webnovel

5 - 'Dia'

"Hari ini mau pulang aja atau pulang benaran?" mendengar perkataan Abzali, Visam berdecak malas. Memilih memasukkan bukunya kedalam tas.

"Aku lagi nungguin kabar doi, bikin galau tau engga." Asyila menoleh, menatap sahabatnya yang kini menelengkupkan kepalanya di meja.

"Kamu punya gebatan, Ab?" tanyanya.

"Jangan percaya sama dia, Syil. Dekat sama perempuan aja engga pernah apalagi mau punya gebetan." Bukan Abzali yang menjawab melainkan Zurais yang berada di dekat laki-laki itu.

"Sirik aja lo. Gini-gini aku juga bisa jatuh Cinta bagaikan bunga-bunga yang bermekaran. Kemarin ya, aku nanya sama perempuan itu tentang gimana tipe cowoknya lah tau engga aku diapain?" Ketiganya sontak menggelang karena memang tidak tau jawabannya.

"Ditampar." Asyila sontak tertawa, Zurais menepuk pundak Abzali untuk menguatkan sedangkan Visam menggelengkan kepalanya, Abzali itu selalu seperti ini.

"Aku pamit duluan ya, soalnya ada acara keluarga."

"Pulangnya pake apa, Sam?"

"Kayaknya pesan taksi aja, permisi ya."

"Aku anter?"

"Memangnya kamu sudah selesai?"

"Kan aku juga temanin kalian aja."

"Kalau engga ngerepotin, boleh."

"Yaud-"

"Syil, dunia kerasa milik berdua ya? Kita mah apa atuh. Cuman dianggap patung jalanan." Visam langsung salah tingkah, sedangkan Asyila tertawa pelan. Namanya juga orang jatuh Cinta.

"Pamit ya semuanya." setelah Zurais mengatakan hal itu ia berlalu berjalan berdampingan dengan Visam.

"Mereka itu kenapa engga pacaran aja sih? Daripada sudah saling jatuh Cinta tapi diam-diam bae kayak gitu." komentar Abzali setelah keduanya berlalu.

"Kamu beneran punya gebetan, Ab?" bukannya menanggapi ucapan Abzali sebelumnya Asyila malah mempertanyakan mengenai gebetan sahabatnya itu.

"Bukan gebetan, Syil. Dia itu teman sekelas cuman apa ya menarik aja dimataku. Mukanya kalau kesel itu nyenengin banget, adem banget kerasa jadi moodbooster walaupun kemarin aku ditampar di kelas jadi bahan tertawaan." Abzali melarikan pikirannya ke masa kemarin, saat perempuan yang berhasil menggerakan hatinya malah menamparnya dihadapan teman sekelas.

"Aku kan hanya ingin memantaskan diri untuk bisa menjadi yang terbaik, Syil. Makanya aku nanya gitu, Ehh! Dia malah marah katanya aku ngelindur. Orang ganteng mah gini, giliran mau serius dianggap main-main doang." Asyila mengehentikan kegiatannya, menatap iba pada Abzali.

"Jangan kasihan dong, sahabat kamu ini tahan banting sama gituan. Aku itu punya beribu-ribu cara untuk menaklukan dia sang pujaan hatiku si bidadari cantik tapi muka garang." ia menaikkan tangan kanannya seolah memberikan semangat untuk dirinya sendiri. "Sebenarnya aku masih mau temanin kamu Syil, tapi sayangnya aku ada jam kuliah. Bye." Abzali berlalu, meninggalkan Asyila sendiri di meja kantin.

Asyila hanya mengedikkan bahunya, memilih mengetik tugas yang baru saja diberikan dosen beberapa jam yang lalu. Bisa sebenarnya pas di kost'an nanti tapi karena Asyila termasuk pecinta gratisan makanya menggunakan wifi kantin adalah keputusan yang terbaik.

Sekelebat kejadian beberapa waktu lalu kembali diingat Asyila, bukannya karena mengerjakan tugas yang cukup lama Asyila sampai lupa waktu? Dan akhirnya pulang agak terlambat dan kejadian itu terjadi. Sosok bayangan yang Asyila lihat di lorong kampus tentu masih ia ingat.

"Jika dokter itu memang benar jika mereka semua adalah musuh ayahku. Lalu dimana ayahku sekarang? Kenapa membuangku di panti? Engga mungkin. Ini tuh cuman akal-akalan dokter itu aja." Asyila menepis pikirannya, kedua orangtunya sudah meninggal sejak lama maka dari itu Asyila tumbuh di panti asuhan.

"Tapi bagaimana jika perkataan dokter itu benar? Apa aku harus datang ke panti untuk menanyakan langsung pada Bunda?" Bimbang, itulah yang benaknya rasakan. Perkataan Dokter Fransisco masih tergiang dalam benaknya

"Musuh ayahku" gumamnya, bagaimana mungkin musuh ayahnya sedangkan asal-usulnya saja tidak da yang tau bahkan di panti asuhan semua orang mengatakan bahwa dirinya sudah dirawat disana sejak lahir, tapi bunda kan tidak pernah menanggapi pertanyaannya?

Semenjak kejadian beberapa hari yang lalu, hatinya selalu takut akan sesuatu apalagi dengan nada mengancam seperti itu, keselamatannya sedang diincar apalagi tatapan tajam bayangan di bawah lampu itu masih tergiang jelas dalam ingatan Asyila.

