webnovel

Insiden pemukulan

Suatu hari pada pukul lima pagi, para catar berbaris diperempatan jalan membentuk pleton. Kulihat tiga orang poltar beserta penjaga asrama, yang bernama Pak Sugeng moodnya sedang tidak baik. Sejak tadi dia menggerutu dengan nada tinggi, lalu ia berjalan kesana-kemari sambil memegang kumis tebalnya. Kulihat ditangan kananya, ia memegang sebuah selang berwarna hijau, sesekali ia melihat jam ditangan kananya.

Sementara itu para catar, berdiri sikap sempurna sambil menahan ngantuk. Lalu ada beberapa diantara kami yang menguap, lalu ia menutup kembali dengan tangannya. Angin pagi yang berhembus sepoi-sepoi, mulai merasuki tubuhku. Suhu yang dingin membuat tubuhku menggigil. Sepuluh menit telah berlalu, namun kami belum diperintahkan untuk pergi. Aku pun penasaran, sebenarnya apa yang sedang terjadi. Kemudian aku pun bertanya kepada catar disampingku. Rupanya ada seorang catar yang sulit untuk dibangunkan, lalu ia belum mempersiapkan apapun. Pantas saja hari ini Pak Sugeng terlihat sangat marah. Setelah itu datanglah anak yang dimaksud.

Penampilannya sangat kacau, mulai dari tali sepatu yang belum terikat, baju kusut, dan terakhir tasnya yang terbuka. Soal kedisiplinan rupanya ada yang lebih parah dari diriku. Tetapi sejak mengikuti MADABINTAL, aku sama sekali tidak mengenalnya. Walaupun begitu, setidaknya dia tidak minta pulang. Setelah itu Pak Sugeng berdiri disamping kiri, lalu meminta kami untuk hadap kiri. Pak Sugeng pun berkata.

"Hari ini kalian sangat keterlaluan, seharusnya jam lima kalian harus sudah berangkat. Tetapi kenyataanya, terlambat lima belas menit. Sekarang kalian merayap sampai keluar gerbang sekarang!" ujarnya dengan intonasi tinggi.

Kami pun langsung merayap sampai keluar gerbang, yang terbuat dari teralis. Setelah keluar dari gerbang, kami langsung berdiri lalu berjalan membentuk barisan. Selain diriku, ada beberapa anak yang menjadi hambatan ketika merayap. Spontan para senior mencambuknya dengan selang, sekeras mungkin hingga merayap secepat mungkin keluar gerbang. Setelah kami sampai di Akademi, kulihat senior Aditiya berdiri sambil melipat tangannya dengan baju tarunanya berwarna biru dongker, lalu ia menatap kami dengan jengkel. Sebelum acara makan pagi dimulai, senior Aditiya memarahi kami lalu memberi hukuman berupa jalan jongkok sampai ke ruang makan.

Selesai sarapan kegiatan dilanjutkan dengan berolahraga pagi. Kegiatan berolahraga berakhir pada pukul delapan pagi, selanjutnya kegiatan dilanjutkan dengan berlatih baris berbaris. Satu jam telah berlalu, akhirnya kegiatan pun telah berakhir. Sekarang kami bisa memasuki kelas masing-masing dengan tertip. Sebelum memasuki kelas, para catar meletakkan tas mereka di depan kelas, lalu berbaris dan memasuki kelas satu persatu sambil membawa buku. Kemudian pelajaran pun dimulai, ketika pelajaran sedang berlangsung aku tidak bisa berkonsentrasi. Tubuhku yang kelelahan membuatku mengantuk. Sedikit demi sedikit mataku mulai berat, materi yang disampaikan oleh Sang Pengajar, tidak diriku simak dengan baik. Padahal diriku duduk dibangku paling depan, ini sungguh tidak bisa dibiarkan. Lalu aku meminta izin untuk pergi ke kamar mandi. Kulihat banyak sekali catar yang mengantri disana. Sebagian dari mereka menyadari keberadaanku, lalu memberitahu yang lain agar membiarkanku terlebih dahulu.

Entah mengapa aku merasa tidak enak dengan mereka. Sebab mereka sudah mengantri terlebih dahulu dariku. Selain itu aku merasa ada yang aneh dengan mereka, selesai membuang hajat aku kembali memasuki kelas. Ketika aku sedang berjalan menuju kelas, sekilas aku mendengar mereka membicarakanku. Mereka pun berkata.

