webnovel

Bab 15. Hotel Ruffles

"Butuh ini?" ucap sosok yang saat ini sedang berdiri tepat di hadapan Anna, salah satu tangan pria itu memegang kunci sembari digerak-gerakkan di depan wajah gadis itu.

Dia adalah Devan.

Anna terperanjat, berdiri di tempatnya tak tahu harus mengatakan apa.

"Mau kemana?" tanya Devan dengan salah satu alis terangkat.

"A-aku...."

"Aku tidak suka wanita yang suka berbohong, Anna," potong Devan.

"Ikut aku ke pesta atau pulang?" ucap pria itu lagi dingin.

"Tentu saja bukan ke rumahmu," tambah Devan lagi.

"Ta-tapi aku sebentar lagi masuk kerja," gumam Anna namun suaranya masih mampu mencapai indra pria itu.

Devan mengusap wajahnya gusar, sejak tadi gadis itu selalu mengatakan hal yang sama. Apakah selama hidupnya hanya ada kerja kerja dan kerja?

"Kamu ingin masuk kerja dengan pakaian seperti ini?" tanya Devan yang secara terang-terangan memandang tubuh gadis itu dari kaki hingga ujung kepala.

"Di sana, aku punya seragam kerja," balas Anna dengan raut wajah memelas.

Kening Devan berkerut mendengar penuturan gadis itu.

"Kalau begitu kembalikan pakaian yang kamu kenakan sekarang," ujar Devan.

"Baiklah, aku akan mengembalikannya nanti."

"Tapi aku mau sekarang, aku tidak bisa menjamin kita akan bertemu lagi setelah ini," ujar pria itu.

Anna melongo mendengar ucapan pria di depannya. Mengembalikannya sekarang? Bukankah itu sama saja dengan menyuruhnya telanjang?

"Jika tidak mau, tidak apa-apa. Aku bisa meminta tolong pada polisi nanti untuk mengambilkannya mungkin?" kekeh Devan.

"Baiklah, aku ikut kamu ke pesta," balas Anna segera melangkah, menabrak bahu Devan kasar dan kembali ke kursi tempatnya semula.

Helaan napas terdengar lolos dari bibirnya. Ia tidak memliki uang untuk menebus dirinya sendiri.

Daripada ditangkap polisi karena tuduhan mencuri, ia lebih memilih mengorbankan pekerjaannya sendiri. Lagipula, kerjaan bisa di cari lagi, dan ia hanya bisa berharap setelah kejadian malam ini, sesuatu yang baik akan segera menghampiri hidupnya.

***

Satu jam telah berlalu, Devan dan Anna keluar dari bangunan bernuansa merah muda itu.

Tentunya dengan style Anna yang baru. Dress merah selutut dengan belahan punggung yang memperlihatkan kulit mulusnya, mengikuti lekuk tubuh. Nampak simple dan elegan.

Anna berjalan mengikuti Devan memasuki mobil tanpa bersuara sedikitpun. Hanya menatap ujung heels seolah tak ada hal lain di sekitarnya.

Memasuki mobil, Anna tiba-tiba melepas sanggul bergaya french braidnya beserta jepit rambut yang berhiaskan svawroski yang sebelumnya ikut menghiasi kepalanya dan meletakkannya di atas jok.

Menguraikan rambut panjangnya hingga menutupi bagian bahu dan dadanya yang terbuka.

"Apa yang kamu lakukan?" Devan menoleh dengan salah satu alis terangkat melihat tingkah aneh gadis di sebelahnya.

"Dress ini terlalu terbuka, aku tidak suka," balas Anna masih sibuk merapikan rambutnya.

"Padahal kamu cantik dengan penampilan seperti tadi," puji Devan.

"Aku tidak peduli," balas Anna datar, tidak memperdulikan tatapan pria itu ke arahnya.

Devan menghela napas kasar. Pertama kalinya ia menemukan perempuan yang tidak terlalu peduli dengan penampilannya.

