"Jadi kau sudah tahu bahwa penyihir itu telah mempengaruhi rumah ini?" tanyaku karena masih melekat jelas di ingatanku saat Zero mengatakan tempat ini berbahaya dan menyuruhku untuk segera pergi. Namun diam-diam aku bersyukur karena tidak mengikuti ajakan Zero. Jika saat itu kami pergi meninggalkan rumah ini, entah kengerian apa yang menimpa Dalton dan orangtuanya.
Zero menganggukan kepala sebagai respon, "Ya. Aku bisa merasakan hawa kejahatan ketika Maria membuka pintu rumah ini. Aku juga bisa melihat Maria dan Louis telah dipengaruhi sihir jahat ketika pertama melihat mata mereka. Anak itu ... Dia bersikap aneh karena dia ingin memberitahu kita bahwa orangtuanya bukanlah orangtuanya yang dulu."
Aku terbelalak mendengar penjelasan Zero ini. "Maksudmu? Bukan Dalton yang dipengaruhi tapi Maria dan Louis-lah yang dipengaruhi? Jadi sebenarnya bukan Dalton yang bersikap aneh tapi mereka berdualah yang bersikap aneh?"
"Ya. Dalton sepertinya anak yang cerdas, dia tahu bahwa penyihir itu menginginkan dirinya. Demi untuk mengembalikan orangtuanya seperti dulu, dia menyakiti dirinya sendiri. Aku yakin tujuan Dalton melakukan itu agar penyihir itu berhenti menginginkan dirinya jika dia mati."
Betapa terkejutnya aku mendengar perkataan Zero. Bagaimana mungkin anak sekecil Dalton memiliki pemikiran seperti itu? Tidak dapat terbayangkan penderitaan yang dirasakan oleh Dalton. Sekarang aku mengerti kenapa Dalton terus meminta pertolongan padaku.
"Hihihihi ... Memang benar yang kau katakan. Aku mempengaruhi mereka untuk mendapatkan anak ini. Anak ini masih sangat polos dan murni, ilmu sihirku tidak mampu mempengaruhinya. Sekarang aku sudah mendapatkan anak ini. Aku akan membawanya pergi. Hihihihi ..."
Aku memegang tangan Zero, dan menatapnya dengan penuh permohonan. "Tolong selamatkan dia, Zero. Jangan biarkan penyihir itu membawa Dalton."
Zero menyunggingkan seulas senyum. Sebuah senyuman yang telah sukses membuatku terpesona karena kini kurasakan jantungku berdetak tak karuan saat menatapnya.
"Aku sudah tahu kau akan mengatakan ini. Kau sangat baik, Giania. Menurutmu kenapa aku masih berada di sini meskipun kau menyuruhku pergi?"
Benar juga, aku baru menyadari hal ini. Padahal aku sudah menyuruh Zero untuk pergi dan aku juga yakin melihatnya pergi meninggalkan rumah ini. Tapi kenapa? Kenapa dia kembali muncul? Mungkinkah dia berbohong dan sebenarnya masih berada di sekeliling rumah ini untuk mengawasiku? Bolehkah aku berpikir seperti itu, berpikir dia mengkhawatirkanku karena itu berpura-pura pergi padahal nyatanya tetap mengawasiku dari kejauhan?
"Aku tidak tahu, tolong beritahu aku," pintaku, meminta penjelasan alasannya masih berada di sekitar rumah ini.
"Karena aku ini pengawalmu dan sebagai seorang pengawal sudah menjadi kewajibanku untuk melindungi dan mengabulkan keinginanmu."
Perkataannya itu sungguh membuatku sangat senang sekaligus terharu. Ternyata benar, dia memilih mengurungkan niatnya untuk pergi karena mengkhawatirkanku. Wajar bukan jika aku merasakan kebahagiaan yang tiada terkira saat ini? Aku menganggukkan kepala dan berjalan mundur menjauhi Zero. Aku tidak ingin menghalangi pertarungannya dengan penyihir itu.
"Aku akan merebut anak itu," kata Zero dengan penuh percaya diri.
