webnovel

This is Not a Dream

Nafasnya mulai terputus-putus, tubuhnya tidak lagi bisa merasakan raganya sendiri. Rasanya seperti dia hanyalah jiwa tanpa tubuh. Maniknya mulai tertutup dengan sebuah air matanya yang menetes entah sudah yang ke berapa.

Akhirnya dia mati dan dia hanya bisa mengucapakan maaf tanpa suara, tidak ada lagi yang bisa dia lakukan. Sekarang kehidupannya sudah selesai dan dia harap kakak kembarnya tidak merasakan hal yang sama sepertinya.

"Hei.."

Dia terkejut dengan manik terbuka menatap ke arah burung Phoenix yang menatapnya dengan ketakutan. Burung dengan warna ungu itu membuatnya berpikir bahwa dirinya sudah berada di tempat yang namanya kematian.

Dia tersenyum dan langsung menatap sekeliling yang berwarna putih terang "akhirnya kau bangun juga"

Burung itu kembali bersuara dan menghela nafas dengan perasaan yang lega. Merasa aneh dia langsung menujukkan sebuah kebingungan, memang kenapa jika dia bangun? Bukankah dia sudah mati? Lalu kenapa burung itu begitu lega?

"Kau itu belum mati!"

Rimonda membulatkan matanya dengan tatapan tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Sepertinya dia tengah bermimpi sekarang, jelas sekali dia mati setelah di cekik oleh kakak kandungnya sendiri. Wajah Rimonda mulai menujukkan sebuah perasaan sedu.

Dan burung itu langsung mendekati Rimonda dengan kedua sayap yang berusaha memeluk tubuh kecil Rimonda. Jelas sekali dia lebih besar dari Rimonda yang masihlah anak berumur sepuluh tahun.

"Kau akan baik-baik setelah ini" hanya itu yang bisa burung itu katakan sekarang, dia tidak tau cara berhadapan dengan manusia karena dia bukanlah bagian dari mereka.

Dan apa yang dia katakan juga termasuk kenyataan yang ada, setelah ini semuanya akan baik-baik saja karena Rimonda belum mati. Dan masih ada waktu bagi mereka untuk saling menjelaskan semua kejadian membingungkan ini.

Rimonda langsung menangis saat dia bisa mendengar semuanya, mendengar semua yang di katakan Putra Mahkota. Dia tau sekarang, apa alasan kakaknya itu begitu membenci dirinya dan Ramon. Ternyata karena orang tua mereka, orang tua mereka yang begitu egois.

Dia paham sekarang, kenapa Putra Mahkota selalu menunjukkan raut wajah kesal dan benci padanya. Sekarang dia tau. Tapi apa yang bisa dia lakukan untuk menghentikan semua, nyatanya dia tidak bisa melakukan apa pun selain memahami perasaan Putra Mahkota.

Ternyata mereka itu sama, sama-sama mengemis kasih sayang dari orang tua mereka. Dan Rimonda jelas tidak bisa membenci Putra Mahkota sekarang, mereka sama-sama terluka dan mereka hanya ingin mendapatkan hal yang tidak mereka dapatkan karena kehadiran satu sama lain.

Tapi Rimonda sudah menolak kasih sayang itu, dia sudah tidak peduli akan kasih sayang yang tidak dia terima dulu. Dan Rimonda jelas merasa marah tapi dia hanya bisa diam dan berusaha melupakan semuanya.

"Tuan.."

Rimonda mendongak menatap ke arah burung itu yang menatapnya "aku adalah hewan suci Tuan, namaku Vivian"

"Kau hewan suciku?" kaget Rimonda menatap ke arah manik ungu itu yang mengangguk.

"Alasan anda masih hidup juga karena aku, dan anda bisa kembali sekarang sebelum tubuh anda mati sepenuhnya"

Dia bisa kembali!

Entah kenapa Rimonda seperti menolak untuk dirinya kembali kehidupan nyata, ada perasaan bersalah yang menusuknya. Perasaan yang selama ini dia sembunyikan dari siapapun di dunia ini, kecuali kakak kembarnya.

