webnovel

Jangan Berani-berani Menyentuh Wanitaku

"Seharusnya kau melakukan ini sejak dulu! Bagaimana ini bisa terjadi pada Rara jika bukan karena dirimu!" Tiba-tiba suara laki-laki terdengar-suara itu adalah Joko.

Ketika Emi melihat Joko, dia berkata dengan lemah, "Joko, jangan salahkan Oscar. Aku yakin Oscar juga sudah memikirkannya. Tapi untunglah, Rara baik-baik saja. Adapun soal bayi mereka, tidak ada kata terlambat untuk menikah. Hanya saja saya kasihan pada Rara, dia sudah menderita sejak kecil."

Melihat belas kasihan Emi, Joko tiba-tiba merasa lebih lembut dan kembali tenang setelah mendengarkan kata-kata lembut Istrinya.

"Emi, jangan sedih. Tidak baik bagi kesehatanmu kalau kau menangis. Aku telah mengirim seseorang untuk menyelidiki kasus Rara. Aku akan segera tahu siapa yang berada di balik kejadian yang menimpa Rara."

Emi mengangguk dan menyeka air matanya. Setelah beberapa saat menangis, dia berkata, "Baiklah, kita harus menangkap pria yang kejam itu. Bagaimana mungkin pria ini begitu kejam sehingga aku sampai kehilangan cucuku dan hampir kehilangan putri satu-satunya."

"Kau harus yakin. Aku sudah mencarinya. Aku telah mengatur bangsal terbaik untuk Rara dengan dokter terbaik, dan aku pasti tidak akan membiarkan dia merasa bersalah."

Oscar tetap diam selama seluruh proses, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dia tidak sanggup berkomentar, maupun angkat suara.

Dan Dian berdiri di sana, mendengarkan kata-kata Joko untuk menghibur Emi dan merasa kasihan pada Emi. Tapi hatinya sekarang sakit seakan ditusuk-tusuk dengan pisau! Tega sekali mereka! Bisa-bisanya mereka membedakan perlakuan ke Ibu kandungnya, dan Rara!

Dia mengepalkan tangannya dengan erat, dan ujung kukunya menusuk telapak tangannya dengan keras. Dia berlutut dan memohon pada Joko untuk mengizinkan Ibunya agar bisa dirawat ke Rumah Sakit C, tetapi Joko menolak tanpa berpikir panjang.

Dan sekarang, untuk seorang Rara, dia bisa menyewa dokter dan menggunakan bangsal terbaik! Dia melakukannya dengan harapan bisa membujuk wanita yang telah menggantikan posisi Ibunya dalam pelukannya!

Dian tidak tahu apa yang salah dengan Ayahnya. Saat itu, dia berjalan secara impulsif, menegakkan punggungnya, dan berkata dengan sorot dingin, "Jadi, apa maksudmu Istrimu sendiri bisa dianiaya sampai mati?"

Saat Dian tiba di sana, seluruh ekspresi Oscar berubah. Sepertinya ada riak-riak emosi di tatapan matanya-dia terlihat sangat cemas.

"Rupanya kau! Kau … berani-beraninya muncul di depan kami!"

Saat Joko melihat Dian, semua kemarahannya tiba-tiba meledak keluar. Jika bukan karena Rara melihat foto Oscar dan Dian bersama, bagaimana dia bisa terdesak sampai bunuh diri! Memang Dian tidak tahu diuntung! Dia selalu mengusik ketenangan keluarga dan membuat Rara sampai melakukan percobaan bunuh diri!

Joko sangat marah. Dia melangkah mendekati Dian, mengangkat tangannya, dan menamparkannya ke arah wajah Dian.

Dian menggertakkan gigi dan menatap mata Joko. Sorot membangkang dan kebenciannya seolah dicurahkan tanpa ditahan!

Dian tidak pernah takut dipukuli. Sejak Ibu tiri dan Rara muncul dalam hidupnya, dia sudah dipukuli. Kondisinya toh tidak jauh berbeda dengan sekarang.

Hati Oscar menegang, dan dia bergegas untuk menghentikan Joko. Tetapi Joko terlalu cepat, dan Oscar sudah terlambat.

Dian secara mental siap untuk dipukul, namun tamparan ini tidak jatuh mengenainya.

Di telinganya, dia mendengar suara yang familiar.

Dingin, galak, dan kuat.

"Kalau kau berani menyentuh wanitaku, jangan berharap tanganmu ini akan baik-baik saja."

"Ah!" Joko menjerit pilu.

Joko terlempar, pergelangan tangannya patah, dan tubuhnya meringkuk karena kesakitan. Keringat dingin membasahi tubuhnya.

"Joko, bagaimana kondisimu? Jangan menakut-nakutiku!" Emi adalah yang pertama bereaksi dan memeluk Joko dengan erat. Dia tidak menyangka suaminya akan diserang separah itu.