"Hihihihi ... Coba saja kalau kau bisa."
Nenek renta itu kembali mengangkat tongkatnya dan angin berhembus dengan sangat kencang. Aku berpegangan pada sebuah pohon karena jika tidak, bisa saja angin itu membuatku terpental seperti tadi.
Tapi Zero memang luar biasa, tubuhnya sama sekali tidak terpengaruh meskipun menerima serangan dari ayat hina nenek itu. Zero membungkuk dan mengambil beberapa batu kecil. Angin ini terus berhembus dengan kencang. Kemampuan sihir nenek itu tampaknya sangat kuat.
Zero melemparkan beberapa batu kecil yang dia genggam ke arah nenek itu, seketika itu juga angin pun berhenti berhembus. Sang nenek memegangi tangannya yang terlihat mengeluarkan darah. Sekarang aku mengerti apa yang telah terjadi, batu yang dilemparkan oleh Zero tepat mengenai tangan nenek itu.
Zero berjalan menghampiri si nenek, nenek renta itu terlihat panik dan memegangi tubuh Dalton dengan sangat kuat.
"Jangan mendekat, kalau kau mendekat anak ini akan mati."
Nenek renta itu menjadikan Dalton sebagai sandera. Aku sama sekali tidak mengerti kenapa nenek itu tidak kembali menyerang Zero. Dia justru terlihat panik dan kebingungan.
"Lepaskan anak itu."
"Kau sangat kuat, aku tahu kekuatanku tidak akan bisa melukaimu. Berhenti! Aku benar-benar akan membunuh anak ini."
Zero tetap melangkah mendekati si nenek yang terlihat sedang ketakutan padahal belum terjadi pertarungan sengit antara dirinya dan Zero. Sejak tadi Zero belum benar-benar mengeluarkan kemampuannya. Aku bisa melihatnya dengan jelas, kuku-kuku panjang si nenek mengiris kulit leher Dalton sehingga mengeluarkan darah. Melihat hal itu sama sekali tidak membuat Zero menghentikan langkah kakinya seolah dia tidak peduli meski Dalton benar-benar mati di tangan nenek jahat itu.
"Berhenti, Zero! Jika kau terus mendekat, Dalton bisa terbunuh."
Zero bahkan mengabaikan teriakanku, nenek renta itu semakin menekankan kukunya yang tajam pada kulit leher Dalton. Dalton meringis kesakitan membuatku tidak kuasa melihatnya. Di saat seperti ini, aku tahu bukan saatnya untuk berdiam diri seperti ini. Aku harus segera menghentikan Zero. Tapi dengan cara apa? Aku menatap sekeliling untuk mencari apa pun yang bisa aku jadikan alat atau senjata untuk menghentikan Zero maupun nenek itu. Di sini tidak ada apa pun, hanya ada beberapa pohon yang berdiri dengan tegap. Hanya satu pohon yang berukuran besar di sini, pohon itu adalah pohon yang tadi dijadikan Zero tempat untuk bersandar. Aku ingat ada sebuah ayat hina yang mampu menggerakkan kekuatan alam. Seperti saat itu, ketika aku mampu mengendalikan dan menggerakkan kekuatan air sungai sehingga berhasil menenggelamkan prajurit Ivan. Mungkinkah ayat hina itu bisa menggerakkan pohon itu juga? Pertanyaan itu terus berkecamuk di dalam pikiranku. Tetapi aku menyadari saat ini bukanlah waktu untuk merasa ragu, hanya ada satu pilihan yang harus aku lakukan yaitu mencobanya.
Aku pun menatap tajam pohon besar itu dan mulai membacakan ayat hina yang pernah kupelajari secara diam-diam selama aku masih berada di istana.
"The nature ... Living ... Wake up ... Dancing ... Crushing ... The evils always love the arts..."
