Karena mati itu mudah, menjalani hidup itu yang lebih sulit. Tapi, dari pada mati dengan tidak hormat seperti kemarin, aku lebih memilih hidup yang memang sulit, karena aku sangat menyukai tantangan.
"Ini mau kemana kita, Nak?"
Suara paman yang duduk di jok depan.
"Antar saja saya ke alamat itu, Paman!" ucapku pada paman sopir taksi di depan sambil menyerahkan secarik kertas.
Pada heran bukan, kenapa aku berada dalam taksi? Ya seperti biasanya, aku menggunakan kabur no jutsu yang kupelajari dari drama-drama yang biasa kutonton bersama daddy.
Memang siapa yang berani-beraninya mengurungku di tempat menyeramkan itu, eum? Yang lebih mengerikan dari tempat-tempat berhantu.
Tapi lebih dari itu, aku masih kepikiran dengan mimpi anehku saat aku koma. Itu benar-benar lucid dream kurasa. Aku pernah membaca di sebuah artikel yang menyebutkan bahwa seseorang yang mengalami Lucid Dream mampu mengendalikan mimpinya sendiri.
Memang sungguh aneh waktu melihat tubuhku sendiri tergeletak. Lalu, bertemu dengan hantu yang tak kalah anehnya. Untung saja semua itu hanya mimpi. Anehnya lagi, aku memang seolah dapat mengendalikan mimpi itu. Itu terasa begitu nyata. Tapi, setelah sadar aku yakin itu semua hanyalah mimpi.
Atau kemungkinan lainnya, rohku terlepas dari ragaku karena aku dalam kondisi yang begitu lemah waktu itu? Entahlah, aku masih bingung untuk menyimpulkan.
Ckiit!
Taksi yang kutumpangi berhenti tepat di depan gerbang rumahku.
Semoga ayah di rumah.
"Sudah sampai, Nak," ucap si paman begitu ramah
"Tunggu sebentar, Paman! Saya akan mengambil uang," ucapku sembari membuka pintu taksi.
Aku berjalan menuju ke arah gerbang bangunan sederhana dengan gaya arsitektur Eropa. Papa memang suka mendesign rumahnya ala Eropa, meski rumah ini tak seluas rumah ala Eropa kebanyakan. Ah, aku benar-benar merindukan rumahku.
Tunggu! Ini rumah orang tua papa sebenarnya. Aku belum pernah bertemu dengan mereka sebelumnya. Bagaimana wajah mereka? Sifat mereka? Aku tak tau sama sekali. Setiap satu bulan sekali, papa akan ke Jepang untuk menemui mereka. Maka dari itu, mereka tak pernah mengunjungi papa ke sini. Entah mereka tahu atau tidak aku tinggal di sini.
Mengenai kartu keluarga kami, disebutkan di sana bahwa Papa Kevin adalah papa tunggal dariku. Sedangkan Ayah Jaya dan Daddy Kenichi tercantum sebagai adik papa.
Aku tak tahu begitu berkuasanya uang hingga Papa Kevin yang sebenarnya belum menikah dapat mengadopsiku. Salah satu syarat mengadopsi yang kutahu adalah sudah menikah. Mungkin dia memalsukan buku nikah. Entahlah.
"Apa masih lama, Nak?" seru seseorang dari arah belakang. Ah iya, itu paman yang tadi.
Tapi sial! Gerbangnya terkunci.
Bagaimana ini? Ke mana ayah sebenarnya? Sudah tak pernah menjengukku, di rumah pun tak ada.
Baiklah, biar kuselesaikan dulu urusanku dengan paman tadi.
Aku menghampirinya dan mencondongkan kepalaku ke dalam jendela mobil. Saat ini aku sudah memasang wajah yang semenyedihkan mungkin.
"Maaf, Paman. Sepertinya majikan saya tidak ada di rumah. Mungkin mereka sudah berencana memecat saya yang sakit-sakitan ini." Aku menitikkan air mata dari mata indahku.
"Jadi ini bukan rumahmu, Nak? Kau pembantu di rumah ini?" ucapnya sedikit terlonjak.
"I-iya, Paman. Anda lihat sendiri 'kan, saya masih memakai pakaian rumah sakit. Sebelumnya, saya mendapat perlakuan kejam dari majikan saya." Aku tak sanggup lagi menahan air mata.
"Tega sekali majikanmu itu!
Sudah mempekerjakan anak di bawah umur, mereka masih menyiksanya juga. Keterlaluan!
Biar paman laporkan majikanmu ke lembaga perlindungan buruh," ucapnya begitu menggebu-gebu.
"Eh eh, jangan! Nyawa saya akan semakin terancam, Paman. Terima kasih atas kepedulian Anda. Tapi maaf, saat ini saya belum bisa bayar taksi Anda. Kalau bertemu lagi, pasti saya bayar. Janji!" ucapku sambil mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah. Jangan lupakan air mataku yang masih berlinang.