Dian berdiri di sana dengan tatapan kosong. Dia menatap Joko yang sangat menyedihkan meringkuk di bawah. Gadis itu tak mampu bereaksi untuk beberapa saat.

"Kenapa? Sudah menyerah padahal belum dimulai?" Suara bernada dingin itu tidak asing.

Dian menoleh ke belakang, dan sosok yang menarik perhatiannya adalah Baim. Pria itu terlihat mendominasi dan berani menatap langsung ke arahnya. Saat itu, hatinya bergetar, dan emosi yang sangat rumit melonjak ke dalam hatinya.

Di hadapan keluarga Ayahnya, dia selalu bertarung sendirian. Bahkan Oscar yang dulu hanya tahu kalau dia tidak disukai di rumah, tidak pernah sekalipun dia berdiri di belakangnya seperti Baim. Oscar tidak pernah menghadang kekerasan keluarga yang diarahkan pada Dian dengan tindakan sepraktis itu.

Kali ini, setidaknya Dian berterima kasih pada Baim.

"Kau ... kenapa kau di sini?"

Baim menatap tajam ke arah Dian, dan tubuh Dian seolah menyusut. Kemudian telapak tangan Dian terasa panas. Ternyata kuku jarinya patah. Tatapan mata Baim berhenti sejenak di telapak tangan Dian, lalu berkata dengan nada dingin, "Jika kau tidak menginginkan tanganmu, aku bisa membantumu memakainya."

Dian memandangi telapak tangannya. Dalam kondisi sadar dan tidak, ternyata dia sudah menekan kukunya di telapak tangannya, dan meninggalkan bekas kemerahan. Sekarang setelah Baim menegurnya, barulah dia merasakan sakit.

Mengingat bagaimana Baim baru saja mematahkan tangan Joko dengan mudah, Dian menggelengkan kepalanya dengan cepat dan menyembunyikan tangannya ke belakang.

"Tidak, tidak. Aku masih bekerja dengan tangan."

Kemelut hati yang dirasakan Dian menghilang begitu saja setelah kedatangan Baim. Bala bantuan datang di saat-saat yang tidak terduga.

"Tolong! Tolong! Ada preman di sini! Tolong!" Emi mulai berteriak sambil memeluk Joko, dan staf medis segera bergegas tiba.

Oscar memandang Dian dengan linglung, dan menatap Baim dengan tatapan bermusuhan. Oscar tidak peduli tentang Baim yang mematahkan pergelangan tangan Joko, Dia khawatir tentang apa yang baru saja dikatakan Baim.

Baim berkata ... Dian adalah istrinya!

"Dian, siapa dia?" Oscar menekan emosinya, berusaha untuk tidak marah.

Dian memandang ke arah Oscar, dan pria itu terlihat bertanya-tanya. Mata Dian berkilat karena rasa bersalah, dan kemudian dia ingat kalau Oscar bukan lagi pacarnya. Pria itu hanya mengatakan bahwa Rara lebih baik dan mereka akan menikah.

Jadi, apa hati nuraninya yang merasa bersalah?

"Dia..."

"Aku suaminya."

Suaranya tenang, mendominasi, dan tidak diragukan lagi.

Dian belum mengatakannya, tapi Baim telah menjelaskan hubungan mereka secara ringkas dan jelas.

Apa? Apa?

Tatapan mata Oscar seolah hancur dalam sekejap. Dia menatap Dian dengan tidak percaya. Seakan matanya menuduh Dian sudah berkhianat padanya.

Ketika Oscar menatapnya seperti itu, Dian merasa tidak nyaman!

Dian jelas adalah seseorang yang mengubah pendiriannya dan mengkhianatinya, Tetapi mengapa Oscar dia menatapnya seperti itu? Mengapa orang yang disukai Dian menjadi seperti ini?

Hatinya terkoyak sekali lagi.

Rasa sakit di dalam hatinya seolah sudah merupakan hal biasa yang terus menyiksanya sepanjang waktu.

"Dian… Apa yang dia katakan itu benar?" Suara Oscar jauh lebih tenang, dan matanya penuh dengan rona merah darah. Ketika melihat Oscar seperti itu, hati Dian terasa rumit.

Terkadang dia berpikir, apa yang dinamakan cinta seumur hidup?

Baim tidak angkat bicara lagi, karena dia menunggu Dian berbicara sendiri.

Hanya dengan membiarkan Dian menyadarinya sendiri, gadis itu dapat membuat keputusan yang cermat.

Ming Shao mengatur agar Dian datang ke sini untuk dirawat di rumah sakit, bukan untuk melihat Dian dan Oscar bertemu lagi!

Dian menahan air matanya. Dia menatap Oscar dengan tegas, dan kemudian mengangguk, tanpa menghiraukan sorot putus asa di mata Oscar.

"Ya, aku sudah menikah."

Nächstes Kapitel