webnovel

First Last Dinner (Part 2)

"Michelle tak kuasa lagi menahan perih di hatinya saat melihat Jonathan pergi... Kenapa bahasa aku jadi menjijikkan gini, ya?" gumam Ananda bingung saat membaca layar komputernya. "Arrrggghhhhh!"

Ananda berbaring di lantai, frustasi pada karyanya yang sedari tadi belum juga beranjak dari halaman tiga sembilan, dan malah makin ngaco. Ananda menghela napas, bangkit, dan seperti biasa, melakukan senam-senam kecil utnuk kembali menyegarkan pikirannya. Dia melirik jam: 12.10.

Ananda memutuskan untuk membuat secangkir cokelat panas untuk mengembalikan semangatnya. Perempuan itu mengambil air dan sebungkus susu cokelat, lalu membuka pintu untuk pergi ke dapur. Dia melirik kamar Rava yang lampunya masih menyala. Lalu, dia buru-buru kembali lagi ke kamarnya.

Rava menatap kosong layar handycam-nya. Di sana, tampak teman-teman SMA-nya sedang bersama-sama mengerjakan pentas seni. Rava menekan tombol stop, membuka kaset mini-DV-nya, lalu melemparkannya sembarangan. Di kaset itu, tertempel stiker bertuliskan, 'Pensi 2004'. Rava menggapai-gapai kaset lain tanpa melihat dan yang terambil adalah yang bertuliskan 'Jakarta Beach 2004'. Rava tak langsung menyetelnya, dia malah menatap kaset itu dingin.

"Rava..."

Rava tersentak kaget saat mendengar suara seseorang yang memanggil namanya. Rava menatap kaset di tangannya bingung. Mungkinkah-

"Rava..."

Kali ini, Rava segera melempar kaset itu. Suara itu mirip sekali dengan suara seseorang yang pernah dikenalnya. Tetapi, tidak mungkin itu...

"Rava Erlangga!"

Rava menoleh ke arah pintu. Ternyata, suara itu berasal dari sana. Rava menghela napas lega, tetapi kembali bingung. Dia melirik jam tangannya. Setengah satu pagi.

Rava membuka pintu dan tampang Ananda muncul. Di tangannya-Ananda, terdapat dua buah mug yang mengepul. Rava mengernyit.

"Nih." Ananda menyodorkan salah satu mug yang ada di tangannya.

"Apa, nih?" tanya Rava, belum mengambil mug yang disodorkan.

"Susu cokelat. Katanya, bagus buat pertumbuhan," jelas Ananda.

Cttikkk. Langsung muncul persimpangan jalan di kepala Rava. "Pertumbuhan aku udah maksimal," sahut Rava sewot, mengingat tinggi badannya yang abnormal.

"Ambil aja kenapa, aku nggak mau minum dua-duanya, nih," balas Ananda. "Udah susah-susah dibuatin, juga."

"Nggak ada yang nyuruh kamu ngebuatin." Tetapi, Rava menerima mug itu. "Makasih."

Ananda mengangguk kecil sambil mengintip ke dalam kamar Rava.

"Kamu lagi ngapain, jam segini belum tidur?" tanya Ananda yang membuat Rava merasa harusnya dialah yang bertanya itu.

"Nggak ada," jawab Rava berusaha menghalangi pandangan Ananda. "Kamu sendiri? Nggak takut kamu jalan-jalan sendirian hari gini?"

"Udah terlalu terbiasa," balas Ananda. "Tinggal di kos ini bakal bikin kamu nggak takut sama apa pun lagi."

Rava membenarkan dalam hati. Kost ini memang lebih mirip rumah hantu.

"Oke. Kalau gitu, aku mau tidur, Selamat Malam." Rava mengakhiri pembicaraan, tak berniat mengobrol malam-malam. "Ini, Makasih."

Rava menutup pintu kamarnya. Tak berapa lama, dia mendengar suara pintu sebelah ditutup. Rava duduk di kasur, menatap susu cokelat di tangannya. Sepertinya, dia tidak boleh terlalu baik pada Ananda. Dia tidak membutuhkan lebih banyak masalah.

Rava menghirup susu cokelat itu, dan menghabiskannya dalam sekali teguk.

