webnovel

Phobia

Siang sudah berganti malam, dan di sinilah sekarang Banyu berada. Di dalam kamarnya. Sudah sekitar setengah jam Banyu duduk dengan memeluk boneka Panda besarnya.

Banyu bingung, untuk masalah ponselnya yang sudah tidak bisa hidup lagi. Kalau Banyu tidak segera memberi tahu orang tuanya, sampai lulus SMA pun Banyu tidak akan mempunyai ponsel lagi.

"Gue bilang gak ya?" gumam Banyu membenarkan posisi duduknya.

"Tapi kalo gue bilang, yang ada malah Mami marah marah sama gue."

Banyu mengacak ngacak rambut hitamnya. "Kalo gue gak bilang, gue juga gak bakalan pegang Hp lagi."

"Kalo aja si Angin puting beliung itu gak ngagetin gue, gue gak bakalan cemplungin Hp gue ke selokan." kesal Banyu menggigit keras telinga boneka panda yang sedang ia peluk.

Banyu berpikir sejenak. "Daripada gue gak pegang Hp sampe lulus. Mending dimarahin, cuma sebentar doang." putusnya.

Banyu turun dari ranjangnya kemudian meletakkan boneka pandanya di atas kasur dan berjalan keluar dari kamar. Mau tak mau Banyu harus berbicara kepada orang tuanya, ini demi ponsel.

Banyu menuruni tangga dengan perasaan gelisah. Antara takut kena omel dan tidak akan dibelikan ponsel lagi. Kalau Banyu berbicara kepada Papinya, pasti tidak akan kena omel. Tapi jika dengan Maminya, tidak usah ditanya lagi. Kalau tidak kena omel ya pasti ngasih syarat yang aneh aneh.

"Mi, Papi mana?" ucap Banyu mendudukkan bokongnya di samping Dita yang sedang menonton televisi.

Dita tidak menolehkan kepalanya sama sekali. Dita hanya fokus kepada film yang sedang ditontonnya. "Dikamar kali, mau ngapain emang?"

"Ada lah, aku ke kamar dulu mau ngomong sama Papi." ujar Banyu kemudian bangkit dari duduknya. Baru saja Banyu membalikkan badannya, tiba tiba seseorang yang di cari cari sudah berdiri tak jauh darinya.

"Mau ngomong apa sama Papi? Ngomong disitu aja." Banyu menelan salivanya, mau tak mau Banyu mendudukkan kembali bokongnya. Dan sekarang Banyu sedang diapit oleh kedua orang tuanya.

"Mau ngomong apa?" ucap Wisnu lembut.

Banyu diam masih menyiapkan mentalnya untuk mengucapkan beberapa kata yang akan dikeluarkan.

"Banyu." panggil Wisnu karena Banyu masih diam.

"Bentar Pi, aku mau nyiapin mental aku dulu." ujar Banyu sambil menarik napasnya dalam dalam.

"Kamu pasti mau ngomong masalah ponsel kamu kan?" ucap Dita santai. Banyu melototkan kedua matanya, Banyu bangkit dan menatap kedua orang tuanya.

"Kok Mami tau?" Banyu berjalan mundur bersiap ingin kabur. Tapi gagal, karena Banyu secara tak sengaja menabrak meja dan kembali duduk di lantai dengan pinggang yang membentur ujung meja.

"Aduhh." ringisnya sambil memegang pinggangnya yang terasa nyeri itu.

"Tuh pelajaran buat kamu." ucap Dita tertawa.

"Mami ah, anak sendiri malah di ketawain." tegur Wisnu menyenggol pelan bahu istrinya.

"Lagian sih, udah dikasih mata di depan malah jalannya mundur." Banyu mendengus mendengar ucapan Maminya. Banyu bangkit dan duduk di atas sofa yang satunya lagi.

"Kok Mami bisa tau kalau aku mau ngomongin masalah ponsel?" tutur Banyu dengan memegang pinggangnya yang masih terasa nyeri.

"Maura tadi bilang, katanya kamu tadi berantem sama Kakak kelas gara gara ponsel." tepat sekali, Banyu memang sudah mengira kalau ini adalah kelakuan Maura. Dasar tukang ngadu.

"Tukang ngadu." gumam Banyu tak segaja.

"Biarin, biar Mami tau gimana kelakuan kamu di sekolah." Banyu mendengus, sebenarnya siapa yang anaknya sih?

"Kalo Mami udah tau, berarti bisa dong gantiin Hp aku?" ucap Banyu dengan tanpa dosanya.

Dita mengangguk, Banyu tersenyum melihat anggukan manis Maminya. Tapi Banyu kembali melunturkan senyumannya karena tiba tiba Dita langsung membuka suara.

"Asal kamu harus bawa pasangan ke acara ulang tahun Maura."