Hanya Ramon yang tau bagaimana perasaannya selama ini. Mungkin dia memang bertindak kasar dan masa bodoh akan keadaan tapi dia jelas hanya ingin menutupi semua rasa sakit yang menghancurkan dirinya. Ramon selalu saja mengerti dan selalu mendukungnya dalam diam.

Mungkin itu terjadi karena mereka adalah anak kembar, walau begitu Rimonda tetap senang bahwa ada satu orang yang ada di sisinya selama ini. Senyuman Rimonda mulai mengembang, menatap ke arah hewan sucinya yang menunggu jawabannya.

"Baiklah, aku akan kembali"

Vivian tersenyum dan semuanya langsung menjadi gelap sampai Rimonda bisa melihat Ramon yang terlihat khawatir. Manik Rimonda berkedip menatap ke arah sekitar yang ternyata adalah kamarnya. Apakah dia bermimpi? Atau apa yang dia rasakan tadi adalah kenyataan.

"Akhirnya kau bangun juga Monda" ucap Ramon memeluk erat tubuh Rimonda yang masih kebingungan.

"Sebenarnya apa yang terjadi, kenapa kau sampai tidak sadarkan diri?" Ramon kembali berucap, dia jelas sangat khawatir.

Melihat adik kembarnya yang tidak sadarkan diri selama dua hari adalah hal yang tidak bisa dia abaikan. Dia jelas masih ingat saat dia tengah menghampiri ruangan Rimonda tapi dia tidak mendapatkan jawaban apa pun dari pemilik kamar. Waktu itu dia pikir Rimonda masih tidur tapi nyatanya tidak.

Dia menemukan Rimonda yang tidak sadarkan diri di atas lantai kamarnya, dengan luka di bagian leher. Luka memar yang membuat Ramon semakin khawatir, dia tidak tau apa yang terjadi pada Rimonda tapi Ramon mulai ketakutan jika Rimonda menghadapi hal buruk.

Bahkan Caesar sampai tidak bisa melakukan apa pun untuk menenangkan Ramon, Sean mendekat menatap ke arah manik Rimonda yang masih mencoba memahami apa yang terjadi "kau pingsan selama dua hari, dan ada luka memar di lehermu seperti luka bebas di cekik. Sebenarnya apa yang terjadi?"

Manik Rimonda membulat, jadi apa yang terjadi malam itu benar-benar terjadi, lalu apa katanya dia pingsan. Ah.. benar setelah dia sadar malam itu dia bertengkar dengan Putra Mahkota. Mereka bertengkar cukup lama, walau hanya adu mulut tapi beberapa kali Putra Mahkota kembali berniat membunuhnya.

Dia memang berhasil menghindar dengan bantuan Vivian, tapi tubuhnya terdorong karena serangan Putra Mahkota. Dan setelah itu kepalanya terbentur dinding sebelum akhirnya pingsan. Rimonda langsung duduk menatap Ramon yang masih diam menunggu dirinya bicara.

"Aku senang kakak baik-baik saja" Rimonda tersenyum menujukkan perasaan leganya, dia takut jika Putra Mahkota juga menghampiri Ramon tapi nyatanya tidak sama sekali.

"Kau itu bilang apa! Kau yang sakit kenapa kau mengkhawatirkanku?" sahut Ramon menatap manik ungu Rimonda yang bergetar.

Rimonda terkekeh kecil melirik Sean yang langsung mundur menarik Caesar yang sejak tadi berdiri di sebelah pintu kamar. Pintu tertutup membuat Rimonda memeluk Ramon erat "kakak.. dia datang, aku hampir mati hari itu"

Tubuh Ramon membeku, dia tau siapa yang di katakan oleh adik kembarnya saat ini. Hanya ada satu orang yang membenci mereka dan hanya satu orang yang pernah melakukan percobaan pembunuhan pada mereka. Dan Ramon langsung membalas pelukan Rimonda lebih erat.

"Maaf.. aku tidak ada di sisimu waktu itu. Maaf.."

Rimonda menggeleng menutup matanya erat menolak permintaan maaf Ramon, Ramon tidak salah yang salah adalah keadaan yang memperburuk segalanya sejak awal.

"Kakak tidak salah.."

Nächstes Kapitel