Sudah beberapa hari ini Rava mendatangi beberapa fakultas di kampus Universitas Yogyakarta, tetapi orang yang dicarinya tidak ketemu juga. Tak terkecuali hari ini. Rava pulang dengan tangan kosong.

Orang yang pertama dilihat Rava di kos adalah seseorang pemuda yang tidak terlalu tinggi dengan poni yang menghiasi keningnya. Tubuhnya kecil, tidak terlalu tinggi untuk orang sebayanya.

"Hai," sapa orang itu membuat Rava berhenti. Rava mengangguk pada orang itu. "Anak baru, ya?"

Rava mengangguk lagi. Ternyata, orang itu penghuni kos ini juga. Salah satu dari dua cowok yang tertinggal di kos ini.

"Nama aku Alvin Bintang Pramana. Tapi, kamu bisa panggil aku Alvin," katanya sambil menyodorkan tangan. Rava menyambutnya.

"Rava Erlangga," kata Rava.

"Peace, yo!" kata Alvin tiba-tiba sambil menunjukkan gerakan memukul dada dan mengacungkan simbol victory. Rava menatapnya bingung.

"Peace," kata Rava akhirnya sambil mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya juga.

Tiba-tiba, terdengar suara tawa dari lantai atas, membuat Rava dan Alvin mendongak. Ternyata Ananda.

"Cuekin aja, Rava, dia pikir dia Bob Marley," ucap Ananda, membuat Alvin cemberut. Rava tersenyum sopan pada Alvin, lalu naik.

"Kamu nggak kuliah, Ananda?" tanya Alvin pada Ananda.

"Nggak. Lagi libur," jawab Ananda dan langsung nyengir pada Rava yang sudah sampai lantai dua.

"Oi, Rava, hati-hati, lho, sama Ananda. Siap nyerang kapan aja, tuh," teriak Alvin dari bawah, membuat Rava tersenyum kaku. "Tiap malem mesti kunci pintu!"

"Heh, mestinya aku yang dibilangin begitu!" balas Ananda keki.

"Wah, sama sekali nggak ada niat buat nyerang, tuh," kata Rava sambil merogoh saku celananya dan mengambil kunci.

"Eh, jangan pede dulu, ntar-ntar katamu kamu naksir aku, bakal repot, lho!" sahut Ananda membuat Rava mendengus.

Rava masuk ke kamarnya lalu menutup pintu. Benar. Benar sekali. Akan sangat merepotkan baginya kalau harus menyukai seseorang. Ataupun, disukai.

Rava baru akan memasak air untuk mie cup-nya saat Ananda muncul tiba-tiba dan mematikan kompor. Rava mengernyit menatap cewek itu.

"Disuruh makan bareng sama Tante Alena. Ayo!" kata Ananda sambil menarik Rava yang belum sempat menyanggupi, menuju rumah Tante Alena.

Di sana, sudah ada Tante Alena beserta keluarganya: suami dan anak satu-satunya yang masih berusia sepuluh tahun bernama Alvin, kemudian Alvin, dan seorang berkacamata yang diyakini Rava sebagai penghuni kos satunya lagi.

"Aku berhasil ngebawa dia ke sini!" seru Ananda ceria, lalu menyuruh Rava duduk. "Ini dia, nih, anak baru yang nggak sopan. Udah dua minggu lebih ngekos, tapi belum kenalan."

"Ananda, jangan ngomong begitu dong, siapa tau dia sibuk," kata Tante Alena sambil tersenyum pada Rava yang membalasnya dengan kaku.

"Iya. Rava, maaf ya, Ananda memang agak judes," sahut suami Tante Alena membuat Ananda melotot.

"Nggak apa-apa, Om," jawab Rava membuat Ananda pindah melototinya.

"Rava, ini suami saya Wisnu, dan ini Mario, anak saya satu-satunya. Terus kamu udah kenal Alvin, kan? Nah, yang ini namanya Angga," kata Wisnu, menunjuk lelaki berkacamata. Rava mengangguk padanya, yang dibalas anggukan singkat. "Dia anak kedokteran, pinter banget, lho, sampai dapat beasiswa!"

Rava mengangguk-angguk kecil, benar-benar kagum pada orang yang sudah kuliah di kedokteran, dapat beasiswa pula. Tak heran "bentuk" Angga seperti itu, mungkin dia terlalu sibuk belajar, sampai rambutnya lepek begitu.

