webnovel

Sosok yang Dirindukan

"Jawab Aku, kenapa Kau masih diam, hah?" Ryan kembali melempar pertanyaan, dengan tidak merubah posisinya sama sekali. Ryan tetap bersandar di beton yang sama dengan tangan melipat di dada dan mata yang tak beralih dari Kira.

Tak ada jawaban yang keluar dari bibir Kira. Lidahnya kelu, bahkan tak sanggup untuk berkata-kata. Kira hanya mematung bahkan Kira tak bisa merasakan bahwa tubuhnya masih hidup. Hanya Menatap Ryan, tanpa memperdulikan yang lainnya.

"ShaKira Chairunisa!" Ryan sudah mengencangkan lagi suaranya dan menggema dalam hall kampus, yang kosong tanpa ada suara selain suaranya. Asisten Andi telah mengosongkan dan memastikan CCTV dalam gedung ini telah mati, seperti biasa.

"Apa begitu caramu berbicara dengan istrimu?" Farid yang datang dengan santainya terus berjalan, mendekat ke tubuh Kira yang masih diam mematung memandang Ryan. Farid menggandeng tangan Kira, memaksanya untuk mengikuti langkahnya.

"Hah... Lepaskan.. Lepaskan aku mohon lepasakan aku!" Kira menarik tangannya dari Farid. Kira akhirnya sudah tersadar akan keadaan saat ini, tersadar dari lamunannya. Kesadaran Kira kembali setelah Farid menggandeng tangannya.

"Ada apa denganmu? Kau tahu, laki-laki yang berdiri di sana, bahkan saat aku menarikmu, dia tak merubah posisinya, hanya matanya yang mengikutimu, apa kau masih mau bersamanya? Dia tidak mencintaimu, Kira. Apa yang kau harapkan darinya? Apa dia tahu bagaimana kau menangisinya dari pagi tadi? Apa dia peduli untuk menghapus air matamu saat kau menangis? Dia tak lebih memperlakukanmu sebagai budaknya saja! Ka.."

"Cukup.. Cukup.." Kira berteriak meminta Farid untuk berhenti, sebelum farid menyelesaikan kata-katanya.

"Kau benar.. Semua yang kau katakan tadi benar! Sekarang kau mau apa? Bagaimana dengan dirimu? Apa kau lebih baik darinya sehingga aku harus mengikutimu? Apa kau pikir aku bisa mengharapkanmu? Apa kau juga mencintaiku? Hah.. Bahkan kau lebih buruk dan mudah sekali salah paham padaku, hingga kau mengeluarkan kata-kata yang menyakitiku! Kau membuatku tak bisa mengikuti kelas kuliahku, dan kau sudah membuatku kehilangan beasiswaku! Lalu apa yang tadi kau katakan.. Aku hanya budaknya, itu benar, apa kau sudah puas? Atau kau ingin bilang aku melakukan panjat ranjang lagi? Menjual diriku untuk kemewahan dan harta? Sekarang pergilah.. Aku mohon, jangan susahkan hidupku lagi.." Kira mundur beberapa langkah menjauh dari Farid.

Kira dengan Farid, adalah Kira yang tanpa beban, Kira yang menjadi dirinya sendiri, Kira yang bebas, sehingga Kira bisa berbicara sepertinitu walaupun menyakitkan.

"Aku menyusahkanmu?" Farid tertegun dan menatap Kira. "Apa maksudmu aku menyusahkanmu?" Farid terlihat bingung, tak mengerti ke arah mana pembicaraan Kira.

"Apa yang dikatakannya tadi? Jadi kata-kataku yang membuatnya menangis dan membuatnya memeluk foto lelaki itu? Jadi aku yang sebenarnya membuat dia menangis dan akhirnya mencari perlindungan dari lelaki di foto itu? Aku ingin membantunya meraih impiannya.. Dan dia benar.. Aku yang membuatnya kehilangan kesempatan hadir di kelas dan nilai quiznya juga nol" Farid tak bisa berkata apapun lagi. Hatinya menjadi semakin merasa bersalah karena perbuatannya hari ini. Niat awalnya ingin melindungi, justru membuatnya terbawa emosi dan merugikan Kira.

"Sudahlah, pergilah Aku mohon." Kira mundur , menjauhi Farid.