"Baiklah, maafkan aku."

Anna hanya melirik sekilas pria itu tanpa niat merespon.

Sejak tadi gadis itu ingin marah. Tapi tak tahu bagaimana dan pada siapa ia harus melampiaskannya.

Bahkan ketika mobil Devan sudah bergerak menjauh dari salon itu, pikiran Anna masih dipenuhi dengan kerjaan, kerjaan dan kerjaan.

Perlahan, ia mulai menyusun rencananya tentang hal apa yang pertama akan dilakukan besok.Sebab gadis itu sangat yakin bahwa ia sudah kehilangan pekerjaannya karena menghilang lagi tanpa kabar dan ini sudah ke empat kalinya.

Itu berarti besok ia harus kembali mencari pekerjaan yang baru.

"Mengapa begitu serius? Apa yang kamu pikirkan?" tanya Devan tiba-tiba ketika mendapati kening Anna yang sesekali berkerut.

"Bukan urusanmu," balas Anna seketika membuat pria itu lagi-lagi menghembuskan napas kasar.

"Apa salahku? Mengapa responmu seperti itu? Apa karena pekerjaanmu?"

"Aku bisa memberimu uang sebanyak yang kamu mau," tambah pria itu lagi.

"Apa kamu pikir aku tertarik dengan uangmu?"

"Bukannya semua wanita menyukai benda itu?"

"Sayangnya aku bukan wanita," balas Anna sembarangan. Pandangannya kembali berputar membuatnya memejamkan mata di sandaran kursi. Rasa pusing kembali mendera kepalanya.

Mendengar hal itu, Devan terpaku di tempat, ia bingung harus memberi tanggapan seperti apa lagi.

"Nampaknya kamu tipe yang gila kerja, Anna," ujar Devan setelah terdiam beberapa menit.

Anna hanya diam dan tidak merespon ucapan pria itu.

Dan setelahnya, tidak ada lagi percakapan antara kedua orang itu hingga mereka memasuki Hotel Ruffles.

.

.

.

Devan keluar dari ferrarinya di susul Anna. Keduanya kemudian berjalan meninggalkan basement dan segera memasuki lift menuju lantai tempat pesta ulang tahun dilaksanakan.

"Tunggu!" ucap Devan mengentikan langkahnya, pria itu berbalik dan memasuki mobilnya.

Kening Anna berkerut kebingungan. Apa ada yang salah?

"Pakai ini," ujar pria itu setelah keluar dari mobil sembari menutupi punggung Anna yang terekspose dengan atasan tuxedo miliknya.

Sejenak tubuh Anna menegang tatkala kulitnya bersentuhan dengan milik pria itu.

"Terima kasih," ucap gadis itu. Sejak tadi ia memang merasa sedikit tidak nyaman dengan dress yang dikenakannya.

Meskipun ukurannya pas di tubuhnya, namun tetap saja ia tidak menyukai pakaian yang terlalu mengekspose kulitnya.

Meninggalkan tempat itu, Devan merangkul lengan Anna dari samping. Membuat tubuh gadis itu kembali menegang.

"Apa yang kamu lakukan?"

"Aku tidak ingin kamu terjatuh lagi karena pusing atau sejenisnya," balas Pria itu santai tersenyum tanpa menoleh ke arah Anna.

"Aku baik-baik saja, sekarang," ucap Anna berusaha melepas lengannya dari rangkulan pria itu.

Hingga saat ini, ia masih belum mengetahui siapa nama pria yang sedang bersamanya. Mungkin karena Anna selalu menganggap bahwa setiap pertemuannya dengan pria itu adalah merupakam yang terkahir, sehingga ia tidak terlalu peduli dengan nama atau identitasnya.

Dan hal itu juga berlaku saat ini. Selepas malam ini, ia tidak akan memiliki alasan lagi untuk bertemu dengan pria itu dan begitupun sebaliknya.

Nächstes Kapitel