webnovel

Keajaiban

Hari ini tangis haru seorang melepas teman sekaligus ditinggal oleh Vivi yang akan berangkat menuju Panti. Terpaksa dirinya harus ditinggal karena tidak lolos seleksi waktu itu.

Padahal ia sudah mempersiapkan semua persyaratan administrasi tetapi nasib baik tidak berpihak padanya. Semakin membuat batinnya teriris saat Ndari meminta agar dibolehkan tinggal di rumah Vivi. Dengan begitu ia tidak akan bingung mencari tempat tinggal baru.

"Kamu harus cari pekerjaan. Harus bangkit dan aku yakin akan ada keajaiban merubah nasibmu jika ada usaha," ucapan perpisahan itu membuat keduanya berkaca-kaca.

Lantas keduanya berpelukan, berat rasanya meninggalkan Ndari sebab dari awal Vivilah uang menyarankan ikut seleksi. Ternyata malah tidak lolos, ditambah Maslah Ndari sendiri dengan keluarga hingga membuatnya memutuskan pergi dari rumah. Tentu luka di batinnya rangkap dua kali.

Ya, kehadirannya orang baru memang sangat menganggu. Apalagi jika orang itu mencoba merampas yang menjadi milik kita selama ini. Vivi paham betul, sehancur apa persamaan temanna saat wanita jahat itu mencoba merampas semua kebahagiaan yang dimiliki.

"Ayo aku antar, nanti telat." Ndari melepaskan pelukan. Melihat jam yang menujukan pukul tujuh pagi. Padahal pemberangkatan sekitar jam sepuluh.

"Tak usah buru-buru, aku mau buat sarapan dulu. Lagian masih banyak waktu tersisa. Jam sepuluh harus sudah ada di kator dinas."

Ndari yang sudah berada di garasi dan memasang helm barusan, mencoba melepas kembali. "Baiklah, aku yang akan memasak untukmu hari ini. Jangan menolak dan jangan membantu."

Selama tinggal di sini, dirinya sudah berhutang banyak dengan Vivi. Tak ada salahnya untuk membuat makanan terakhir kali sebelum berpisah. Toh, lagian akan berpisah enam bulan lamanya.

Vivi yang bisanya sering masak dan membuatkan sarapansaat ini memilih diam. Ia malah merasa jika tak akan jauh dari temannya. Entahlah, perasaan apa ini. Vivi belum mengerti. Padahal mereka akan berpisah sebentar lagi, hanya menunggu beberapa jam saja.

"Sarapan sudah jadi, tumis kangkung sambel terasi, hehe." ujarnya dengan wajah antusias membawakan dua porsi sarapan ke meja makan.

Melihat Vivi yang bengong, Ndari langsung menegur. "Kamu kenapa, sedih mau pisah sama aku hehe..."

"Entahlah. Aku malah merasa kita tidak akan pisah," sahutnya membingungkan.

"Hahaha ... terima kasih telah menghiburku. Ayo dimakan," sahutnya ceria.

"Aku serius." Mata Vivi menatap serius.

Dua wanita itu saling bertatap muka, "Baiklah, aku mengerti maksudmu."

"Apa? Apa maksudku?" Bibirnya tampak monyong dan meminta penjelasan lebih.

Ndari menghentikan aktivitas mengunyah. Meletakan sedok dan menatap.

"Aku akan selalu dikenang di hatimu, begitukan? Jadi, kita tidak akan terpisah."

"Bukan. Ini nyata, kita tidak akan terpisah. Itulah yang aku rasakan!" tegasnya jelas.

'Aneh,' batin Vivi yang memilih mengangguk kepala. Berdebat pun tidak ada hasilnya, diam adalah pilihan.

Tiba di kantor Dinas Sosial Ndari meninggalkan Vivi bersama dengan berapa teman yang barusan datang. Mereka adalah orang-orang yang lolos dalam seleksi beberapa hari yang lalu Ahh, Rasanya jadi sedikit iri.

Beberapa di antaranya di antara orang tua. Mereka membawa tas-tas berukuran besar serta koper besar yang pastinya berisikan pakaian sebab enam bulan di sana, itu cukup lama.

Berharap Vivi baik-baik saja, sampai dengan selamat. Ndari diamanatkan untuk mengurus montor, rumah dan isi di dalamnya. Anak baik itu sungguh luar biasa dan membuatnya merasa seperti seorang pengemis.

Padahal Ndari bisa dibilang anak orang mampu tetapi semenjak memutuskan pergi dari rumah itu hidupnya terasa miskin.