"Maafkan aku dengan kata-kata kasarku, aku harus membuatmu menjauhiku. Aku tak ingin Ryan menyakitimu!" tekanan yang dirasakan hati Kira cukup berat. Kira sangat merasa bersalah mengatakan semua itu ke Farid. Tapi, Kira tak ada pilihan lain. Dia harus mengatakan itu untuk menghindari kesalahpahaman Ryan yang membahayakan Farid.

"Tunggu dulu.. Kesalahpahaman tadi.." Farid memegang tangan Kira kembali.

Namun Kira segera melepaskan tangannya.

"Tidak ada kesalahpahaman. Kau hanya kakak alumni di kampus ini." Kira berbalik dan berlari mendekat ke arah Ryan, yang masih sama dinginnya dan tak berubah dari posisinya sama sekali. Ryan hanya memperhatikan apa yang dikatakan Kira kepada Farid tadi. Ryan tak memberikan ekspresi apapun.

"Kira.. Apa kau harus berlari untuk mendekatinya?" hati Farid sangat kecewa dengan sikapnya tadi pagi yang menurutnya, membuat Kira bersikap sepert ini padanya.

"Maafkan aku baru menjawab pertanyaanmu.. Tadi, aku masih belum menyangka kalau kau asli. Aku masih belum percaya melihatmu di kampus ini, aku pikir ini hanya lamunanku. Aku berlari dan aku mengejar mobilmu tadi, karena aku ingin bertemu denganmu!" Kira sangat pelan berbicara dengan Ryan. Kira juga memberanikan diri mengutarakan kata-katanya pada Ryan.

"Kira, kenapa kau begitu merendahkan dirimu dihadapannya? Apa kau begitu tak yakin dengan kemampuanmu sendiri untuk berhasil dan mengharapkan bantuannya? apa begitu rendah dirimu hingga tetap ingin tinggal dengan pria yang jelas-jelas tak memperdulikanmu?" Farid masih berbicara di belakang sana.

"Kau bisa bicara tegas denganku, kenapa kau harus merendahkan dirimu dihadapannya? Kemana semua keberanianmu?" kata hati Farid tak suka melihat Kira yang menjadi lemah seperti itu.

"Farid, sudahlah! Jangan campuri urusanku lagi! Aku mohon pergilah. Anggap saja kau tak melihat apapun di sini, dan untuk besok dan selanjutnya, kita bisa bekerja secara profesional! Maafkan aku tak memanggilmu dengan panggilan kakak. Aku akan menghormatimu dan profesional dalam lingkungan kampus." Kira menengok ke Farid dan berbicara setengah teriak. Karena posisi mereka yang kini sudah jauh.

"Profesional.. Hahahah! Baiklah, kalau itu maumu, aku akan pergi sekarang! Tapi harus kau ingat, aku masih menunggumu! Aku tak tahu sampai kapan aku akan menyukaimu.. Tapi tetap harus kau ingat, sampai kau lelah dengannya, kau tahu harus kemana tempatmu bisa berlabuh!" Farid pergi meninggalkan Kira, Ryan, dan semua orang-orang Ryan yang berada di hall.

"Ya.. Ya.. Ya.. Aku memang sudah gila! Aku mau menunggunya sampai kapanpun, kau benar-benar sudah gila, Farid!" Farid mengomentari sendiri kata-katanya sambil berjalan pergi menjauhi kira.

Setelah kepergian Farid, beberapa saat hanya hening di hall itu. Semua orang menunggu sang raja untuk mengeluarkan suaranya.

"Fuhh.. Dia tak pergi.. Dia tetap di sini bersamaku. Aku hampir gila dibuatnya tadi. Aku tak tahu aku harus bagaimana kalau dia memilih pergi bersama orang tadi!" hati Ryan memang bergejolak. Tapi, Ryan belum punya keberanian mendekati atau menarik Kira. Dia masih takut dan trauma dengan kejadian dua hari lalu.

"Apa kau bodoh?" Sang Raja akhirnya berbicara. Membuat semua ora

"Hah?" Kira menatap Ryan

"Akhirnya dia bicara.. Bahaya semakin mendekat sebentar lagi.." alarm dalam diri Kira sudah berbunyi.