"Menjijikan"

"Dasar anak cengeng, gara-gara dia angkatan kita di cap jelek oleh para senior"

"Kenapa sih itu anak masuk akademi ini?"

"Gak tahu, gak jelas banget dasar idiot"

Perkataan mereka membuat hatiku sakit, seketika seluruh jiwaku diselimuti hawa kebencian. Rasanya ingin kuhajar mereka hingga babak belur, lalu kutendang biji mereka hingga mandul. Sayangnya aku tidak akan sanggup melawan mereka seorang diri. Tubuhku yang kecil, berperut buncit, serta tanganku yang seperti linggis, mereka pasti mudah mengalahkanku. Setelah perkuliahan berakhir latihan fisik pun dimulai. Para catar harus mengelilingi akademi, sebanyak empat keliling dengan bertelanjang dada. Sedangkan catir hanya menggunakan kaos akademi, berlengan pendek berwarna hijau. Baju PDL hijau akan terus digunakan, sampai hari penobatan tiba.

Selesai berlatih kami pun makan siang, seluruh catar berbaris lalu masuk ke ruangan satu persatu. Setelah itu kami harus melakukan apel makan terlebih dahulu, barulah kami bisa menikmati hidangan yang disediakan. Setelah makan siang, seluruh catar berkumpul dibawah pohon besar yang rindang. Pohon itu berada disamping kelas jurusan teknik, disana hanya terdapat daun kering yang menutupi aspal. Diantara pohon dan kelas teknik, terdapat sebuah gerbang yang bertuliskan, "Selamat datang". Dibalik gerbang sempat kulihat ada sebuah lapangan basket, lalu disana terdapat tumpukan balok kayu, entah untuk apa kayu tersebut. Kulihat para senior memasuki gerbang itu, lalu kami pun diperintahkan untuk duduk bersila.

Aku duduk dibarisan tengah pletonku, kemudian mereka pun mulai berpindah tempat duduk sesuai dengan keinginan mereka. Sekarang tinggal aku seorang diri dikelilingi oleh para catir. Sadar dengan kehadiranku, spontan para catir langsung menjauhiku. Aku pun merasakan kesepian, seolah-olah tidak ada satupun yang menginginkanku. Ketika aku ingin bergadung dengan para catar, mereka langsung kembali ke tempat semula. Saat aku menghampiri mereka, spontan mereka pun mulai menyebar ke segala arah. Sungguh menyedihkan jika kalian yang membacakan kisah ini merasakannya secara langsung.

Setelah itu para senior itu kembali dengan memegang sebuah balok kayu, berbentuk tabung, dengan panjang dua meter. Balok itu berwarna merah, sedangnkan disetiap ujung a berwarna biru. Rencananya hari ini akan diadakan latihan senam balok. Setiap anak memilih pasangannya masing-masing, lalu setiap pasangan memegang sebuah balok. Kemudian berjalan menuju lapangan, dengan kompak. Latihan pun dimulai, pertama kami diajarkan dasar senam balok, lalu disambung dengan latihan dasar membentok formasi seperti sebuah jembatan. Kemudian membentuk sebuah hala rintang, dengan berbagai bentuk dengan balok kayu. Rencananya setelah penobatan, para taruna akan mengadakan sebuah pertunjukan balok kayu. Lalu berkolaborasi dengan club barongsai.

Tak terasa satu jam telah berlalu, namun latihan kali ini terasa seperti tiga jam. Kedua tanganku terasa sakit pada bagian pergelangan, juga lengan atas dan bahu. Setelah berlatih senam balok, latihan baris berbaris dimulai. Sepertinya tubuhku sudah mulai mencapai batasnya, namun aku harus berjuang hingga akhir. Dua jam telah berlalu, akhirnya latihan pun telah usai lalu kami pun kembali ke asrama. Ketika diperjalanan, kulihat seluruh catar berjalan dengan sempoyongan, pandangan kosong layaknya zombie. Sesampainya diasrama aku langsung berbaring sejenak, kulihat Yoga pun melakukan hal yang sama. Lalu dia bercerita tentang pelecehan yang terjadi kembali, yang menimpa seorang taruni.

