webnovel

"Jangan biarkan aku berpikir aneh!"

"Woi cupu, bawain tas dong!" perintah Sandy dengan melempar tasnya ke arah remaja berkacamata yang sedang menunduk takut, namanya Milo. Ya, Milo adalah salah satu korban bully yang sudah seperti member tetap. Sikapnya yang begitu pendiam dan cenderung anti sosial itu membuatnya sangat mudah diperbudak oleh geng Nathan sejak masa orientasi siswa dulu. Sedangkan pria miskin dengan beasiswa sepertinya memang bisa mengelak perlakuan itu?

"Nih, sekalian!" tambah Marco dan diikuti Bian yang melempar tas dengan kekuatan penuh hingga terkena wajah Milo. Dengan menghembuskan nafas menahan rasa kesal, ia pun membenarkan letak kacamatanya yang sudah retak dengan ganggang kanannya yang terbalut solatip. Jelas ini perbuatan dari kumpulan pembully itu, kacamata satu-satunya terpaksa dipakai meski tak layak.

Membawa tas mereka memang tak berat, namun perlakuan itu sungguh membuatnya malu, apalagi ini ditempat umum. Pandangan yang diam-diam menertawakan ataupun secara jelas itu juga turut membuat nyalinya menciut, tak ada yang simpatik padanya selama ini.

"Angkut ke kelas, sana!" perintah Sandy dan segera dilakukan Milo dengan cepat. Randy yang mendengar suara Sandy yang memerintah dengan keras itu pun menatap sang pelaku dengan mata yang menyipit. "Kenapa kau menatap ku seperti itu, Ran?" tanya Sandy dan hanya dibalas gelengan malas dari Randy.

"Nath, kau punya rencana apa?" tanya Bian dengan bersemangat. Bian yang duduk di jok motor Nathan pun bertanya dengan penuh keriangan, ia memang terlalu menyeramkan dengan kebahagiaan yang dihasilkan jika ada orang yang menatapnya dengan penuh permohonan.

"Heh? Tidak, memang kenapa?" jawab Nathan dan berakhir kebingungan dengan pertanyaan Bian.

"Sial! Terus kenapa kau membangunkan tidur nyenyak ku dan membuat kita semua menjadi penjaga gerbang, seperti ini!" sahut Marco dengan kesal. Bangun paginya terasa sia-sia karena hanya berakhir dengan lamunan menghayati perasaan kesal.

"Memang salah ku, ya? Bukankah kalian yang menahan ku pergi dan memutuskan persiapan cepat untuk ke sekolah pagi-pagi bersama ku, ya?" jawab Nathan sederhana. Ia memang merencanakan sesuatu secara pribadi untuk menjahili Devan, tapi rupanya itu akan berakhir gagal karena Nathan tak melihat kehadiran Devan di kelasnya bahkan saat waktu terus bertambah siang.

"Bukan begitu, karena biasanya kau selalu merencanakan sesuatu dengan berangkat pagi-pagi seperti tadi, kan... jadi karena itu, kami ingin pergi bersama," jelas Randy yang sedari tadi hanya diam. Randy memang yang paling pendiam dan pintar diantara yang lainnya. Sikapnya yang begitu tenang selalu membuat Nathan memperhatikan penuh ketika ia bicara.

"Yah Nath, sia-sia aku memutus mimpi indahku!" rengek Sandy dan seketika mendapat pukulan dari keempat kawan lainnya.

"Mimpi apa memangnya kau, mimpi basah?!" sindir Marco yang masih terlihat gemas untuk memukuli Sandy.

"Sial kau!" umpat Sandy pada Marco, ia pun lantas membalas pukulan pria itu. Sandy dan Marco mulai dengan perkelahian mereka, dan yang lainnya pun hanya menatap dengan penuh kemalasan. Mereka berdua memang seperti anak kecil, berkelahi dengan gaya saling balas gelitikan, memang itu terlihat keren dijadikan pertunjukan apa?

"Hei, Nath! Kau mau kemana lagi?" tanya Bian saat dirinya ditarik turun dari motor. Mereka yang berkumpul di lahan parkir dekat gerbang itu pun saling menatap bingung seperti kehilangan induk.

"Pulang, jangan ikuti aku!" peringat Nathan lantas menancap motornya keluar dari area sekolah dan meninggalkan kawan-kawannya yang kelimpungan.