"Lelaki tadi ingin menolongmu dariku, apa kau bodoh? Kenapa kau tak lari dengannya selagi kau bisa, hah?" Ryan bicara sangat dingin, tapi Ryan berbeda kali ini, tak seperti biasa. Ryan tak berlaku kasar ke Kira. Ryan tetap pada posisi yang sama, hanya kata-katanya yang sangat tajam. Ryan terlihat seperti patung yang sangat menawan, tanpa pernah merubah posisinya, hanya mata dan kepalanya yang berubah mengikuti arah dan gerakan kira.

"Aku tak akan pergi darimu apapun yang terjadi." Kira menjawab cepat.

"Bodoh!" Ryan diam memandangi Kira. "Mau apa kau tetap tinggal bersamaku, hah?"

"Aku.. Aku sudah berjanji padamu seumur hidupku. Walaupun kau akan menyiksaku sampai mati. Aku akan tetap bersamamu." Kira tertunduk dan menjawab lirih.

"Apa kau akan tetap bersamaku meski kau tahu suatu saat nanti aku akan membunuhmu?"

Kira mengangguk.

"Aku akan tetap disisimu, meski akhirnya kau membunuhku."

"Kau.. Kenapa kau bicara seperti itu padaku? Apa aku begitu kejam bagimu hingga yang bisa kau pikirkan adalah hidupmu hanya akan terus menderita disisiku?" Ryan tak menyukai jawaban Kira. Ryan sangat kecewa dengan yang dipikirkan Kira bahwa dia hanya bisa membuat hidup Kira sengsara. Dirinya di mata Kira, hanya memiliki satu tujuan. Yaitu menyiksanya. "Baiklah kalau itu maumu.. Kau ingin aku bersikap seperti dalam bayanganmu, kan? Aku akan mengabulkannya!" Ryan menahan semua rasa sakitnya dan memulai serangannya.

"ShaKira Chairunisa, kau sudah berani menantangku! Hahahaha!" Ryan tergelak tawa. Bukan tawa kebahagiaan. Tapo justru tawa yang timbul dari usahanya menahan perih dan tangis didadanya.

"Andiiiii!" Ryan berteriak memanggil Asisten Andi yang memang berdiri dibelakang beton tempat Ryan berdiri.

"Iya Tuan Muda!"

"Haaah.. Kira, harusnya kau merayu dan memeluknya, bukan menantangnya untuk membunuhmu! Kau... Arghhh...kau tahu apa yang telah kau perbuat pada Tuan Muda hari ini? Kau suah hampir mencelakai semua orang hari ini!" Asisten menyuarakan kekecewaan di lubuk hatinya dengan jawaban Kira pada tuannya.

"Andi, cambuk mereka semua seratus kali!" Ryan memberi perintah.

"Baik Tuan Muda!" Asisten Andi memegang teleponnya, menghubungi seseorang "Lakukan tugas kalian sekarang!" klik

Ryan mengangkat tubuhnya dan berjalan mendekati Kira. "Kau puas? Aku akan mulai menghancurkan satu persatu orang-orang didekatmu!" Ryan kemudian berjalan, melangkah pergi tanpa memperdulikan Kira.

Tak sampai sepuluh detik sejak Asisiten Andi menelepon, Orang-orang Asisten Andi sudah memegang Sari, Gita, Andra dan para bodyguard lain untuk masuk ke sebuah mobil. Mirip mobil tahanan.. Tatapan mereka mengerikan, badan mereka juga besar, seperti para algojo.

"Oh Ya Rob, apa yang terjadi? Dia tak menghukumku, tapi mereka.." Hati Kira mulai panik, dia berlari mengejar Ryan, yang sudah berjalan agak jauh.

"Suamiku.. Suamiku.." Kira memegang tangan Ryan, kemudian berlutut di kaki Ryan. Kira memegang kaki Ryan dan menangis.

"Aku mohon.. Aku mohon.. Hukum aku saja, jangan hukum mereka, kau cambuk aku saja, aku mohon.. Jangan hukum mereka."

"Berdiri!" setelah hampir lima menit Kira menangis di kaki Ryan. Akhirnya Ryan menyuruh Kira berdiri.

Tapi Kira masih di tempat yang sama. Belum mau untuk berdiri.

"Berdiri! Atau aku tambah hukum cambuk mereka masing-masing menjadi dua ratus kali!"

Nächstes Kapitel