Keesokan harinya kami pun berlari mengelilingi barak selama empat keliling. Setiap atu tertinggal dua langkah, pelatih Sugianto mendorongku dari belakang sehingga aku bisa sejajar dengan mereka. Terkadang senior aditiya yang menggantikan pelatih untuk mendorongku. Dan terkadang senior David yang turut ikut serta membantuku. Jika tidak ada mereka, Yoga dan Farhan yang membantuku.
Setelah berolahraga kami pun diminta untuk berbaris dilapangan. Rencananya hari ini akan diadakan pembagian kelompok, untuk kegiatan penjelajah disekitar markas, lalu dilanjutkan sedikit memasuki hutan. Satu kelompok terdiri dari empat orang, Pemilihan kelompok dibagi dengan sistem acak. Senang sekali rasanya, sebab aku satu kelompok dengan Farhan, Yoga, dan Piras. Kami pun mendapatkan giliran terakhir untuk menjelajah, selama kami menunggu kami duduk bersila diatas aspal. Kulihat Farhan memperhatikanku dengan rasa cemas, lalu ia berkata.
"Semangat mas Jul, ini akan terasa menyenangkan" kata Farhan.
"Tenang nanti kalau ketinggalan lagi, gue dorong sampai ujung" kata Yoga.
"Sudah jangan minta pulang lagi, dibawa happy aja jangan tegang" kata Piras.
"Thanks semua, sorry nih kehadiran gue jadi beban" kataku.
"Sudah disini tidak ada yang jadi beban atau membebankan kok. Disini semuanya sama rata, maka dari itu jangan sungkan minta bantuan ke kita-kita. Lagipula kita teman" kata Farhan.
"Tenang nanti gue bantuin" kata Piras.
"Kalau begitu mulai sekarang, kita adalah tim Juliet" kata Yoga.
"Setuju tuh!" kata Farhan.
"Sudah woi malu gue"
"Sudah gak apa-apa, anggap saja ini dukungan kita buat elu" kata Piras.
"Sini kemarikan tangan kalian" kata Yoga, sambil menjulurkan tangannya ke depan.
Kami pun menempelkan tangan masing-masing, lalu menyebut namaku dengan suara lantang sambil menaikkan tangan ke atas. Semua orang disana memberikan tepuk tangan termasuk senior dan para pelatih. Sekali lagi keberadaanku menjadi perhatian banyak orang. Sekian lama kami menunggu, akhirnya giliran kami telah tiba. Kulihat dua perwira dengan baju loreng hijau, menghampiri kami, lalu kedua perwira itu memperkenalkan diri. Rupanya dua perwira yang bernama Hadi dan Tisna, datang menjadi pemandu kami hingga kegiatan selesai. Kulihat mereka membawa selang disaku belakang mereka. Sepertinya mereka sudah siap untuk membantai kami, jika terlihat ada kesalahan sedikit pun.
Kemudian tour pun dimulai, pertama kami melintasi ruang senjata, lalu kami melintasi perumahan para perwira. Disana aku melihat banyak para pedagang minuman yang sedang berjualan. Pak Hadi pun menyadari lirikan mataku, lalu dengan sukarela ia membelikan sebotol jus. Setelah itu ia meminta kami untuk membaginya sama rata. Setelah melintasi perumahan, kami diminta untuk memasuki hutan, melewati jalan yang curam dengan seutas tali. Yang maju pertamakali adalah Piras, disusul Yoga, Farhan dan terakhir aku. Sebelum turun aku pastikan jalurnya aman atau tidak, namun karena terlalu lama Pak Tisna langsung mencambuk punggungku dengan selang.
"Cepat jalan!" ujarnya.
Semakin lama tekanan mental yang mereka berikan, semakin ekstrem. Terpaksa kami harus sedikit menambah kecepatan dalam melangkah, sambil selaraskan hentakan kaki. Dibelakang dua perwira itu terus mencambuk kami, layaknya seekor kerbau. Kemudian kami harus mendaki sebuah bukit kecil, dengan seutas tali tambang. Jalanya yang berlumpur membuatku kesulitan, kulihat mereka bertiga telah sampai terlebih dahulu. Diatas sudah ada perwira Narto, yang sudah siap dengan rotan ditangannya.