Tidak terjadi apa pun setelah aku membaca ayat hina itu, aku sempat merasa putus asa karena tampaknya aku telah gagal. Namun aku kembali mendapatkan harapan ketika merasakan tanah ini bergetar. Lalu pohon besar itu bergerak dan bergoyang seakan-akan sedang tertiup angin. Daunnya berguguran, dan aku yakin ini bukan halusinasi, aku melihat akar pohon itu keluar dari tanah membuat tanah menjadi retak. Kemudian akar pohon itu melilit tubuh nenek renta itu dan mengangkatnya ke atas.
"Turunkan aku!!"
Nenek itu terus berteriak tapi akar pohon itu tentu saja tidak menurutinya. Aku sangat takjub melihat keajaiban yang terjadi tepat di depan mataku ini, aku bahkan hampir tidak mempercayai hal ini, keajaiban ini ... akulah yang menciptakan keajaiban ini. Kini Aku merasa tubuhku sangat lemas, darah mengalir dengan deras dari hidungku. Tanpa kusadari tubuhku ambruk di tanah. Tidak ada lagi yang bisa aku lakukan selain menyaksikan keajaiban ini.
Kemudian aku melihat ke arah Zero, dia masih tetap berdiri dengan gagah. Dia melemparkan sesuatu ke arah nenek yang sedang terangkat di udara.
Jleeeeeeeb!
Sebuah suara mengerikan terdengar, seketika itu juga aku melihat si nenek berhenti bergerak. Lidahnya terjulur keluar dan matanya terbuka dengan lebar.
"Aaaaaaaaaaaarrgh!"
Aku tidak kuasa menahan teriakanku ketika melihat darah mengalir dari kepala si nenek. Akhirnya aku menyadari kepala nenek itu berlubang tepat di bagian kening dan semua itu bisa terjadi karena ulah Zero. Dia melemparkan batu yang sejak tadi dia genggam, batu itu tepat mengenai kening nenek itu sehingga berlubang. Kini nenek itu telah mati, tubuhnya sudah tidak bernyawa lagi.
Akar pohon pun berhenti bergerak dan kembali masuk ke dalam tanah ketika pengaruh dari ayat hinaku telah habis. Tubuh tak bernyawa sang nenek pun jatuh menimpa tanah dengan menimbulkan suara benturan yang sangat keras. Meskipun sudah terbujur kaku di tanah tapi mata nenek itu masih tetap terbuka lebar.
"Kau membunuhnya," gumamku tak percaya karena melihat nyawa sang nenek melayang di tangan Zero. Lagi-lagi Zero membunuh lawannya tanpa ampun seperti yang dia lakukan pada kakek penyihir jahat di desa yang kami singgahi sebelumnya.
"Ya. Aku harus melakukannya agar dia tidak lagi menculik anak-anak dan agar pengaruh sihirnya pada rumah ini bisa hilang."
Sama seperti tubuh kakek tua yang seketika itu juga berubah menjadi tulang belulang setelah Zero membunuhnya, kini tubuh nenek itu pun mengalami hal serupa. Tubuhnya meleleh dan akhirnya menyisakkan tulang belulangnya saja.
Dalton berlari dan memelukku dengan erat, menyaksikan pemandangan yang mengerikan itu sepertinya membuat anak itu ketakutan bukan main. Tak lama kemudian Maria dan Louis akhirnya siuman. Mereka tidak mengingat apa pun yang terjadi semenjak mereka dipengaruhi oleh sihir jahat, mereka bahkan tidak mengenaliku dan Zero. Meskipun situasi ini membuatku berada dalam kesulitan karena entah bagaimana aku harus menjelaskan kejadian ini pada mereka berdua, tapi setidaknya sekarang aku merasa lega. Dalton bisa kembali hidup dengan normal seperti anak-anak seumurannya tanpa harus ketakutan oleh teror dari penyihir jahat yang ingin membawanya pergi lagi. Begitu pun dengan Maria dan Louis, mereka bisa hidup dengan normal dan menjaga Dalton dengan sebaik-baiknya. Kini mereka akhirnya bisa kembali menjadi keluarga bahagia. Aku senang karena kedatanganku ke desa ini berhasil menyelamatkan keluarga kecil ini dari mara bahaya.