"Yang bawel itu, kamu pasti udah kenal. Dia banyak nyusahin kamu nggak, Rava?" tanya Tante Alena lagi. Kini, Ananda siap mengamuk.

"Lumayan," jawab Rava membuat Ananda benar-benar mengamuk.

"Aduh, maaf, ya, dia sering ribut, anaknya memang suka heboh sendiri. Tapi sebenarnya dia anak baik, kok," kata Tante Alena sambil nyengir pada Ananda yang masih misuh-misuh.

"Besok-besok, kalau mau makan, datang saja ke sini. Kita makan bareng," kata Wisnu. "Kami semua sudah biasa makan malam bareng."

Rava mengangguk ragu.

"Ya sudah kalau begitu, ayo kita mulai makan!" sahut Wisnu lagi. "Ayo Rava, makan yang banyak!"

Rava mengangguk pelan sambil memerhatikan anak-anak lain berebutan makanan yang ada di atas meja. Ananda menatap Rava heran.

"Rava? Kenapa?" tanyanya membuat Rava menatapnya. "Jangan salahin kita, lho, kalau makanannya habis. Di sini sistemnya seleksi alam."

Rava tertawa garing dan menggapai satu lauk yang tersisa, kemudian menatap nasi yang ada di piringnya. Dia melirik orang-orang di sekitarnya yang sudah mulai sibuk berkicau. Sudah lama Rava tidak merasakan suasana makan malam seperti ini. Rava tersenyum sendiri, dan bermaksud untuk mulai makan.

"Tante, nanti aku bantuin cuci piring," ujar Ananda di sela-sela cerita Mario tentang ujiannya. Mendengar itu Rava tersentak dan menatap sendok di tangannya yang sudah setengah terangkat di udara. Sendok itu terlepas dengan sendirinya dan jatuh ke piring, membuat suara dentingan keras. Semua orang berhenti berbicara dan menatap Rava yang wajahnya pucat pasi.

"Rava? Kamu kenapa?" tanya Tante Alena, wajahnya khawatir. "Masakan saya nggak enak?"

Rava masih belum bisa menguasai dirinya. Wajahnya tegang dan dari dahinya keluar keringat dingin.

"Maaf, saya ke belakang dulu," katanya, lalu buru-buru bangkit dan pergi meninggalkan meja makan. Semua orang saling tatap dengan pandangan heran.

Rava berjalan secepat mungkin ke kamar mandi, sambil menjambak-jambak rambutnya sendiri. Bagaimana mungkin tadi dia berpikiran untuk makan bersama keluarga itu? Bagaimana mungkin kemarin-kemarin dia juga menerima makanan dan minuman dari Ananda?

Rava memukul dinding di depannya keras-keras. Napasnya tersengal, muak memikirkan dirinya yang nista itu dengan tamaknya mau merasakan sedikit kebahagiaan tanpa memikirkan aMariotnya.

Rava menatap cermin kecil di depannya. Dia tahu dia seharusnya tidak memulai hubungan baik dengan siapa pun. Rava membasuh wajahnya dengan air, menarik napas dalam-dalam, lalu menghelanya.

Rava keluar dari kamar mandi, dia tertegun melihat Ananda yang sudah menunggu di depan kamarnya sambil membawa nampan. Wajahnya terlihat khawatir.

"Rava, kamu nggak enak badan, ya?" tanyanya sementara Rava berjalan mendekatinya. "Tante khawatir banget, makanya aku bawain aja makanan kamu ke sini."

"Nggak perlu," kata Rava dingin sambil melewati Ananda. Dia bermaksud masuk ke kamarnya. Ananda menatap Rava bingung.

"Tapi, ntar kamu sakit," kata Ananda lagi, membuat Rava berbalik.

"Apa peduli kamu?" tanyanya tak sabar. Ananda terdiam. Rava mendesah. "Denger. Jangan pernah bawain apa pun lagi ke sini, karena aku nggak perlu. Ngerti?"

Rava masuk ke kamar dan membanting pintunya tepat di depan Ananda yang masih mematung. Rava meremas kepalanya sambil terduduk di belakang pintu.

Lebih baik begini. Memang, lebih baik begini.

Nächstes Kapitel