"Aku sepertinya salah dengar, menikah bukan berarti bisa menormalisasikan keadaan Mas. Apalagi Mas pernah bilang tidak mau menikah, masa kita menikah buat main-main?" ucap Gendis. Gendis menganggap ucapan Erik barusan seperti angin lewat saja, tidak mungkin rasanya ketika Erik ingin menikahi Gendis sementara Erik belum tentu mencintainya. Gendis tidak mau terjebak dalam hubungan yang terlalu memaksakan, ia memiliki mimpi yang tinggi soal pernikahan. Di mana ia merasa dicintai oleh pria yang juga Gendis cintai, merasa dijaga dan terus bersama lalu berjuang bersama.
"Saya serius."
"Aku juga serius, maaf Mas ... Aku nggak bisa." jawab Gendis
"Memang salah saya jatuh cinta padamu?" ucap Erik tiba-tiba
Tidak salah, waktunya terlalu cepat. Tapi bukankah Gendis senang karena artinya cintanya terbalas, Gendis ragu— takut Erik mengatakan hal ini hanya spontanitas saja. Hanya sebatas kasihan, sehingga ketulusan tidak bisa Gendis rasakan. "Mas bilang nggak mau menikah, jilat ludah sendiri?"
"Bukan tidak mau Ndis, sudah berapa kali saya katakan. Semua orang bisa berubah, begitu juga dengan saya. Apa salahnya saya menjalin hubungan lagi?" Erik mulai kesal. Gendis selalu membahas perkataan beberapa waktu yang lalu, Erik menyesal kenapa kata-kata itu harus keluar dari bibirnya. Sekarang ia jadi kesulitan mendekati Gendis, kali ini Erik serius mengajak menikah bukan semata-mata rasa kasiham. Erik sudah berpikir sejak sebulan yang lalu, masih ragu saat itu dan kini mencoba meyakinkan kembali kalau Gendis memang cocok menjadi teman hidupnya. Mereka sama rapuhnya, mereka pasti bisa sembuh karena dukungan satu sama lain.
Persoalan tidak ingin menikah, sebuah kata spontanitas untuk memancing reaksi Gendis. Malam di mana mereka makan malam bersama sejujurnya menjadi malam yang membahagiakan untuk Erik, ia jadi lebih dekat dengan Gendis— jadi sedikit mengetahui tentang kehidupan Gendis yang sebenarnya. Perlu diketahui kalau Gendis salah satu perempuan yang berhasil membuat Erik bangkit pasca kecelakaan yang menimpanya, disaat semua orang menjauh hanya Gendis yang mendekat. Bukan karena Gendis bekerja dengannya, alasan lain yang memperkuat jawaban Erik. Gendis tidak menyerah begitu saja, padahal Erik merubah sifatnya menjadi menyebalkan berharap Gendis tidak mau menjaganya lagi.
"Ndis, saya sudah baik padamu, memberimu laptop, memberimu bubble milk tea, mengajak makan malam bersama. Apa lagi yang kurang?"
"Ih, Mas kok malah ungkit kebaikan sih?"
Erik berdecak. "Kamu selalu membahas keburukan saya, kebaikan tidak kamu bahas. Saya kesal mendengarnya."
"Ya deh, maaf. Mas, menikah bukan untuk main-main."
"Siapa yang main-main, kamu kenapa nggak pernah sadar dengan sikap saya selama ini? Saya mencoba dekat, bahkan saya merasa kehilangan saat kamu terbaring di ICU. Masih kurang kalau saya serius?" Sorot mata Erik begitu tajam menatap Gendis, mungkin Gendis akan merasakan bahwa Erik mengintimidasinya. Tiba-tiba saja Gendis menutup wajah Erik dengan tangannya, Erik mengerjapkan matanya.
"Jangan melotot. Serem, kaya lagi interograsi." ucap Gendis
Erik melepaskan tangan Gendis, ia mengalihkan pandangannya. "Saat mengetahui kamu ingin mengakhiri hidupmu, saya mendadak seperti patung, saya mendadak sakit kepala dan tidak habis pikir bagaimana bisa ini terjadi padamu. Kejadian itu membuat saya sadar, sepertinya saya harus menjagamu." Erik menyenderkan kepalanya di sofa, meraih tangan gendis lalu digenggam erat. "Saya jatuh cinta padamu saat itu juga, kamu berbeda."
Setelah mendengar ucapan Erik— Gendis bergeming. Merasa bingung apakah Erik mengatakan dengan keadaan sadar, bukan hanya Erik yang merasakan demikian. Gendis juga, ia sudah jatuh cinta hanya saja memilih diam dan menyadari satu hal Erik berbeda dengan dirinya. Erik akan mencari perempuan yang lebih daripada Gendis. Gendis memang sempat marah, cemburu tatkala Erik bersama Erika. Marah ketika Erik sama sekali tidak menyadari, ucapan makan malam waktu itu sangat menyakiti hati Gendis. Erik egois, pria itu ingin selalu bersama Gendis meski nantinya mereka memiliki keluarga baru. Tindakan Erik hanya akan memperburuk keadaan, malam itu Gendis hanya mengiakan namun tak berjanji. Makan malam bersama menyadarkan Gendis untuk tidak berharap terlalu banyak pada Erik, perlahan Gendis menyerah dan bersikap biasa-biasa saja. Gendis memulai melupakan keinginan bersama Erik semenjak berada di rumah Ami, kembali menganggap Erik sebatas bos dan orang yang harus ia jaga. Tidak lebih dari itu.