Kejadiannya terjadi dua hari yang lalu, waktu itu pada pukul enam sore. Para catar mengantri untuk membeli seblak dikantin. Kebetulan aku berada disana sewaktu kejadian, suasana disana penuh sesak. Waktu itu, aku sedang berbaris untuk membeli seblak dan minuman dingin. Di depanku ada Linda, salah satu taruni berambut pendek, dibelakang ada dua taruni yang sedang berbaris menunggu giliran. Jarak dari antara antrian dengan antrian lainnya hanya 8 cm. Kemudian di sekelilingku banyak sekali catar, duduk dikantin hanya sekedar bersandar gurau. Namun semua yang aku lihat, tidak ada hal aneh dan semua terlihat normal. Lalu Yoga pun bertanya.

"Elu gak mau cari tahu, seperti halnya elu ngebantuin kasus Nunki?'

"Males bro, ngapain juga gue ikut campur gak ada untungnya ke gua. Lagipula gue ini catar, bukan detektif. Biarkan si pelaku mendapatkan apa yang diinginkan" ujarku.

"Ha.ha.ha bener juga, kali aja elu mau ikutan"

"Ya enggak lah" ujarku.

Setelah berbincang-bincang aku pun tertidur pulas. Dua minggu telah berlalu, namun tidak ada hal menarik yang aku dapatkan. Aku merasa bahwa selama dua minggu waktu yang aku jalani terbuang sia-sia. Rasa lelah dan letih, menjadi sarapan sehari-hari dan juga sepertinya tubuhku mulai kebal terhadap cambukkan. Suatu hari ketika aku sedang berlatih senam balok, salah satu senior memanggilku. Lalu aku menghampirinya, saat aku melihat ke arah gerbang masuk akademi, kulihat keluargaku datang mengunjungiku. Selesai latihan aku izin untuk menemui mereka. Senang rasanya, bisa melepaskan rasa rinduku kepada keluargaku. Rasanya aku ingin mempercepat acara pelantikan itu, agar aku bisa pulang ke rumah.

Sayangnya itu adalah hal yang mustahil untuk dilakukan. Kemudian aku meminta mereka untuk menemuiku di asrama, tetapi keluargaku menolak sebab setelah ini, keluargaku akan kembali pulang. Meskipun perjumpaan dengan keluargaku, hanya berlangsung setengah jam bagiku itu sudah cukup. Sekarang aku merasa seperempat energiku telah terisi, oleh kehadiran mereka. Setelah itu latihan senam balok kembali dimulai, ketika aku sedang berlatih para senior mengintariku lalu mereka memukulku dengan rotan. Lalu mereka pun berkata.

"Ciye yang habis ketemu mamah" ujar senior David.

"Udah minum susunya?" kata senior Aisyah, yang menggunakan jilbab.

"Kau pikir ini akademi ini taman kanak-kanak?" kata senior Robi.

"Dasar cengeng, menjijikan!" kata salah satu senior, yang tidak aku kenal.

Mereka terus memperlakukanku seperti itu hingga latihan berakhir. Keesokan harinya saat tengah hari, kami pun berkumpul di lapangan basket. Seluruh catar kecuali taruni bertelanjang dada. Kemudian senior Aditiya menyuruh kami untuk sikap sempurna, lalu ia memerintahkan kami untuk beristirahat di tempat. Setelah itu ia memarahi kami, perihal kedatangan orang tua selama pendidikan berlangsung. Semua yang dikatakan oleh senior Aditiya memang benar, sebab kedatangan orang tua saat pendidikan melanggar prosedur. Dan satu satunya anak yang berani, membawa orang tua datang kesini adalah diriku sendiri. Jujur aku sama sekali tidak tahu soal kedatangan mereka, semua itu murni keinginan keluargaku sendiri. Tetapi mereka terus saja memojokkanku, dengan segala kesalahan yang aku buat. Lalu senior Aditiya menyampaikan rasa kekecewaanya kepada angkatanku. Setelah itu ia berkata.

"Pokoknya saya gak mau tau, ini akademi maritim bukan TK. Janji tidak mau diulangi?!"

"Siap janji!" jawab seluruh catar.

"Robi gue ada perlu sebentar, elu silahkan eksekusi sesuka hati elu" ujar senior Aditiya.

Lalu senior Aditiya, pamit untuk menghadiri sebuah urusan. Sekarang senior Robi yang memegang kendali. Kemudian seluruh catar diperintahkan untuk terlentang, lalu kedua kaki ditekuk seperti posisi sit up. Setelah itu kami diperintahkan, untuk membasahi lapangan basket dengan keringat kami sendiri. Punggungku terasa perih sekali, ditambah panasnya matahari sehingga membuatku hampir pingsan. Selesai menjalani hukuman, kulihat punggung para catar memerah dan juga terdapat luka lecet. Sekilas mereka semua, sempat melihatku dengan tatapan kebencian.