Sejak tadi, dua perwira itu terus mencambuk punggungku, lalu aku paksakan seluruh tubuhku agar bisa sampai ke atas. Dan akhirnya celanaku robek 10 cm. Sesampainya diatas perwira Narto, memukul kepalaku dengan rotan. Kemudian aku di perintahkan, untuk berguling ke depan. Kulihat mereka bertiga dicambuk dengan selang, dalam sikap taubat.
"Cepat langkahkan kakimu gundul! Jika tidak mau melihat mereka dicambuk lebih lama!" kata perwira Narto.
Lalu aku diperintahkan, untuk jalan jongkok. Semakin lama aku melangkah, semakin lama mereka dicambuk. Aku merasa bersalah saat itu, karena diriku yang lambat mereka menjadi tersiksa. Setelah itu aku bergabung dengan mereka, lalu perjalananku dilanjutkan. Ketika kami sedang melintas di mushola, kulihat banyak sekali ibu-ibu yang baru selesai pengajian. Lalu mereka memperhatikan celanaku yang robek, dan mereka menertawaiku terbahak-bahak. Sedangkan tiga temanku sibuk menjaga stamina masing-masing. Tak kusangka cuaca hari ini sangat panas, staminaku mulai turun dan keringatku bercucuran dengan deras. Pandanganku mulai kabur, ditambah beratnya sepatuku. Dan akhirnya akupun terjatuh, dengan wajah jengkelnya perwira Narto mencambuk diriku dengan selang. Lalu ia berkata.
"Dasar banci kau, segitu saja sudah tepat! Kalau tidak mau bangun temanmu akan merasakan akibatnya!" kata perwira itu.
Seperinya seluruh otot ditubuhku sudah mencapai batasnya, tubuhku tidak bisa digerakkan. Kemudian para perwira itu mulai mencambuki mereka didepan mataku. Kulihat mereka berjuang untuk menahan rasa sakit yang ia rasakan. Aku sudah tidak kuat lagi merasakan ini semua. Apalagi melihat temanku yang sedang menanggung rasa sakit demi diriku. Dan akhirnya dengan kondisi tubuhku yang melemah, aku pun bangkit lalu kembali bergabung bersama mereka. Kemudian kami mengunjungi sebuah tempat berlatih para perwira. Ada tiga macam alat untuk berlatih diantaranya, horizontal bar, besi panjang biasanya ada di taman bermain anak TK, dan terakhir seutas tali tambang yang diikatkan dari satu pohon ke pohon yang lain.
Setelah itu kami diperintahkan untuk menaiki benda itu satu persatu. Sekarang adalah giliran terakhirku, menaiki tali tambang untuk menyebrang. Aku miliki phopia terhadap ketinggian, ketika aku melihat ke bawah tubuhku langsung menggigil, lalu konsentrasiku down. Melihat hal itu para perwira menjadi sangat kesal, lalu mereka mulai mencambukku dengan selang dan rotan. Sedikit demi sedikit aku melelintasi seutas tali tambang, kulihat dua perwira mulai mendekati tiga temanku. Setelah itu mereka berkiga disuruh untuk membungkuk, dan akhirnya mereka dicambuk dengan selang dengan sangat keras. Teriakan menahan sakit telah terdengar jelas ditelingaku, dengan cepat aku langsung menyebrangi jembatan itu. Setelah turun dari pohon, aku pun berjalan jongkok hingga aku pun tersungkur.
Aku sudah tidak tahan melihat ini semua, rasanya diriku ingin bertukar posisi dengan mereka. Biarlah aku menderita, asalkan mereka baik-baik saja itu sudah cukup bagiku. Lagi pula ini semua adalah kesalahanku, andaikan aku seperti superman, mungkin drama ini tidak akan terjadi. Dan pada akhirnya tangisanku pecah, lalu aku berkata.
"Hentikan aku mohon hentikan!" sambil berlinang air mata.
"Memalukan baru pertamakali melihat seorang taruna cengeng sepertimu!" kata perwira Narto.
"Jangan kalian siksa mereka, seharusnya kalian yang mencambukku" ujarku.
"Kau ingin bertukar posisi dengan mereka? Coba sebutkan alasanya!" kata perwira Tisna.