"Dia menatapku seolah aku adalah incaran utamanya, tatapannya membuatku susah bergerak malahan harus meraup napas sebanyak mungkin. Apa yang telah terjadi sebenarnya?" Entah, ini seperti kejadian dari film yang dirinya selalu lihat dimana sang perempuan menjadi buronan karena kesalahan pria di Masa lalu. Tapi ini bukan film?

Asyila berusaha mengingat sesuatu yang janggal akan tetapi tidak ada yang salah,semuanya berjalan sebagaimana mestinya takdir inginkan.

Asyila mengedarkan pandangannya, badannya menegang tepat didekat pintu masuk kantin ada sosok yang menatapnya dari jauh, matanya seakan siap membunuh Asyila saat juga. Asyila ingin mengatakan sesuatu tapi rasanya pikirannya kosong.

Matanya membulat melihat orang itu menaikkan pistolnya dan tepat mengarah padanya. Tangan Asyila bergetar secara refleks menutup laptopnya, ingin berdiri tetapi kakinya terasa sangat berat, ingin meminta tolong mulutnya seolah dipaksa bungkam.

Asyila memejamkan matanya, tetapi setelah menunggu selama beberapa menit tidak terjadi apapun. Perlahan, perempuan yang memakai pashmina biru laut dipadukan dengan sweater hitam serta rok panjang berwarna senada dengan pashmina-nya membuka matanya.

"Lah? Kok hilang?" ujarnya, sosok itu menghilang disana."aku engga mungkin halusinasi kan?" lanjutnya lagi, Asyila menatap sekitar. Semuanya berjalan baik-baik saja seolah hanya Asyila-lah yang melihat orang itu.

"Apa nyawaku benar-benar dalam bahaya sekarang?"

***

"Aku ingin kalian membunuh anak Aditia dan Valaxie. Aku takkan pernah merelakan ataupun melupakan hal menyakitkan beberapa waktu lalu. Akan ku buktikan bahwa hidup Valexia akan hancur. " ucapnya sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru yang ada di ruangan itu

"Saat Valexia lebih memilih Aditia daripada aku, dan memilih pindah agama daripada keluarganya itu berarti dia bukan anggota keluarga Franch lagi. Kita bisa leluasa menghancurkan Valexia tanpa bantuan keluarga mafia itu lagi. "laki-laki itu tetap berusaha tenang sedangkan dalam dirinya emosinya sudah tak terkendali saat ingatannya berusaha kembali kedunia beberapa tahun lalu.

"Tapi bos,anak Valexia itu memiliki pengawalan dari jauh." Sela salah satu pria berpakaian hitam di pojok ruangan. "Salah satu anak buah saya yang ada di Indonesia hari ini ingin membunuh anak itu tetapi saat ingin melepaskan pelurunya, ada seseorang yang menariknya. Saat sadar dia sudah berada sangat jauh dari kampus anak itu." lanjutnya lagi.

Laki-laki itu hanya tersenyum samar mendengar penuturan salah satu bawahannya, tidak bisa di pungkiri seorang Valexia takkan pernah membiarkan putrinya bebas tanpa pengamatan apapun, mantan rekannya itu sekaligus Cinta pertamanya takkan pernah membiarkan anaknya terluka.

"Aku tau, sejak Valexia lebih memilih menuntun ilmu ke Mesir dan memulai kehidupan dengan agama yang baru serta penampilan entah apa itu. Sejak itu juga kata kasihan sudah tak melekat dalam diriku, siapa nama laki-laki yang memimpin pengawalan anak Valexia?" tanyanya tenang tetap berusaha mempermainkan mimik wajahnya

"Fransisco Arzkan."jawab asistennya yang berada tepat di belakangnya

Laki-laki itu berdiri dan memukul meja dengan cukup keras, wajahnya memerah tidak menyembunyikan wajah tenangnya lagi"bukankah anak itu sudah hengkang dari dunia gelap beberapa tahun lalu?bahkan keberadaannya sudah tidak pernah terdengar dimana-mana beserta dengan rekannya. Kenapa bisa dia berada di tempat yang sama dengan anak Valexia?" emosinya akhirnya meluap,

"Kami tidak tau bos, itulah data yang kami terima "jawabnya terbata-bata, keringat dingin mulai menhiasi dahinya.

Tepat setelah bawahannya mengatakan itu suara pistol berdenging di ruangan yang mereka tempati. Laki-laki yang sejak tadi menjadi pimpinan disana telah menembak pengawalnya tersebut,

"Seharusnya kalian tidak lupa, aku tidak suka menerima kata tidak tau."ia membawa langkahnya menjauhi ruangan yang membuat emosinya ingin meledak dan menganggap kejadian berberapa waktu lalu adalah hal biasa.

***

"Assalaamu'alaikum Asyila,"panggilnya sambil mengetuk pintu didepannya

"Wa'alaikumussalam, ehh kak Naila. Ada apa? "Tanyanya setelah membuka pintu kost-an nya

"Kita pengajian yuk. Kaka tidak terima penolakan ambil mukenahmu kita berangkat ke mesjid."Asyila hanya bisa menganggukkan kepalanya lalu masuk dengan langkah lesu mengambil mukenahnya

Naila hanya tersenyum melihat tingkah Asyila.

"Naila kaka titip Asyila padamu, tolong bawa dia kembali ke sisi Allah lagi. Kaka tidak bisa melakukan itu karena sesuatu hal, bawa dia kembali seperti dulu seperti Asyila yang kita kenal"

Perkataan kakak iparnya kembali tergiang dalam ingatan Naila, apapun akan Naila lakukan demi kebaikan ke ponakannya meskipun harus mengorbankan nyawanya sekalipun.

Nächstes Kapitel