Banyu melototkan kedua matanya. Syarat macam apa ini?

"Banyu masih kecil loh Mi, jangan macem macem lah syaratnya. Iya kan Pi?"

Wisnu hanya tersenyum sambil mengedikkan bahu tak mau ikut campur. Banyu semakin dibuat kesal dengan tanggapan Papinya, Banyu pikir Papinya akan berada di pihaknya.

"Banyu baru tamat SMP Mami." rengek Banyu menatap Dita memohon.

Dita mengedikkan bahunya tak peduli. "Kalo gak mau ya udah."

Banyu diam, bisa saja Banyu menuruti apa mau Dita. Tapi yang Banyu bingungkan adalah siapa yang akan Banyu bawa untuk menjadi pasangannya.

"I-iya iya! Tapi beliin dulu Hpnya." putusnya ketika melihat Dita akan bangkit dari duduknya.

Dita tertawa kemudian bangkit bersama suaminya. "Pinter,"

"Semangat buat cari pasangannya, sayang." ujar Wisnu ikut tertawa.

"Pinter. Semangat buat cari pasangannya, sayang." ucap Banyu menirukan gaya bicara Dita dan Wisnu setelah keduanya kembali ke kamarnya.

----

Malam sudah berganti menjadi Pagi, dan kini terlihat seorang lelaki berparas tampan tengah memakan sarapannya. Dia tak sendiri, tapi juga bersama kedua orang tuanya dan satu Kakaknya. Dia Angin, orang yang kemarin bertengkar dengan Banyu.

"Kok kamu ganti hoodie lagi Dek? Perasaan baru kemarin kamu pake yang warna ijo kan." ujar Dea, Mama Angin.

Angin meletakkan sendoknya pertanda sudah selesai. "Di pinjem sama Fiko yang kemarin, Ma."

"Gak mungkin lo minjemin hoodie lo ke Fiko segampang itu. Jangan percaya Ma, palingan juga dipinjemin ke ceweknya." timpal Hanin, Kakak Angin. Hanin juga meletakkan sendoknya karena sudah selesai makan.

"Emang ada yang mau sama kamu, Dek?" ledek Dea menatap putranya tak percaya.

Angin menatap Hanin tajam. Kemudian mentap Mamanya lembut. "Enggak Ma. Gak usah dengerin kata Hanin, musyrik."

"Hanin Kakak kamu Angin, yang sopan kalau bicara." tegur Doni, Papa Angin.

"Iya Pa iya, Aku mau berangkat dulu." Angin bangkit dan mencium punggung tangan kedua orang tuanya, tapi tidak dengan Hanin.

"E-eh salim sama gue sini." ujar Hanin ketika Angin sudah ingin pergi.

Angin menatap Hanin malas. "Dih, sape elo?"

Hanin bangkit dari duduknya berniat ingin mengejar adiknya. Tapi Angin sudah kabur. Masa bodoh dengan Hanin yang sudah mencak mencak di dalam sana. Sementara orang tuanya sudah geleng geleng kepala melihat tingkah kedua anaknya.

"Dasar cebol." cibir Angin setelah sudah berhasil keluar dari rumah.

Yang Angin maksud cebol adalah Hanin. Angin memang selalu menggunakan kata cebol untuk meledek Hanin. Walaupun Hanin lebih tua dari Angin, tapi tetap saja jika keduanya dijejerkan Hanin akan terlihat lebih kecil dari Angin. Maka dari itu banyak orang mengira kalau Angin adalah Kakak dari Hanin. Apa lagi keduanya hanya selisih satu tahun, Hanin kelas 12 dan Angin kelas 11. Tapi keduanya bersekolah di tempat yang berbeda.

Angin mengendarai motor hijaunya menuju SMA Garuda. Setelah sampai Angin segera memarkirkan motornya dan berjalan menuju ke arah kelasnya. Awalnya memang biasa biasa saja, tapi setelah Angin berjalan di koridor kelas 10 Angin seperti melihat sesuatu.

Angin memincingkan matanya memastikan. "Hoodie gue bukan sih?"

Angin segera mempercepat langkahnya mengejar seseorang di depan sana. Untung saja masih kesampaian. Angin menarik kupluk hoodie hijau yang orang itu pakai.

"E-eh eh eh, lepasin!" ujar seseorang yang Angin tarik dari belakang.

"Hoodie gue balikin!" ucap Angin menatap orang itu tajam.

Orang itu membalikkan badannya menatap sang pelaku. Setelah mengetahui siapa pelakunya orang itu langsung menyilangkan kedua tangannya di depan dada dengan wajah yang angkuh.

"Ganti dulu Hp gue, baru gue balikin hoodie lo."

Sudah tahu kan siapa orang itu? Yang pastinya bukan teman Angin. Dia Banyu, orang yang sudah merampas hoodie mahal Angin ketika sedang berada di kantin.