Melihat hal itu, tidak ada yang bisa aku perbuat sama sekali. Aku pun pasrah jika diriku dimusuhi oleh satu angkatan. Rupanya hari ini Tuhan sedang menguji mentalku, entahlah sampai kapan diriku bertahan. Kalau bisa sedikit lagi saja, aku ingin bertahan dari semua tekanan yang menerpa diriku. Sepulang dari kegiatan, senior Aditiya memintaku untuk menemuinya di pos. Dia memberiku segelas kopi luak, lalu ia memintaku untuk duduk di tempat biasa kami mengobrol. Setelah itu ia pun bertanya.

"Mengenai orang tuamu, kamu sengaja menghubungi mereka untuk datang kemari?"

"Siap tidak senior, keluargaku datang atas keinginan sendiri"jawabku.

"Enak yah, gue iri sama elu. Dulu sewaktu gue masih kecil keluarga gue kurang harmonis. Mereka selalu bertengkat atas ego masing-masing. Waktu daftar ke akademi ini, boro-boro dianterin"

"Begitu.."

"Jangan kecewakan orang tuamu Jul, sebab didunia ini mereka adalah harta yang tidak bisa digantikan" ujarnya.

"Siap senior!" jawabku dengan percaya diri.

Setelah itu ia bertanya mengenai hukuman apa yang di berikan oleh senior Robi. Aku pun menceritakan semuanya, lalu senior Aditiya pun terkejut mendengarnya. Sebab hukuman semacam itu tidak ada dalam prosedur akademi. Kemudian ia memintaku untu berbalik badan, lalu ia memintaku untuk menunjukkan luka lecet pada punggungku. Spontan ia pergi ke pos lalu mengobatiku dengan betadine dan salep kulit. Selesai mengobatiku, ia memintaku agar melapor jika terjadi penyimpangan, yang dilakukan oleh siapapun. Aku pun mengiyakan apa yang ia perintahkan padaku.

Satu minggu telah berlalu, rasanya hari-hariku semakin sulit. Berbagai macam tekanan yang menerpa diriku, hampir membuat mentalku pecah. Terkadang setiap malam hari, air mataku terus mengalir. Dengan begitu setidaknya sebagian beban dihatiku bisa terbuang. Untungnya tidak ada satu orangpun yang mengetahuinya. Hari ini pada pukul delapan malam, aku sedang berbaring sambil melatih tulisanku. Tiba-tiba Yoga memanggilku lalu aku menghampirinya. Rupanya ada salah satu catar yang sedang menungguku, lalu aku diperintahkan untuk mengikutinya. Catar itu membawaku ke sebuah gang sepi, disamping kanan dan kiriku terdapat tiga kontrakan kosong.

Kulihat di ujung jalan terlihat senior Soni sedang menungguku, lalu catar yang mengantarku langsung berbalik arah, setelah itu pergi menjauh dengan tergesah-gesah. Kedua tangan senior Soni mengepal sangat kuat, lalu ia menatapku dengan penuh kebencian. Jantungku berdetak begitu kencang, lalu tubuhku menggigil ketakutan. Lalu aku berjalan menghampirinya secara perlahan. Senior soni langsung membentakku, lalu ia memerintahkanku untuk sikap sempurna. Senior Soni pun berkata.

"Memalukan elu berani-beraninya membawa orang tua, saat pendidikan. Mau elu apa? Dasar malu-maluin kota Subang. Ternyata gue bener-bener jijik dan benci sama elu! Sekarang membungkuk!" ujarnya.

Setelah itu ia mencambuk punggungku dengan rotan. Luka yang sebelumnya diobati berakhir dengan sia-sia. Kemudian setelah ia mencambukku, ia menamparku dengan keras lalu memukul perutku dengan tinjunya, setelah itu ia menendangku hingga tersungkur. Kulihat tanganku dipenuhi dengan luka memar. Akibat dari pukulannya, membuat perutku mual lalu aku merasakan perih pada bagian punggung. Tanpa aku sadari air mataku sedikit mengalir, melihat hal itu dia langsung menghinaku.