"Mas Erik lagi demam ya?" Gendis memancing Erik, sejauh mana pria itu akan mengatakan kata-kata yang meyakinkan Gendis.
"Ndis, saya lagi serius kenapa malah diajak bercanda?"
"Siapa yang bercanda, aku tanya Mas." sahut Gendis
"Saya nggak demam, puas?" kesal Erik
Gendis terkekeh. "Jangan marah-marah, coba senyum deh Mas," Gendis meraih wajah Erik, jemarinya bergerak membentuk bibir Erik seperti sedang tersenyum. "Nah kan, kalau gini nggak serem. Serius banget sih Mas hidupnya."
Erik menghela napasnya. Sepertinya ia harus sabar menghadapi Gendis, atau sengaja sedang mengerjainya. "Gimana Ndis, apa ada cara lain agar kamu semakin yakin?"
Gendis tersenyum hangat sembari menepuk-nepuk tangan Erik, rasanya sudah cukup. Mungkin keduanya memang memiliki perasaan yang sama hanya saja takut untuk saling mengungkapkan, hingga akhirnya salah satu dari mereka memilih mengatakan lebih dulu barangkali setelah ini lawannya berani mengungkap hal yang sama. "Kasih Gendis waktu ya, Mas."
"Boleh, terima kasih ..." Erik merasa lega luar biasa setelah mengungkapkan perasaan yang terlalu lama ia pendam, Erik memeluk Gendis sangat erat. Perjalanan mereka dimulai dari hari ini. "Kamu tidak sendiri lagi, saya akan menjadi pendengar setiamu jangan ragu untuk bercerita." bisik Erik
Gendis mengangguk— memberanikan diri membalas pelukan Erik meski sejujurnya hati Gendis sangat berdebar tapi bahagia. "Terima kasih Mas, sudah membalas perasaan Gendis." bisik Gendis
Membuat Erik melepaskan pelukan mereka. "Jadi selama ini?"
"Selama ini kita memiliki perasaan yang sama, tapi tidak mau mengakui." balas Gendis
"Ya, disisi lain takut nantinya akan menerima sebuah penolakan. Mengungkapkan perasaan tidak semudah saat kita berbicara."
Tidak perlu ragu harusnya, memikirkan secara matang itulah yang nantinya Gendis lakukan. Ia yakin Erik mau menunggu sampai mendapatkan jawaban.
"Saya lapar banget,"
"Belum makan? Bawa obat nggak?"
"Belum. Obatnya lupa dibawa, seharian kepikiran kamu terus. Saya kangen makanya langsung ke sini." jawab Erik
"Obat lebih penting, aku nggak mau ketemu ya, kalau Mas lupa minum obat!"
"Iya-iya. Baru sekali doang, santai saja Bu Erik."
Astaga. Gendis rasanya melayang hanya karena panggilan dari Erik, dasar perempuan!
"Mau dibuatin apa?"
"Mie instan aja, pakai cabai yang banyak. Terus makan di dekat kolam renang." jawab Erik
"Oke, tunggu sebentar."
Erik ikut bangkit hendak mengambil minuman, mengambil kerupuk sebagai tambahan lauk. Erik menyempatkan diri mengamb ponselnya, ada satu pesan ia segera membacanya.
Senin ke kantor polisi, ada info baru mengenai kecelakaanmu. -Anton-
Oke
Erik kembali menutup ponselnya, akhirnya kasus kecelakaan Erik kembali diproses oleh pihak kepolisian setelah Erik mengadu.
***
Menikmati mie instan rebus buatan Gendis, ada dua mangkuk mie ditemani angin dan suara jangkrik. Lampu di kolam renang tidak terlalu terang karena berwarna kuning. Sudah lama ia tidak menikmati makanan buatan Gendis, terakhir saat Gendis membuatkan bubur kacang dan rasanya enak menurut Erik. Saat itu ia tidak memuji, nanti Gendis semakin percaya diri. Mereka makan di dekat kolam renang, kaki mereka menyentuh air.
"Lapar banget Mas?"
"Iya, nggak makan di pesawat. Nggak suka." jawab Erik
"Pantesan. Enak nggak?"
"Enak. Kamu pasti baru makan?" tebak Erik
"Iya. Malas banget,"
Berarti ucapan Ami benar, nafsu makan Gendis sedang tidak stabil. "Makan biar nggak sakit. Ndis masih ingat orang tua?"
"Iya. Masih Mas, pelan-pelan pasti terbiasa kok."
"Kuliah lagi ya,"
"Lihat nanti Mas, jangan dipaksakan ya, Mas. Kesehatan mentalku jauh lebih penting, aku tidak mau terjatuh untuk kedua kalinya. Aku rela kehilangan pendidikan asal kondisi mentalku baik." jawab Gendis
"Iya. Saya paham."
Mereka kembali menyantap mie instan, keheningan menyelimuti keduanya. Perasaan Erik saat ini sangat lega setelah mengungkapkan isi hatinya.
"Pantesan rumah sepi banget, ternyata lagi pacaran."
Keduanya menoleh, ada Anggara dan Ami di sana. Kedatangan mereka cukup mengejutkan, mengira akan pulang larut malam ternyata dugaan Gendis salah.
"Embak ..."
Itu suara Aurora memanggil Gendis.