webnovel

32. Pradita Masa Pertumbuhan

"Buru-buru amat, Yang?" ujar Bara. "Pake aja padahal. Gak usah mikirin pulsa. Kan tadi aku udah bilang pulsaku banyak," ucap Bara lembut.

"Bukan soal itu, tapi…."

"Tapi apa?"

"Eh, gak jadi. Mamah gua malah pengen mie ayam. Pusing gua. Perasaan tetangga sebelah rumah juga tukang mie ayam. Ngapain nitip ke gua? Ada-ada aja. Udah ah. Kita pulang sekarang yuk. Nanti mamah gua ngambek guanya gak pulang-pulang."

"Oke deh. Hayu kita pulang."

"Eh bentar-bentar."

Pradita mengangkat mangkuknya dan meneguk kuah ramen itu sampai ludes tak bersisa setetes pun.

"Astaga, Yang. Udah, udah. Kalau kamu masih laper, aku beliin lagi satu porsi. Mau?"

"Gak!" tolak Pradita sambil menggerakkan tangannya. "Udah aja. Gua kan cuman gak tega aja gitu liat kuahnya masih ada. Gua biasa makan kudu sampe habis gitu, Bar. Gak enak sama yang udah masakin. Masa gak diabisin? Gitu."

Bara tersenyum manis. "Ya udah kalo gitu. Ayo kita cabut."

Mereka berjalan ke kasir. Mampus dah! Kalau sampai Bara menagih uangnya pada Pradita bagaimana? Ia tak punya uang yang cukup untuk membayar.

"Bar, gua ngutang dulu ya," ucap Pradita sambil nyengir. "Entar gua gantiin. Dompet gua gak ada duit segitu."

"Kamu ini ngomong apa sih?"

Bara menyerahkan selembar uang biru bernilai lima puluh ribu rupiah. Pradita hanya bisa melebarkan matanya menatap uang biru itu tidak hanya selembar, tapi cukup banyak berada di dalam dompetnya.

Cowok itu menerima kembaliannya dan memasukkannya ke dalam dompetnya yang bermerk Rof Curl. Itu adalah dompet mahal yang pernah Pradita lihat di pusat perbelanjaan. Sampai kapan pun Pradita tidak akan berani membeli dompet semahal itu.

Lalu mereka sama-sama berjalan menuju ke parkiran motor. Pradita menenteng tas prakteknya di dada. Bara menyerahkan helm pink itu pada Pradita yang diterimanya dengan berat hati.

Apakah ini yang disebut dengan pacaran? Pulang sekolah dijemput naik motor, terus dijajanin makan mie. Sekali makan saja habis uang enam belas tujuh belas ribu lebih. Harus berapa lama Pradita mengumpulkan uang jajannya untuk mendapatkan angka segitu?

Lalu, mana tega Pradita menghabiskan uang itu dalam sekejap hanya untuk sekali makan saja? Itu pemborosan namanya. Namun, lain cerita jika ia memiliki isi dompet setebal dompet Bara.

"Ayo naik, Yang. Kamu capek ya. Dari tadi ngelamun terus."

"Eh iya." Iya emang dari tadi Pradita melamun terus dan tampak seperti orang aneh.

Pradita baru sadar jika Bara sudah mengenakan helm dan jaket. Cowok itu tampak sangat … ah, sudahlah. Pradita kehabisan kata-kata untuk memuji Bara. Sekarang, sebelum ia jadi tampak seperti orang bodoh, ia harus segera naik ke atas motornya.

Pradita memegang ujung jaket Bara supaya tidak tertebak angin dan terjengkang ke belakang. Tiba-tiba, Bara mengerem mendadak sehingga dada Pradita menabrak punggungnya yang lebar. Pradita otomatis langsung memeluknya.

"Nah, gitu dong, Yang." Bara meremas tangan Pradita di perutnya.

Mereka pun melaju menembus angin dengan pergerakan yang lebih mantap. Bara mengebut hingga tak terasa Pradita pun tiba di rumahnya. Jantungnya berdebar tak karuan hingga tangan dan kakinya gemetaran.

Pradita pun turun dari motor Bara dengan susah payah karena joknya yang tinggi. Ia memeluk tas prakteknya dengan erat sambil mengatur napasnya. Tiba-tiba, pintu rumahnya terbuka.

Ibunya keluar dan membukakan pintu pagar.

"Gawat!" seru Pradita sambil tercekat. "Bar, makasih ya udah anterin gua pulang. Udah lu sana pergi. Dadah." Pradita mendorong-dorong punggung Bara. "Lu kok ga pergi-pergi sih?"

"Kamu kenapa, Yang?" ujar Bara bingung sambil membuka kaca helmnya.

"Ya lu pergi sana. Udah."