"Fisikku sangat lemah, karena itu saya menjadi beban untuk mereka. Maka dari itu biarlah saya yang gantikan mereka, dan biarkan mereka melanjutkan perjalanan tanpa aku" ujarku sambil berlinang air mata.
"Apa yang kamu bicarakan, kamu itu bukan beban. Kata gak akan pergi tanpa kamu, kita ini teman bukan. Seorang teman tidak akan meninggalkan temannya begitu saja" ujar Farhan sambil berlinang air mata.
"Piras, rasa sakit yang kamu rasakan biarlah kami merasakannya juga" kata Piras sambil menangis.
"Sudah dramanya?" kata perwira Narto.
Setelah itu ketika temanku mengangkat tubuhku, lalu merangkulku dan menghentakkan kaki bersama-sama ke tempat selanjutnya. Dari sini mungkin cerita ini sedikit berlebihan, asal kalian tau bahwa sebagian cerita ini adalah kisah nyata. Apa yang aku lihat, dan diriku rasakan pada chapter ini, sebagian benar apa adanya. Sekian lama diperjalanan kami sanpai disebuah danau yang cukup luas. Kulihat satu persatu catar sedang melakukan Spider Web, dan terakhir Flying Fox hingga ke sebrang. Setelah itu kembali menyebrang dengan perahu dayung.
Sekarang adalah giliranku menaiki Flying Fox, saat melihat kebawah badanku kembali menggigil. Selesai memasangkan tali pengaman, aku memberi laporan terlebih dahulu.
"Lapor saya Juliet Fadilah, siap meluncur"
"Laksanakan"
"Siap laksanakan" ujarku.
Ketika meluncur aku sempat melihat ke bawah, awalnya takut lama kelamaan diriku mulai menikmatinya. Setelah itu aku diperintahkan, untuk menyebrang bersama lima orang senior dengan perahu dayung. Selesai menyebrang kami pun diperintahkan untuk berbaris, lalu saling berhadapan. Lalu para senior menunjuk dua orang perwakilan, untuk membagikan nasi kotak. Kemudian dilanjutkan dengan apel makan siang, yang dipimpin oleh Yoga sebagai perwakilan. Selesai apel kami pun mulai menikmati hidangan. Saat makan badan kami harus tegak, lalu sendok yang nyamper ke mulut, jika tidak habis maka harus diberikan ke samping temannya. Waktu menyantam hidangan adalah lima menit. Jika tidak habis, kami harus mengeluarkannya kembali dengan cara berguling-guling.
Menu makan hari ini adalah ayam bakar, sayur lode, dan jeruk. Selain jeruk tiga makanan ini terasa sangat tawar, lalu nasinya terasa keras. Terpaksa mau tidak mau kami harus menghabiskannya. Sayangnya menghabiskan makanan tanpa ada yang tersisa, itu hal yang sangat mustahil. Setelah memberikan waktu tiga puluh menit untuk mencerna, kami pun diberikan hukuman push up sebanyak tiga puluh kali. Ketika melakukan push up, gerakannya harus kompak dengan yang lain. Jika ketahuan tidak kompak, maka harus mengulanginya dari awal. Kemudian kami pun diperintahkan untuk jungkir balik, hingga sampai ujung lapangan.
Singkat cerita malam pun tiba, jam delapan kami sedang mengikuti acara seminar bela negara. Sebelum kegiatan berlangsung, kami menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia, setelah itu kami pun duduk bersila memperhatikan materi. Saat pelatih sedang menerangkan materi, tidak boleh ada yang tidur dan juga membungkukan kepala. Jika ada CATAR (Calon taruna) yang ketahuan, ia dipaksa mengunyah biji setan lalu ia harus push up dan jungkir balik. Tak terasa setengah jam telah berlalu, kulihat Sang Pelatih dengan semangat tetap menyampaikan materi. Lalu para senior serta dua perwira, mengawasi kami dengan ketat.
Mataku semakin lama semakin berat, rasanya aku ingin segera tidur. Namun jika aku melakukan itu, tamatlah riwayatku. Tiba-tiba ada seseorang yang menepuk pundakku tiga kali, saat aku menoleh aku pun terkejut, rupanya orang itu adalah perwira Narto.