Puas menghinaku ia pun meludahi wajahku, lalu pergi begitu saja ke dalam post. Sungguh perbuatan yang ia lakukan tidak akan aku lupakan seumur hidupku. Keesokan harinya saat malam hari, senior Robi dan Soni meminta seluruh catar untuk berkumpul. Lalu berbaris membentuk sebuah lingkaran, setelah itu berdiri tegap sikap sempurna. Rupanya hari ini akan diadakan sidang mengenai pelecehan yang dilakukan oleh seorang oknum. Kali ini korbanya adalah Linda, lalu para senior meminta kepada seluruh catar agar pelaku segera menyerahkan diri. Jika tidak seluruh taruna akan dicambuk bokongnya menggunakan rotan. Waktu itu, para catar menggunakan baju putih dan celana hitam panjang berbahan tipis.

"Aduh!" teriakan para catar menahan sakit.

Satu persatu catar dicambuk menggunakan rotan, tanpa terkecuali. Selesai mencabukki seluruh catar, Nully pun mengacungkan tangan dan akhirnya ia memberikan kesaksian. Tidak aku sangka ia memfitnahku sebagai pelaku pencabulan, yang menimpa Linda. Spontan aku pun langsung membela diri, sayangnya kebenaran tidak berpihak padaku. Linda pun langsung berdiri, lalu memberikan kesaksian palsu. Aku terus membela diri dengan menjelaskan kebenaranya. Kulihat hampir seluruh catar mempercayai apa yang Linda katakan. Tiba-tiba Nunki pun berdiri, sepertinya ia akan memberikan pembelaan atas diriku. Sayang ekspektasi tak sesuai dengan realita, ia malah ikut memfitnahku. Dia berkata bahwa pencabulan yang menimpa dirinya, itu adalah perbuatanku.

Aku sangat kecewa dengan Nunki, kukira dia adalah gadis yang baik. Namun ternyata, penampilannya membuatku tertipu. Yang lebih membuatku kecewa adalah Farhan, sebab ia adalah saksi bahwa aku tidak melakukannya. Kulihat ia hanya menunduk lalu memalingkan wajahnya. Seketika pandanganku mulai kosong, dan tubuhku mulai menggigi, lalu mengepalkan kedua tanganku sekuat tenaga. Setelah itu, aku menatap semua orang dengan penuh amarah dan kebencian. Lalu senior Soni pun berkata.

"Sungguh biadab hei kau Juliet, padahal mereka berdua adalah adikmu sendiri. Selain jago menangis, mengeluh dan mengadu, rupanya kau jago juga meremas bokong orang" hina senior soni kepadaku.

"Ciee mau nangis, tangisan elu adalah hiburan bagi gue tau enggak?!" ujar senior Robi.

"Hey kalian semua, apa kalian tidak kesal. Karena si babi ini, angkatan kalian di cap jelek oleh angkatan sebelumnya. Apa kalian kesal?" tanya senior Soni.

"Siap kesal!"

"Jadi hukuman apa yang ingin kalian berikan kepada Juliet?"

"Gebukin aja sampai gak bisa nangis lagi!" ujar sebagian catar.

"Setuju atau enggak?" tanya senior Robi.

"Setuju!"

"Baiklah silahkan kalian pukul sepuasnya!" kata Senior Robi.

Hasutan mereka berdua sungguh luar biasa, kulihat semua orang mulai mendekatiku. Sementara itu para taruni kembali ke asramanya masing-masing. Cara mereka berdua mengingatkanku kepada salah satu karakter di serial film Mahabarata. Karakter itu bernama sangkuni. Kemudian mereka langsung memukuliku disaat itu juga. Sementara itu aku hanya bisa menangis sambil menahan sakit, oleh pukulan mereka. Tak tahan dengan semua ini, akhirnya aku pun berteriak minta tolong. Seketika waktu pun terhenti, kulihat mereka terdiam seperti batu. Aku pun sempat berpikir bahwa diriku sudah mati.

Setelah itu aku memejamkan mata sambil menangis. Saat aku membuka mata, aku berada disebuah tempat yang dipenuhi oleh cahaya. Sepertinya aku pernah melihat tempat ini sebelumnya. Aku pun mengingatnya, rupanya tempat ini adalah awal pertemuanku dengan Selina, Zegas, dan gadis rubah. Kemudian munculah mereka bertiga dibalik butiran cahaya.

"Sepertinya tuanku sedang berada dalam kesulitan" kata Zegas.

"Dasar pengecut beraninya keroyokan" kata Selina.

"Mereka jahat sekali tuanku, ini bukan pendidikan tetapi penyiksaan"ujar gadis rubah itu, sambil mengibaskan ekornya, dengan wajahnya yang imut.

