk di jadikan rival yang siap sedia? Untuk di tantang adu mulut? Dan ia yang masih betah, begitu?

Dengan dengusan kasar beberapa kali, Brian tahu jika Arka tak suka di remehkan. Lihatlah bagaimana cara Arka menebah karpet dengan tak terarah, hanya mengepulkan debu yang membumbung di dalam tenda.

Arka memang begitu keras kepala, ketua regu yang tiba saja mengeluarkan titah dengan mengalihkan tugas sekecil apa pun untuk mereka, di yakini Brian jika kawannya itu sudah bercocol pemikiran buruk.

Apakah pekerjaannya tak beres? Apakah ia di anggap tak becus melakukan sesuatu? Begitu kiranya yang terbesit di benak Arka. Jelas saja menganggu, terlebih Arka yang sangat tak menyukai tugas bebersih tenda dengan kondisi kapal pecah. Kan jadinya Arka gagal bertopang dagu menanti Brian yang sibuk memasak dengan kesibukan berkhayal tentang pria incarannya seperti kemarin.

Jangan bayangkan berantakan yang terlalu sederhana hingga respon Arka di anggap terlalu berlebihan, nyatanya lalat-lalat yang tak hentinya bertamu, terus saja mengekspor ruang sempit itu dengan suara dengungan yang mengganggu pendengaran, seolah-olah tersimpan bangkai busuk di setiap sudut sempit itu.

Sapu lidi yang di pinjami panitia malah di lempar jauh. Arka hanya kurang cerdas menggunakan senjata ampuh itu untuk menepuk mati sekaligus hewan mengganggu. Malah kedua lengan Arka yang berputar layaknya kipas angin, jelas saja tak sanggup menghalau hewan kecil yang berterbangan dan sesekali menghinggapinya.

Jangan berburuk sangka dengan aroma tubuh Arka dan Brian yang berada di dalam tenda, melainkan karena tempat bermalam yang di gunakan bersama lah yang begitu jorok.

Perut Arka bahkan seperti di remas, lambung kosongnya seperti di tonjok-tonjok, sangat menjijikkan hingga membuat mual. Secuil makanan jatuh, terlihat tertimpa hingga melengket ke karpet, rupanya menjadi tempat persemayaman kerumunan semut. "Huek!"

Rasanya begitu geli, layaknya kerumunan hewan kecil itu berganti haluan dan memanjatnya dengan berbondong-bondong. Melupakan Brian yang tak sepakat dengannya beberapa detik lalu, buru-buru meloncat ke rangkulan Brian, lantas makin mempererat cengkraman telapaknya di lengan kawan itu.

"Bri... Kita gantiin yang lain aja, gue jijik..." Rengek Arka sembari menunjuk setiap sudut kekotoran di dalam tenda. Bahkan hal yang membuat Arka bergidik ngeri, terlebih saat tiba-tiba saja tenda sedikit bergoyang dan meruntuhkan celana dalam tepat di atas kepala Arka, sampai menutup hampir sebagian penglihatannya.

"Huaa..." Jerit Arka, yang bodohnya malah mengibas-ngibaskan kepala. Lengannya malah makin merangkul Brian seolah memohon bantuan, lebih menyusup ke dada kawannya itu. "Tolongin gue, Bri... Jijik banget! Bau pesing..!"

"Brian! Lepasin...! Gue mau pingsan... Selametin, Bri...!"

Hampir saja Brian menyemburkan tawanya karena kehebohan Arka yang sampai berjingkrak-jingkrak. Mungkin ini yang membuatnya bisa memaafkan segala tindakan Arka yang terkesan sesuka hati. Kawannya itu terlalu polos, kalau boleh mengatakan dengan frontal, Arka itu bodoh. Dari pada histeris, kenapa Arka tak segera menyingkirkan kain bentuk segitiga berwarna merah itu tanpa harus mendiami lebih lama bekas kantung kelamin entah milik siapa.

"Bri... Gue musuhin, kalo hitungan ke tiga lo nggak nyabut nih sempak!" Perintah Arka tanpa menghilangkan nada panik seolah detik selanjutkan sudah benar-benar berakibat fatal untuknya.

"Heembz..." Brian benar-benar sulit menahan tawa terbahaknya.

"Bri! Gue tonjok muka lo kalo sampek ketawa, ya!"

