Terpaksa harus menduga-duga sendiri setelah melontarkan pertanyaan tentang kerinduan, antara malu menjawab atau memang tidak saling rindu. Mencoba mengabaikan, memilih mengajak jalan-jalan dan terpaksa Erik menunggu di lantai bawah sedangkan Gendis mengambil kursi roda, keduanya tak jadi naik ke atas karena Erik mengajak Gendis jalan-jalan sekitar apartemen. Mereka butuh waktu berdua setelah setengah bulan lebih saling berjauhan, tak bisa memungkiri kalau sebenarnya ada rindu. Rindu dengan kecerewetan keduanya, rindu Erik yang selalu membuat kesal. Terlihat aneh, kenyataan tak bisa menepis.
"Ndis, ini kenapa manis banget bobanya?"
"Mas sendiri yang bilang agak manisan, gimana sih?"
"Kapan saya ngomong gitu, ngawur kamu!"
"Mas, rasanya pengen tak hih,"
"Ganti minumannya!"
"Iya tuan raja,"
Sekilas adu argumen kembali mengingatkan Gendis beberapa bulan yang lalu, wajar rindu meski kesal tapi Erik sosok pria yang baik hatinya. Walau banyak komplain tapi tetap menghargai kerja keras Gendis, ketika membeli makanan harus ada makanan lain untuk Gendis, membeli minuman harus dua cup. Erik tidak mau menikmati makanan sendirian, membuat Gendis betah bekerja dengan Erik.
"Aku sama Mas Erik jalan-jalan dulu," ucap Gendis pada penghuni apartemen Fre.
"Mau kemana?"
"Jalan-jalan sekitar apartemen doang, Mbak Fre,"
"Hati-hati ya, kalau ada apa-apa langsung telepon."
"Siap." sahut Gendis lalu permisi dengan mereka sembari membawa kursi roda milik Erik. Menurut Gendis, kaki Erik baru bisa bergerak artinya harus hati-hati dan Gendis berinsiatif membawa kursi roda agar Erik tidak terlalu banyak jalan.
"Temu kangen ya, Ndis?" tanya Anggara sedikit menggoda.
"Eh, nggak kok Mas." Gendis menjawab perkataan Anggara sedikit malu-malu.
"Cie Gendis ..." Ami ikut menimpali.
Nampaknya mereka sengaja menggoda Gendis, ia sangat malu dan langsung pamit dari hadapan mereka. Membawa kursi roda di hadapan Erik padahal Erik menolak tapi Gendis memaksa, akhirnya Erik duduk. Ada satu sifat yang harusnya bisa Erik ubah, sifat kerasnya karena tidak semua hal yang menurutnya baik, Gendis menyetujui hal serupa.
"Ndis, saya malas pakai kursi roda."
"Berisik." sahut Gendis dengan nada penuh ketegasaan.
"Kamu jadi galak sekarang,"
Gendis terkekeh. "Sama orang keras kepala harus galak." jawab Gendis mendorong kursi roda, membawa jalan-jalan Erik sekitar apartemen. Apartemen Fre terbilang sangat lengkap ada kolam renang, sarana olahraga, taman buatan yang tentunya sangat nyaman unyuk menghirup udara bersih pagi hari. Suasana apartemen sedikit sepi, bukan hari minggu dan banyak penghuni apartemen pergi bekerja atau berangkat sekolah.
Semilir angin menerpa wajah keduanya, ada perasaan yang tak bisa mereka ungkapkan, bermain dengan pikiran. Takut dengan kenyataan, semua tampak khawatir. Khawatir tak bisa membahagiakan satu sama lain, keduanya memilih duduk di dekat kolam renang mengusir pikiran yang beberapa bulan ini begitu mengganggu.
"Mau belajar jalan ..." ucap Erik tiba-tiba
"Boleh, ayo," Gendis membantu Erik bangun, setelah berhasil ternyata Erik tak mau menggunakan tongkatnya.
"Ndis, berdiri di depan saya,"
Gendis menuruti, memperhatikan setiap gerak-geriknya langkah Erik— menyuruh Erik agar pelan-pelan saja. Gendis terkejut, tiba-tiba Erik melangkah ke arahnya lalu memeluknya.
"Hampir jatuh," ucapnya
"Modus banget," Gendis terkekeh geli. "Nyuruh aku berdiri di depan biar bisa meluk, ya, ngaku?" tangan terpaksa terulur membalas pelukan Erik. Tidak ada niatan mencari kesempatan hanya taku mereka kehilangan keseimbangan.
"Saya kangen kamu, jangan balik ke Surabaya." bisik Erik
Membuat Gendis tersenyum tidak jelas, tak berani melepaskan diri karena merasa malu. Melirik kanan-kiri takut ada Fre, Anggara atau Ami yang melihat pelukan mereka.
"Kok diam?"