Bara malah terkekeh. "Helmnya belum dilepas itu, Yang."

Pradita melebarkan mulutnya karena terkejut. Rasa malu sudah tak terbendung lagi. Ibunya membuka pintu pagar.

"Dita?"

Ia menoleh sambil membuka helm Bara yang berwarna pink ngejreng itu. "Ya, Mah."

"Kamu pulang sama siapa?" tanya ibunya.

"Sore, Tante," sapa Bara dengan suara yang dalam yang sanggup membuat kaki berubah menjadi agar-agar.

Bara membuka helmnya dan kemudian menyugar rambutnya. Pradita hanya bisa cengo sambil meremas helm pink dan tas prakteknya.

"Eh, siapa ya? Kamu udah punya pacar, Dit?" tanya ibunya sembrono.

"Mamah ih!" tegur Pradita malu.

Bara mengulurkan tangannya untuk meraih tangan ibunya dan salim dengan sikap sopan. "Saya Bara, Tante, pacarnya Dita. Maaf ya, Tante Dita pulangnya jadi telat. Saya tadi ngajak Dita makan ramen dulu soalnya dia bilang lapar."

Pradita menghantam jidatnya pada helm pink itu. Astagaaa! Mimpi apa semalam hingga Bara bisa mengaku-ngaku sebagai pacarnya pada ibunya. Gila ini sih gila banget. Pradita bisa kehilangan akalnya jika keadaannya jadi seperti ini.

"Oh. Ya udah gak apa-apa." Ibunya terkekeh. "Syukur deh kalau Dita udah kenyang sekarang. Jadi Nak Bara ini pacarnya Dita gitu?"

"Bukan!"

"Ya, Tante," jawab Bara dan Pradita bersamaan.

Ibunya jadi tampak bingung. "Eh gimana sih?"

"Dita dan saya masih malu-malu, Tante," jawab Bara yang semakin memperburuk suasana.

Pradita memelotot marah ke arah Bara, tapi cowok itu tidak peduli. Ia memasang senyuman manis di depan ibunya hingga ibunya pun jauh lebih percaya padanya daripada mempercayai putrinya sendiri.

"Aduh, dasar anak muda. Kalian ini manis sekali. Ya sudah kalau begitu." Ibunya berpaling ke arah Pradita. "Ayo sana bilang terima kasih sama Bara."

"Makasih," ucap Pradita dengan terpaksa.

"Sama-sama," ucap Bara sambil terkekeh. "Aku pulang dulu ya, Dit."

Pradita hanya bergumam tidak jelas. Matanya melihat ke arah lain. Ibunya menyikutnya.

"Idih kamu judes begitu mukanya," komentar ibunya.

"Gak apa-apa, Tante. Udah biasa. Dita, itu helmnya, Yang."

Pradita tersengat listrik saat Bara menyebutnya 'yang' di depan ibunya. Wah bener-bener itu cowok minta digorok lehernya. Pradita bersumpah bahwa ia akan meremas-remas Bara menjadi bola dan melemparnya ke ring basket.

Pradita menyerahkan helm itu sambil melayangkan tatapan bengis bak pembunuh yang siap menancapkan pisau ke matanya.

"Tante, saya pamit pulang dulu ya."

Bara salim sekali lagi pada ibunya, mengenakan helm dengan penuh gaya, dan mengekol motornya hingga mengeluarkan suara yang mendebarkan jantung. Ia mengangguk sekali dan kemudian motornya pun menjauh dengan cepat.

Pradita mengabaikan tatapan ibunya yang mengandung selidik yang terselubung.

"Siapa itu tadi?" tanya Pralinka sambil menggosok-gosok rambutnya dengan handuk.

"Pacarnya Dita," jawab ibunya dengan senyum miring yang meresahkan.

"Wah! Hebat! Kamu tadi pulang dianterin sama pacar kamu?" tanya Pralinka pada Pradita yang baru melepaskan sepatu dan menaruh tas praktek di meja.

"Gak tau!" jawab Pradita ketus.

"Dita gak boleh gitu jawabnya sama kakak kamu," tegur ibunya. "Alin, udah deh kamu keringin rambut kamu ke kamar sana. Dita sekarang kamu mandi."

"Hooh."

Pradita segera ke kamarnya untuk menaruh tas dan mengambil baju ganti. Ia segera mandi dengan kilat. Setelah itu ia buru-buru mengambil piring dan mengisinya dengan nasi dan sayuran.

"Kirain udah makan ramen tadi." Ibunya melebarkan matanya sambil menatap Pradita dengan tatapan heran.

"Lah kan cuman mie. Namanya masa pertumbuhan. Belum makan nasi ya belum makan namanya," ujar Pradita cuek.

Nächstes Kapitel