Entah harus bersyukur atau tambah sedih, dirinya dibuat bingung. Sampai di rumah suasan sepi dan hampa mulai menyelimuti. Baik di dalam, luar, dan di mana saja. Entahlah, seperti ada yang kurang. Mungkin karena temannya itu yang tidak ada.

Ndari ini terlelap panjang mengharapkan mati itu datang. Toh, kehidupan yang diberikan Tuhan juga menyakitkan lantas untuk apa hidup? Jika semenyedihkan ini.

Dalam suasana rumah yang hening ia memutuskan untuk berbaring di atas kasur. Menutup tubuhnya rapat-rapat dengan selimut dan memejamkan mata. Namun, apakah dia dapat tidur dengan tenang? Tentu saja tidak semudah yang diinginkan.

Ndari bangun terduduk, memberikan rambut acak-acakan oleh ulah tangan sendiri. Kini dirinya terlihat seperti singa yang tak keurus. Benar-benar menggambarkan sosok manusia yang sangat frustrasi.

"Ya Tuhan, kenapa harus seperti ini jalan hidupku!" teriaknya histeris. Tangisnya pecah begitu nyaring.

"Ndari kau kenapa?"

Ndari kaget suara yang tak asing itu ia mengenalnya. Vivi entah sejak kapan sudah memasuk ke dalam kamar dan berdiri di depan.

"Kamu, ka-mu ngapain di sini. Bukannya akan jam berangkat jam sepuluh nanti?" Ndari sontak kaget mendapati temannya.

Vivi malah tersenyum mendekat dan melompat-lompat dengan langkah kecil. Ya, seperti anak kecil yang diberi permen lollipop, dia sangat senang dan ceria.

"Hai, kenapa? Ada apa, katakan!"

"Ada keajaiban, kau ingat aku pernah membahas perihal keajaiban. Ya, hidup itu kadang seperti itu. Saat kita benar-benar frustrasi dan menyerah akan tibalah sesuatu yang membuat kita takjub."

"Kamu ngomong apa sih," ucap Ndari yang kesal karena bahasa yang digunakan Vivi membuatnya berpikir keras untuk memahaminya.

Vivi mendekat, kemudian menjelaskan tentang kabar gembira yang dibawanya hari ini.

"Hah, serius?" Tanya Ndari mendelik kaget.

"Iya serius. Ayo siap-siap."

Ndari tak langsung beranjak, masih saja diam dan bengong. Vivi sampai menarik tangannya agar wanita itu turun dari kasur empuk miliknya.

"Ayo mandi cepat aku tunggu, nanti terlambat kita."

"Tapi kok, sebentar. Aku masih tak percaya, apa ini mimpi?" Tangannya penampar pipi sendiri.

"Awww!" Rasanya terasa panas dan ini berarti nyata. Ya Tuhan, keajaiban ini tak akan pernah Ndari lupakan. Mungkin inilah yang dimaksud pertolongan Allah. Setelah selesai mandi, mereka menuju ke dinas sosial. Namun, sebelumnya itu lebih dulu menitipkan montor dan juga rumahnya ke tetangga. Sebab, keduanya akan sama-sama menuju panti.

"Terima kasih, Vivi. Kalo bukan karena usulmh aku tak mungkin ada di sini!"

"Hehe ... ini bagian dari keajaiban."

Tampak beberapa anak remaja bergerombol di sana. Vivi menarik tangan Ndari untuk mendekat.

"Itu ya pengantinya?" tanya salah satu petugas.

"Iya, Pak. Nama saya Ndari ini berkas saya."

Petugas pria tua berkacamata itu memeriksa memastikan satu per satu. Wajahnya mengangguk mantap.

"Kebetulan sekali yang mengundurkan diri jurusan Menjahit. Jadi, kau bisa menggantikannya."

"Iya, Pak terima kasih."

"Ya sudah, kalo begitu ayo berangkat. Semua sudah siapkan?"

"Siap, Pak!" seru mereka serentak.

Satu per satu kami masuk ke dalam mobil, ada tiga mobil yang mengantar kami. Ndari terus tersenyum, ada getir yang terasa saat meninggalkan kota ini. Bagaimana jika ayahnya nanti mencari? Tak terasa cairan bening berhasil melesat jatuh. Buru-buru ia mengusap sebelum dilihat oleh teman-temannya.

"Kalian di sana akan bertemu berbagai macam karakter manusia. Bapak harap, tetaplah saling menghormati dan tolong menolong." Para petugas memberikan gambaran tentang kehidupan di sana.

"Baik, Pak." Semua peserta tak bisa menahan senyum bahagia.

Nächstes Kapitel