"Malu," kini Gendis memilih menunduk setelah pelukan mereka terlepas.
"Malu-malu meong, ke tempat Ibu sama Bapak, Bude yuk," ajak Erik setelah puas memeluk tubuh mungil Gendis.
"Bapak, Ibuku?"
"Iyalah,"
"Mas nggak apa-apa? Kan lagi belajar jalan?"
"Buat apa belajar terus, sudah bisa jalan kok. Kamu lihat nih,"
Gendis mengerjapkan matanya berkali-kali memastikan apa yang ia lihat benar, Erik berjalan tanpa menggunakan tongkat. Langkah sedikit cepat dari barusan, rasanya bahagia melihat Erik sembuh. "Wah, Mas Erik hebat!" puji Gendis
Erik hanya membalas dengan senyuman kecilnya, bisa berjalan salah satu impiannya agar ia kembali beraktivitas seperti biasa. Balapan, bekerja kembali. Erik menyuruh Gendis mendekatkan kursi roda, sore ini akan mengajak Gendis ke tempat orang tuanya. Gendis harus bisa menghadapi hidupnya seperti semula meski tidak ada keluarga.
"Naik taksi aja nanti,"
"Yakin?" Gendis memastikan
"Ya. Ndis ..."
"Ya, Mas?"
Erik terdiam sejenak. Ia suka sekali dengan suara Gendis memanggil kata mas untuk dirinya, terdengar sangat lembut. Lembut karena Gendis sendiri katanya keturunan jawa, menurut beberapa teman-teman Erik— perempuan jawa memang sangat halus ketika berbicara, apalagi kalau mereka lahir di daerah Yogyakarta, solo. Tak hanya itu katanya memang tak semua bisa terdengar halus, tapi untuk mendengar perempuan jawa berbicara halus masih mudah untuk dicari. Mungkin Gendis salah satunya.
"Dinner yuk,"
"Dinner itu apa, Mas?"
"Kamu nggak tahu?"
"Nggak."
Gendis sangat polos. Erik mengira Gendis mengerti bahasa Inggris. "Kamu kemana aja selama kuliah? Masa bahasa Inggris dinner aja nggak tahu artinya,"
"Gendis paling bodoh pelajaran bahasa Inggris Mas, maklumi dong." sahut Gendis
"Kamu harus pintar bahasa Inggris, kalau lulus enak cari kerja karena kamu punya kelebihan."
"Siap Pak bos!" sahut Gendis disela-sela langkah mereka.
"Jadi?"
"Apa?"
"Kok nggak dijawab? Saya ajak kamu dinner,"
"Ohalaa ... Mas, Mas. Gendis bingung mau jawab apa, Mas nggak kasih tahu artinya."
Erik mengembuskan napasnya. Pantas saja lama sekali Gendis menjawab. "Makan malam Ndis, saya ajak kamu makan malam."
"Ngomong dong dari tadi, seriusan nggak?"
"Emang tampang saya ada bohongnya?"
"Nggak ada, ya, deh. Gendis mau," jawab Gendis
Diam-diam Erik tersenyum. Tak perlu butuh waktu lama ia mengambil ponsel lalu mengirim pesan pada seseorang, tangan satu ia gunakan untuk memegang tongkat miliknya. Setelah mengirim pesan pada seseorang, Erik kembali mengecek pekerjaan. Satu laporan penjualan masuk melalui email, memiliki bisnis tidak mudah dan sengaja menutupi hanya Anggara yang tahu karena pria itu turut ikut campur mengenai keuangan. Dulu, Erik pernah punya kafe lalu bangkrut dan bangkit karena pertolongan Anggara. Tidak banyak yang tahu bahkan mamanya nyaris tak tahu, mama tidak terlalu peduli dengan anak-anaknya terlalu fokus dengan keluarga barunya. Tak ada maksud menutupi, hanya saja Erik ingin menjadi orang biasa aja tak perlu teman-teman tahu apa pekerjaan Erik. Sama halnya seperti papa Anara yang mungkin saat ini menyesal melepaskan Anara darinya, mereka berpikir Erik adalah pria miskin. Sayangnya sejak lulus kuliah Erik sudah menjadi pekerja keras, menghadapi pasang surut dunia bisnis yang kejam.
"Ndis apa kabar?"
"Baik, Bu," jawab Gendis pada perempuan paru baya yang mereka yakini tetangga bude. Jarak rumah bude tidak jauh, hanya beda gang saja. Erik meminta Gendis bertemu bude lebih dulu sebelum pergi ke pemakaman.
"Ndis, maaf banget ya, menurut Ibu harusnya perbanyak belajar agama. Kamu masih muda, masa mau bunuh diri?"
Gendis tersenyum tipis. Kabar tentang dirinya ternyata sudah didengar orang banyak, menyedihkan sekali rasanya. "Iya Bu, terima kasih ..."