"Bangunlah dulu, kau harus makan sebelum meminum obat," ucap Mike dengan mendudukkan diri tepat di sebelah Devan yang sedang berbaring, kedua matanya tertutup. Lengan Mike pun terangkat otomatis untuk mengecek suhu tubuh Devan di dahi dan lehernya, masih panas.

Tubuh yang berbaring lemas dengan keadaan wajah yang pucat itu sungguh membuat Mike merasa cemas setengah mati. Ia bukan bersikap berlebihan pada Devan, hanya saja pria mungil itu terasa begitu berbeda dari yang lain. Dan bukankah ia sempat mengatakan jika ia ingin Devan menjadi bagian penting dalam hidupnya? Karena jujur, Mike merasakan kesamaan yang begitu terlihat, sendiri dan terbuang.

"Tidak... Kepalaku pusing sekali Mike, aku ingin tidur saja," rengek Devan setelah dirinya terbangun dari tidurnya akibat goncangan pelan lengan Mike ke tubuhnya. Ia bahkan berpindah posisi tidur menjadi tengkurap dengan sebuah bantal yang menutupi kepala, Mike terlalu berisik dan mengganggu tidurnya sejak beberapa saat lalu.

"Aku tak suka dibantah!" ucap Mike dengan tegas. Ia lantas menarik bantal yang menutup Devan dan membalikkan tubuh itu dengan pelan. Menarik kedua lengan Devan kemudian menyandarkannya ke bantal yang telah ditumpuk oleh Mike sebelumnya.

"Mike..." protes Devan saat pria bertatto itu mulai mengaduk-aduk bubur yang masih mengepulkan asap. Demi apa pun, Devan sungguh tak menyukai makanan satu itu, ia bahkan dengan cepat melindungi mulutnya dan menggeleng-gelengkan kepala secara berulang. Tekstur dan tampilan yang menjijikkan sudah membuatnya ingin muntah lagi.

"Aku tidak bisa memasak, ini hasil karya dari mereka bertiga. Atau kau mau aku belikan saja?" ucap Mike dengan tangan yang menyodorkan suapan sedikit ke arah Devan. Ia dengan gamblang menjelaskan hal itu karena melihat raut penolakan yang begitu jelas dari Devan. Mike memang mengakui jika tampilan makanan itu tak meyakinkan dengan potongan sayur yang terlihat begitu besar. Oleh karena itu, ia tak ingin dianggap sebagai pencipta dari karya ala kadarnya.

"Kau tenang saja, itu aman dimakan kok! Walau tampilan seperti ini, kita bisa memasak, tau!" ucap Handis membuat Mike dan Devan mengalihkan pandangan ke arah tiga orang yang membentuk barisan, mereka bahkan berdiri dengan pose yang sama, kedua lengan yang diletakkan di saku celana.

"Hai, ketemu kita bertiga lagi!" sapa Handis, Toni, dan Ibnu secara serentak. Devan yang mendapatkan sapaan seperti itu pun tersenyum tipis.

"Hai..." balas Devan singkat.

"Sudah basa-basinya, sekarang buka mulutmu!"

Mike masih tak mau menyerah, ia menyodorkan sesuap bubur itu dengan tatapan yang jelas memerintah. Devan yang melihat itu pun tak bisa lagi untuk mengelak, dengan berusaha mengendalikan perutnya yang masih bergejolak, Devan pun juga turut menelan mati-matian bubur itu di mulut pahitnya. Ini adalah proses makan yang begitu menyiksa bagi Devan yang sama sekali tak menyukai bubur.

"Sudah Mike, perutku sudah terisi penuh," alasan Devan dengan menggelengkan kepala. Wajahnya yang pucat itu pun bertambah mengerikan dengan ringisan menahan mual.

"Baru juga dua suap."

"Sudah!" balas Devan dengan tegas. Ia tak ingin paksaan makan itu berakhir dengan muntah seperti tadi pagi.

"Minum obatnya dulu," ucap Mike yang menyerah untuk terus membujuk Devan. Ia pun mengembalikan mangkuk ke nakas dan mengambil obat yang tadi dibelinya. Menyodorkan segelas air minum dan membantu Devan membuka kemasan pil obat itu.