"Tidak perlu bayar, Nak. Ah iya, ini kartu nama paman. Kalau majikanmu memukulmu lagi, segera hubungi paman, ya?" ucapnya tegas.
Baik hatinya paman ini.
"Terima kasih banyak, Paman."
Aku menundukkan kepalaku padanya.
Sebelum pergi ia berucap,
"Lain kali mainlah ke rumah paman. Paman punya anak perempuan seusiamu, nanti pasti kalian akan menjadi teman."
"I-iya, Paman," ucapku sambil tersenyum simpul. Aku tak tahu lagi bagaimana harus menjawabnya.
Setelah taksi itu menjauh, pandanganku kembali terarah ke gerbang. Ini bagaimana caranya untuk masuk ke dalam? Baiklah, sepertinya aku harus meniru adegan di drama-drama lagi kali ini.
Aku menaiki tembok tinggi yang berada di belakang rumah. Cukup sulit memang. Dan untungnya ada pohon mangga yang cukup tinggi di dekat tembok. Beruntung sekali banyak pepohonan di sekitar sini, jadi dapat kubuat sebagai tangga darurat seperti biasa.
Setelah berusaha keras dengan semangat yang menggebu-gebu, akhirnya aku sampai di halaman belakang rumah. Halaman yang luas dengan rumput hijau terhampar sepanjang mata memandang.
Saatnya menggunakan 'jurus menyusup ke rumah sendiri'. Dengan lincah seperti yang ada di drama-drama action, aku masuk dapur melalui jendela. Dan untungnya lagi, jendela dapur pun masih rusak seperti sebelumnya. Semoga papa tak akan pernah memperbaikinya.
Berhasil! Saat ini aku sudah berada di dalam rumah. Rasanya sudah bertahun-tahun tak pulang ke sini. Baiklah, pertama-tama aku akan mandi, berganti pakaian, lalu main ke warnet milik Paman Ujang.
Saat ini masih jam 10 pagi. Dan pasti Gilang pun belum pulang sekolah.
Aku membanting tubuhku sejenak di sofa. Rebahan sebentar tidak buruk juga. Pikiranku kembali mengawang. Aku teringat saat SMP, dalam perjalanan di mobil untuk mencari makan, aku bilang kepada ayah, papa dan appa bahwa aku tak ingin masuk SMA mana pun. Tapi, inilah jawaban mereka.
"Kalau tak sekolah, berarti kamu harus mulai kerja di cafe," perintah ayah.
"Dan lagi, kau juga harus melakukan semua pekerjaan rumah," imbuh daddy.
"Dan tidak ada main-main alat musik lagi. Kami akan menjual semua alat musik yang berada di studio rumah kita." Ancaman papa ini yang paling menyeramkan. Mereka memang sangat suka menyiksa dari dulu.
Bermain musik menjadi salah satu motivasiku masuk SMA. Bisa bergabung dengan band di SMA juga memegang peran penting. Karena melihat Kak Gibran, kakaknya Gilang menjadi pemain bass di band SMAN 2 Jakarta, aku juga berpikir ingin masuk ke SMA itu dan bergabung dengan bandnya, tapi pada akhirnya aku masuk ke HIS. Dan kembali menjadi teman satu sekolah si kunyuk Gilang.
Dari SMP hingga SMA sekolah di HIS, dan itu sungguh menyebalkan. Oh ayolah, aku ini memang paling payah dalam bahasa asing. Padahal, aku ingin sekali bersekolah di sekolah umum biasa.
Di Huimang Internasional School, aku masih tetap bisa menyalurkan minatku terhadap musik. Aku membentuk sebuah band yang kami namai dengan 'The Crocodille'. Siapa lagi kalau bukan Gilang yang mengusulkan nama aneh itu.
Band itu beranggotakan Gilang pada bass, Miryu pada keyboard, Mario pada drum dan aku sendiri pada gitar dan vocal. Oh iya, mengenai Miryu dan Mario entah berada di mana mereka saat ini. Mereka pindah sekolah saat kami akan naik ke kelas 3 SMP.
Kuakui pelajaranku selama ini berantakan gara-gara asyik ngeband. Aku lebih rajin bermain band ketimbang sekolah. Tapi menurutku, aku bukan tergolong siswa yang bandel, aku hanya lebih ekspresif.
Dan aku tahu aku telah mengecewakan ayah, papa dan daddy karena sering tak pergi ke sekolah. Aku memang bukan murid yang bisa dipercaya, hahaha. Tapi aku sudah bertekad kalau akan berubah ketika aku sudah kelas 3 dua tahun lagi. Bukankah ini niatan yang baik?
"Oh iya, aku melupakan sesuatu," gumamku sambil bangkit dari kegiatan rebahan tadi.
Bersambung ...