"Bunuh diri bukan jalan keluar, kasihan sama keluargamu yang lain."
"Iya Bu," Gendis mencoba mengembuskan napasnya setelah perempuan paru baya itu pamit dari hadapan Gendis.
"Benar tuh Ndis kata Bu Ike, kaya nggak punya agama aja kamu ini,"
Ada lagi. Kali ini tetangga sampai rumah bude, Gendis memaksakan tersenyum di hadapannya meski hatinya sangat sakit. Tak ada seorang pun tahu, kejadian lalu buka keinginan Gendis. Andai semua orang tahu perasaan hancur Gendis saat itu. "Iya Bu, kami permisi ..."
Gendis kembali mendorong Erik menuju rumah bude.
"Kalau tahu seperti ini lebih baik kamu berada di Surabaya, lebih aman." ucap Erik
"Aku nggak apa-apa, Mas."
Jawaban Gendis tidak membuat Erik tenang begitu saja.
***
Malam yang dijanjikan setelah bertemu bude, mampir ke tempat orang tua lalu pulang ke apartemen menyiapkan diri untuk makan malam berdua. Sampai di apartemen tentu saja sudah diberikan pertanyaan dari keluarga Erik, mungkin terkejut melihat pakaian mereka yang sangat rapi. Erik memakai kemeja warna cokelat muda senada dengan celana sedangkan Gendis memakai kemeja warna hitam bercorak kotak-kotak, berlengan panjang, memakai celana jeans panjang.
Mereka berada di salah satu restoran tak jauh dari apartemen, sebuah restoran cukup mewah bahkan meja mereka ditaburi kelopak mawar. Padahal hanya ingin makan, banyak sekali tampilan yang membuat Gendis bingung.
"Suka nggak Ndis?"
"Suka, terima kasih sudah mengajak Gendis ke sini." balas Gengis
"Santai aja," tiba-tiba Erik membuka tas gendong miliknya, mengeluarkan sesuatu. "Kamu pakai laptopnya, buat persiapan skripsi. Saya tahu laptopmu eror kan?"
Gendis belum menerima. "Aman kok, sok tahu. Maaf Mas, bukan mau menolak tapi ini berlebihan."
"Nggak apa-apa, anggap aja hadiah. Belinya sudah lama tapi bingung kapan mau kasih ke kamu,"
"Gendis nggak butuh apa-apa dari Mas, terpenting Mas sembuh dan gajian Gendis lancar." Gendis mengembalikan laptop dari Erik.
"Saya sedih. Padahal untuk membeli laptop ini tidak mudah, harus menaiki kursi roda dari Axel. Jalan ke mal sendiri tanpa bantuan siapapun lalu kamu menolaknya,"
"Nggak gitu Mas ... Maaf," Gendis menunduk tapi ia memiliki alasan lain, tak enak hati menerima pemberian mereka. Keluarga Erik terlalu baik, Gendis tahu sebenarnya laptop sangat ia butuhkan. "Mas jangan marah ya,"
"Kecewa."
"Ish, Mas ..." Gendis penggerakan tangan Erik.
"Terima dulu,"
Gendis menggeleng.
"Ndis tolong ... Kamu nggak menghargai usaha saya?"
Gendis terdiam sebentar. Ia menimbang-nimbang sebelum memberi jawaban. "Nunggu laptop rusak, nggak bisa nyala baru aku ambil. Mas simpan dulu. Gimana?"
Erik mengiakan permintaan Gendis, terpenting barang pemberiannya diterima. Erik berhasil menangkap tangan Gendis. Sebelum makanan mereka datang, Erik ingin sekali mengucapkan sesuatu yang sudah lama ia simpan. "Saya tidak tahu perasaan apa sebenarnya, Ndis ... Disisa hidup saya, tolong teruslah bersama saya. Jangan berpisah, meski nantinya kamu memiliki suami. Saya hanya ingin terus berhubungan sama kamu, tidak mungkin kita bisa bersatu. Saya cacat, kamu mana mau dan rasanya kamu berhak bahagia. Kamu nggak keberatan permintaan saya satu ini, Ndis?"
"Harus banget ngomong cacat?"
"Memang kenyataannya Ndis, suatu saat nanti saya memilih tidak menikah karena tidak ingin membebani orang lain." jawab Erik
"Aneh. Mas terlalu egois, mematahkan harapan orang lain yang sebenarnya sedang jatuh cinta dengan Mas, ingin hidup bersama dengan Mas Erik. Harusnya Mas bisa lebih semangat dari ini!" tiba-tiba Gendis ingin marah di depan Erik. "Apa salah jatuh cinta dengan orang cacat? Gendis rasa tidak salah, Mas terlalu mudah menyerah padahal bisa saja bulan depan Mas bisa sembuh total." balas Gendis
Rasa lapar mendadak hilang hanya karena ucapan Erik.