"Kalian bertiga sudah tidak ada urusan lain, kan?" tanya Mike kepada ketiga temannya. Setelah mendapatkan balasan dengan gelengan kepala, Mike pun lanjut berucap, "Kalau begitu pulanglah, aku ingin istirahat."

"Kalian tidur saja, kita bertiga akan berjaga di luar," balas Toni dan dengan cepat membalikkan tubuh sebelum Mike sempat memprotes. Ia menuju pintu kamar Devan dan keluar diikuti Handis dan juga Ibnu, pintu pun langsung ditutup saat Handis yang berjalan paling belakang. Ia sempat menatap Mike yang terlihat bersiap untuk menempati sisa ranjang di sebelah Devan, mereka akan tidur bersama, itu pikir Handis.

"Sial, mereka sungguh mengganggu!" gerutu Mike yang sudah memposisikan tubuh dengan tengkurap di kanan Devan. Sedangkan Devan yang sesaat tadi di geser Mike sedikit demi sedikit hanya bisa meneliti sikap pria itu dengan terbengong-bengong.

"Kenapa kau berbaring di sini?" tanya Devan setelah ia tersadar dari keterkejutannya. Wajah pucat bahkan sudah berubah memerah karena sikap Mike yang selalu bisa membuatnya berdebar. Berada dalam jarak dekat dan tempat yang terkesan begitu intim membuat Devan berkhayal berlebih.

"Aku ingin mengintrogasimu!" sahut Mike kemudian membalikkan posisi tubuh menjadi berbaring miring menghadap Devan. Lengan kirinya pun tertekuk untuk menumpu kepala.

"Oh ayolah, Mike! Aku sedang sakit sekarang," balas Devan sebagai alasan. Ia pun menghindari tatapan Mike dan langsung menarik satu bantal untuk digunakannya berbaring.

"Jawab singkat saja, bagaimana kau bisa sampai sakit seperti ini?" tanya Mike masih keukeuh untuk mendesak. Ia pun menggoyang-goyangkan tubuh Devan yang berbaring miring membelakanginya.

"Aku tidak sakit parah, ini hanya masuk angin," balas Devan pada akhirnya. Ia sedikit menoleh ke Mike waktu berbicara dan langsung kembali ke posisi dengan cepat. Ia mengatur nafasnya yang mulai menderu tak karuan, ia sungguh tak kuat jika didekat Mike seperti ini, sesaat ia bahkan melupakan perutnya yang bergejolak tak nyaman.

"Lah itu... Kau pasti keluar malam-malam kan?"

"Iya sih, tapi kan Nathan meminjami ku hoodie jadi harusnya aman, kan?" balas Devan singkat.

"Dia meminjami mu hoodie tapi tidak dengan baju ganti, dia tuan rumah yang payah!" ucap Mike sembari membenarkan letak selimut yang membalut tubuh Devan. Sedangkan Devan yang diperlakukan seperti itu sudah tak bisa menahan ringisan senang. Dengan perasaan gemas ia pun memukul-mukul pipinya beberapa kali. Hijau, sejak kapan seragamnya menjadi hijau dan panjang seperti ini?

"Eh, sebentar! Sejak kapan aku berganti pakaian?" pekik Devan menjerit keras, ia seketika bangun dari keterbaringannya. Menatap Mike dengan raut yang sudah menegang, apalagi saat Mike membalasnya dengan senyum singkat. Sial! Devan malu sekali! Jangan bilang kalau Mike yang mengganti pakaian miliknya? Jadi, Mike melihat tubuhnya telanjang, begitu?!

"Akkhh... Dasar Mike! Aku tak memintamu untuk mengganti pakaianku kan?"

"Hei, kenapa kau berteriak? Itu kulakukan karena pakaianmu basah akibat keringat, harusnya kau berterimakasih padaku!"

"Tetap saja, itu tindakan tak sopan!"

"Tak sopan apanya? Kita sesama pria kalau-kalau kau lupa."

Sedangkan disisi lain, ketiga orang yang fokus dengan ponsel masing-masing itu langsung berjengkit kaget. Mereka yang asik berbaring di karpet berbulu itu langsung bangkit dari baringannya dan langsung bertatapan curiga.

"Jangan biarkan aku berpikir aneh!"

Nächstes Kapitel