"Ya-ya! Lo nya geseran dikit napa!" balas Brian sembari berusaha mendorong kepala Arka yang di bersembunyi di ketiaknya.

Bukannya apa, kan bagian lingkar pinggang celana itu juga secara tidak langsung terhimpit oleh posisi mereka. Buruknya lagi, Brian yang menjadi korban, aroma semerbak busuk khas pria tercium persis di depan hidungnya. Meliuk tubuhnya ke belakang, kepala berusaha mundur, sementara hidungnya di kerutkan, masih dengan Arka yang lengket seperti perangko. Singkat, Brian sampai berpikir, apakah pemiliknya tak pernah mengganti pakaian dalam? Benar-benar jorok, lagi pula bagaimana bisa celana dalam itu tersangkut di bagian langit-langit tenda yang mengakal di gantung senter?

"Hosh... Sumpah, gu-e udah nggak bisa nahan, Bri..."

"Ya-ya... Ar, bentar lagi!"

Plopp

"Hufhh.... Hufh-hufh..."

Mencabutnya, Brian sampai mendengar deru napas Arka yang sampai tersengal. Terkesan begitu dramatis dan mengeluarkan banyak usaha, Arka yang lepas dari dekapan Brian bahkan lekas menyeka keringat di dahinya yang seketika bercucuran, begitu tak sebanding dengan betapa bersemangatnya efek gerakan senam Arka di lapangan tadi.

Lebih-lebih Brian yang nampak belum puas dari rasa penasarannya. Dengan masih mengiting sempak berwarna merah hati itu, obsidiannya  menyusuri tiap permukaan kain yang di japit dua jari kirinya.

Arka yang berniat menepis celana dalam yang hampir sampai ke wajahnya lagi, namun di dahului dengan raut serius Brian yang menunjuk penemuannya.

"Wah parah, rambut apaan yang se pendek ini, Ar? Jangan-jangan.... Bagian bawah?"

Plakk

"Huaa!"

Kacau balau. Arka yang tak sedikit pun mengurangi jeritannya, di lengkapi dengan gerak serampangan yang sampai hampir membubut habis rambut Brian setelah wajah kena gamparan cap lima jari. Jangan bertanya kenapa Arka tak mengacak rambutnya sendiri untuk memastikan tak ada helai asing yang terjatuh ke kulit kepalanya. Nyatanya Arka menang tahu betul cara memberikan pelajaran pada Brian yang usil. 

"Akkhh!"

Brakkk

Brian menjerit kesakitan, sementara Arka yang seperti tengah kesurupan terus saja menyeruduknya. Hingga akhirnya kepala Brian jatuh kebentur, dengan Arka yang menimpa tubuh atasnya.

Sandiwara konyol yang sialnya bertepatan dengan sebuah kepala yang melongok dari pintu tenda, membuat pandangan Arka dan Brian yang sempat berbentur, lantas serempak menoleh pada objek yang membelakangi cahaya. Fahmi, ketua regu di kelompok mereka membatu di  posisi menungging.

"Eistt! Sial! Mata gue ternistakan!" Sampai akhirnya pria yang khas dengan tubuh bongsornya itu memukul wajahnya berulang kali. "Dah lah, lanjut aja, tapi main rapi, ya."

Arka mengerutkan wajahnya, bukan sadar atas arti dari ucapan Fahmi- ketua regunya, malah mempertanyakan, "Udah, gitu aja? Nggak niat bantu bersih-bersih, gitu? Atau seenggaknya bantu mengintrogasi setiap anggota mengenai pelaku pelemparan sempak ke sembarang tempat?"

"Huaa...." Tawa terbahak dari beberapa orang bahkan terdengar sampai dalam tenda yang pada dasarnya bukan ruang bersekat.

Brian pun tepuk jidat, lantas mendorong Arka untuk bangkit dari posisi menindih nyamannya.

"Bri, di depan ada acara apa an, kok rame bener?" tanya Arka dengan ekspresi penasaran yang begitu menjiwai, sementara Brian hanya menggidikkan bahu sembari mencungkil kain kecil penyebab kesalahpahaman itu jauh-jauh.

"Jangan-jangan kita ketinggalan bagian makan, lagi?!"

Sudah bisa di tebak, Arka itu memang bodoh.

"Tau ah, gelap!"

Nächstes Kapitel