Spontan aku pun menangis histeris, mereka bertiga langsung mendekatiku lalu Selina dan gadis rubah itu mulai memelukku. Selina membersihkan air mataku, sementara gadis rubah itu tetap memeluk sambil mengusap punggungku. Kulihat Zegas memalingkan wajahnya lalu ia menatap langit-langit.

"Sudah tuanku jangan menangis" kata gadis rubah.

"Kamu sudah berusaha, seharusnya kamu bangga dengan hal itu. Lihat mataku, semua akan baik-baik saja" kata Selina.

Akhirnya tangisanku mulai reda, lalu aku menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Lalu aku menceritakan hal mengerikan yang terjadi hari ini, bagaimana diriku dipukuli oleh banyak orang disana. Mereka bertiga turut prihatin atas segala yang menimpaku, namun tidak ada yang bisa mereka bertiga lakukan selain memberikan semangat. Kemudian mereka memintaku agar tidak takut untuk menghadapi ini semua. Lalu aku pun berkata.

"Menghadapi mereka seorang diri rasanya itu tidak mungkin. Andaikan saja diriku punya kekuatan, mungkin aku tidak berakhir sebagai samsak" ujarku.

"Tuanku bisa melakukannya, kuncinya adalah ketenangan. Lalu biarkan energi dalam kalungmu itu, mengalir ke seluruh tubuhmu" kata Zegas.

"Kalung yang kau gunakan, bukanlah kalung sembarangan. Siapapun yang memakai ia memiliki kesaktian, yang berlawanan dengan hukum alam" kata Selina.

"Itu benar tuanku, kalahkan saja mereka semua" kata gadis rubah itu.

"Jangan mengada-ngada, selama aku memakainya diriku tidak merasakan apapun. Lagipula jika itu benar aku tidak tahu cara memakainya?" tanyaku.

Setelah itu Selina memintaku untuk memegang kalungku. Lalu mengucapkan mantra yang akan mereka ajarkan kepadaku. Menurutku itu bukanlah sebuah mantra, melainkan sandi mirip seperti sandi dalam dunia intelijen. Kemudian Selina memberitahu tentang mantra itu, lalu ia memintaku untuk menghafalnya. Setelah hafal dengan mantra yang ia ajarkan, Selina memintaku untuk mempraktekannya.

"Wahai Sang Pencipta langit dan bumi, aku mohon pertolonganmu. Bantulah aku menumpas kekuatan jahat dan ketidak adilan, dan berkahilah aku dengan karuniamu" ujarku sambil memegang kalungku, dengan menutup mata.

Kemudian aku mulai merasakan ada sesuatu yang masuk ke dalam tubuhku. Tubuhku terasa ringan dan pikiranku menjadi rileks, rasanya tubuhku seperti di cas menggunakan kabel. Kulihat ada butiran cahaya mulai mengintari tubuhku. Lalu kulihat sedikit demi sediki sosok mereka bertiga, mulai menghilang. Mereka melihatku dengan tersenyum, lalu berkata.

"Majulah" Kata Selina.

"Jangan menyerah" kata Gadis Rubah.

"Kami bertiga akan selalu mendukungmu, dan menunggu kedatanganmu kembali tuanku" kata Zegas.

Dan akhirnya semua yang aku lihat telah menghilang, tiba-tiba aku kembali ke waktu sebelumnya ketika aku sedang dipukuli. Tiba-tiba semua pergerakan mereka menjadi lambat, selanjutnya aku tahu apa yang harus aku lakukan. Kemudian aku menghajar mereka satu persatu, hingga tersungkur. Muka jelek mereka kuberi hadiah tinju terbaikku, lalu kutendang bagian tulang kering mereka hingga kesakitan. Setiap serangan mereka yang bertubi-tubi, dapatku tangkis dengan mudah. Tak terasa satu jam pun telah berlalu, lalu hujan pun turun membasahi seluruh tubuhku. Wajahku dipenuhi luka lebam, lalu kedua tanganku terasa seperti mau patah.

Seperempat dari mereka kembali memasuki asrama, sedangkan yang lainnya bersiap untuk menyerang. Seluruh tubuhku mulai dirasuki oleh amarah, lalu aku berlari maju seorang diri menghadapi mereka. Aku pun mulai berteriak lalu menghajar mereka dengan membabi buta. Sayangnya jumlah mereka terlalu banyak, dan tubuhku sudah mencapai batasnya. Akhirnya diriku berakhir dengan babak belur, dan tidak sadarkan diri.

Nächstes Kapitel