"Kau ini benar-benar yah, selain jago menangis rupanya kau jago mengantuk juga rupanya" ujarnya.
Kemudian ia memerintahkanku untuk pergi ke belakang. Dan akhirnya aku pun diberi penyegaran, berupa push up dan jungkir balik sampai ia puas. Sementara itu seluruh catar fokus ke depan, sambil menahan ngantuk, lalu mereka bersikap seolah tidak tau apa yang terjadi di belakang. Selesai menjalani relaksasi, kini giliran teman-temanku yang terkena rajia. Kemudian aku kembali duduk, lalu memperhatikan materi. Teman disampingku memberikanku balsem, lalu aku oleskan dileher agar tidak mengantuk.
Selesai mengikuti seminar, kami kembali ke tenda lalu tertidur pulas. Saat tengah malam, suara tembakan bergemuruh dilangit lalu kami langsung berkemas, lalu berkumpul dengan terburu-buru. Setelah itu para senior mulai memaki kami, lalu kami diperintahkan untuk sikap taubat. Selama sikap taubat berlangsung, mereka terus berbicara mengenai etika senioritas. Lalu mereka menyinggung ada salah satu dari kami, yang melanggar etika tersebut. Padahal saat kegiatan berlangsung, kami selalu menjaga tatakrama kepada para senior. Bahkan tak ada yang berani untuk mengatakan tidak.
Setelah itu aku ditunjuk sebagai perwakilan untuk mengingat suatu kalimat. Kalimat yang harus aku ingat adalah kata:
"Sempat-sempatnya semut-semut itu saling senyum-senyum dan salam-salaman sama semut-semut yang mau senyum-senyum dan salam-salaman sama semut-semut itu"
Kalimat itu harus diucapkan sebanyak tiga kali. Jika ada satu kata pun yang terlupakan, maka kami akan dihukum skot jam. Permainan itu dipimpin langsung oleh perwira Narto. Aku diperintahkan untuk menghafal kalimat itu dalam waktu tiga menit. Lalu aku permainan pun dimulai, saat mengucapkan kalimat itu lidahku terasa kaku. Kulihat para senior mulai menggangguku dengan berbagai pertanyaan, dan akhirnya aku pun lupa. Kemudian kami harus menerima hukuman itu dengan berlapang dada. Penyiksaan itu berlangsung hingga pukul tiga pagi.
Aku sudah tidak kuat lagi menjalani ini semua, rasanya tubuhku terasa remuk. Rasanya diriku sudah tidak kuat untuk menjalani ini semua. Sesampainya ditenda, kami semua langsung tertidur, pada pukul lima pagi kami harus beraktivitas rutin seperti kemarin. Singkat cerita siang pun tiba, cuaca hari ini sangat panas, lalu sinar matahari telah membakar kulitku. Hari ini kami sedang berlari dengan bertelanjang dada. Sedangkan taruni hanya menggunakan kaos hijau berlengan pendek. Sepatu yang berat membuat kami harus menguras tenaga.
Lama kelamaan kami pun mulai haus, beruntung kami membawa botol veples, yang terpasang di belt celana. Namun semua itu tidak berlangsung lama, jika terus meminumnya walau hanya satu tutup botol, lama kelamaan akan habis. Suatu hari persediaan air minumku mulai habis, lalu aku mencari sumber mata air terdekat. Kebetulan kami sedang beristirahat dibawah pohon yang rindang, dekat rumah mobil lapis baja. Sayangnya tidak ada keran atau apapun selain saluran air yang kotor. Mumpung para catar sedang pergi untuk mencari air, lalu aku curi seperempat air milik salah satu dari mereka.
Beruntung saat itu tidak ada yang menyadarinya, dan akhirnya aku bisa menyimpan air minum untuk beberapa jam kedepan. Kulihat tidak hanya aku yang melakukan itu, ada beberapa yang secara diam-diam melakukannya juga. Bahkan ada yang berani masuk ke kantor, untuk mencuri air. Dari sini aku belajar, bahwa manusia akan menunjukkan sifat aslinya ketika terdesak.Pada akhirnya aku tidak jauh beda dengan manusia yang lainnya.
Sifat asli seseorang akan terlihat, ketika ia sedang terdesak atau berada di ujung tanduk.