Angin semakin menatap tajam Banyu. "Gue gak ngapa ngapain Hp lo."

"Enak aja, Hp gue rusak lo bilang gak ngapa ngapain?" delik Banyu sambil berkacak pinggang.

"Balikin hoodie gue, lo kira tuh hoodie murah apa." balas Angin sambil menyilangkn kedua tangannya.

Banyu menggeleng tegas. "Enggak."

"Hoodie gue balikin, Banyu." Angin mencengkram kuat kedua bahu Banyu, Banyu yang diperlukan seperti itu hanya mampu meringis.

Banyu sempat menatap kedua mata Angin, kemudin membuang pandangannya ke arah pot pot depan kelas. Banyu mematung, Banyu bergidik ngeri melihat apa yang baru saja dia lihat.

"Ngin, lepasin gue." ucap Banyu tiba tiba.

Angin menggeleng tegas. "Balikin dulu."

Banyu sudah berkaca kaca menatap Angin dengan tatapan memohon. "Lepasin gue."

Angin terkejut, tapi tetap menggeleng. Angin tahu kalau Banyu hanya ingin mengelabuhinya agar bisa terlepas. Tapi Angin tidak sebodoh itu.

"Ngin, lepasin gue." kini Banyu sudah menjatuhkan air matanya. Angin yang melihat itu sontak melepaskan cengkramannya.

"Lo kenapa? Jangan nangis dong, ntar disangkanya gue ngapa ngapain lo." ucap Angin sedikit merasa bersalah. Ingat, sedikit.

Sementara anak anak yang sudah melihat kejadian itu menatap Angin dengan tatapan terkejut. Mereka berpikir kalau Angin adalah penyebab Banyu menangis, padahal bukan.

"Eh, Kak. Lo tega banget bikin anak orang nangis kejer gitu." celetuk salah satu gadis yang melihat kejadian itu, Angin yakin dia juga masih kelas 10.

Angin membelalakan kedua matanya. "Gue gak ngapa ngapain dia!" sangkal Angin tak terima.

"Gue liat dari tadi, Kak. Lo harus tanggung jawab." ucap gadis yang yang lain.

Angin menggeram kesal. "Lo kira gue ngapain?!"

"Eh-eh, ada apa nih rame rame?" ucap seseorang masuk ke dalam kerumunan itu.

"Itu, ada-"

"Loh Banyu! Lo kenapa nangis disini?" potong Maura cepat setelah melihat kalau temannya itu menangis di depan sana.

Orang itu Maura, Maura memang baru saja sampai di sekolah dan ketika dia berjalan di koridor kelas 10. Maura tak sengaja melihat anak anak yang mengerumuni sesuatu. Jelas Maura tertarik ingin melihat juga. Setelah melihat siapa yang menjadi pusat perhatian, jelas Maura terkejut. Karena itu adalah Banyu dan Angin.

"Heh Angin! Lo ngapain adek gue hah?" Maura menggeplak keras tangan Angin kemudian memeluk Banyu yang tengah menangis.

Maura memang sudah menganggap Banyu sebagai adiknya. Orang tua dari Banyu juga sudah sangat dekat dengan Maura, begitupun dengan orang tua Maura. Mereka berdua juga sudah sangat dekat dengan Banyu.

Angin mengusap bekas geplakan Maura. "Gue gak ngapa ngapain, gue cuma mau minta hoodie gue balik."

"Kalo lo cuma mau minta hoodie, kenapa adek gue bisa nangis gini?" ucap Maura masih tak percaya. Bagaimana bisa percaya kepada Angin, janji janjinya kepada Bendahara saja jarang ditepati.

Banyu mengusap usapkan kedua tangannya. "Kak, gue geli."

Maura melepaskan pelukannya, ia menatap lekat Banyu. "Lo kenapa?"

Banyu mundur satu langkah masih mengusap usapkan kedua tangannya. "Gue geli, gue geli."

Maura dan Angin semakin dibuat bingung dengan ucapan Banyu. Begitu pula dengan semua yang sejak tadi menonton perdebatan antara Banyu dan Angin.

"Kak, pot yang paling gede." tunjuk Banyu yang masih saja mengeluarkan air matanya.

"GUE GELIIIIII!"

Banyu berlari meninggalkan Angin dan Maura tak memperdulikan tatapan tatapan bingung dari semua orang. Yang penting sekarang adalah menjauhi pot sialan itu.

Maura dan Angin sontak mengalihkan pandangannya ke arah pot yang ditunjukkan Banyu. Maura menatap lekat pot yang tak jauh darinya itu, begitupun dengan Angin.

"Pantes nangis nangis gak jelas." gumam Maura, Angin yang mendengar itu langsung saja mengalihkan pandangannya ke arah Maura.

"Dia takut sama ulet?"