webnovel

Bagian 13

Setengah bulan berlalu semenjak keluar dari rumah sakit, berusaha untuk bangkit melawan ketakutan yang terus menghadang. Setengah bulan setelah tak lagi diinfus mencoba melihat dunia sesungguhnya, mencoba datang di tempat peristirahatan orang tuanya, dua adiknya. Masih sesak, tangis tak tertahankan melihat tempat orang tuanya. Bunga-bunga yang mulai layu, tanah perlahan mengering. Kenyataan yang paling pahit adalah soal kematian, melihat mereka rasanya Gendis menyesal saat gantung diri ia tidak mati. Tapi lagi-lagi Mawar, bude dan satu orang yang hari ini menjadi pelindungnya terus memberi energi positif untuk Gendis.

Gendis berada di Surabaya, tinggal di rumah mewah lantai dua. Di tempat ini Gendis mulai kehidupan yang baru, sempat menolak hingga akhirnya keluarga ini begitu pintar merayunya ditambah bude mengizinkan. Ami dan Anggara dua manusia berhati malaikat yang mengizinkan Gendis untuk menyembuhkan lukanya, setiap harinya ia seperti memiliki keluarga baru di sini. Ada gadis kecil berumur satu tahun, Ami— istri Anggara yang setia menemani Gendis, menjadi teman untuk bercerita.

Gendis membuka matanya, mengembuskan napasnya pelan. Ia baru saja melakukan yoga bersama Ami, Gendis melirik Ami yang ikut membuka matanya.

"Gimana Ndis? Enak?"

Gendis mengangguk, sejujurnya kondisi tubuh Gendis jauh lebih membaik. Ami mendekati Gendis, Gendis dapat merasakan Ami menggenggam tangannya.

"Manfaat yoga banyak Ndis, salah satunya Mengurangi stres. Hampir semua jenis olahraga dapat membantu seseorang mencegah dan mengatasi depresi, begitu juga dengan yoga. Setidaknya jiwa dan ragamu merasa nyaman, Ndis." jelas Ami membawa Gendis bangkit lalu duduk di dekat kolam renang milik mereka, menyuruh Gendis menceburkan kakinya ke air. Air selalu membuat nyaman untuk tubuh, Ami tersenyum melihat keadaan Gendis hari ini meski Gendis baru cerita sedikit tapi Ami berjanji akan terus menemani pujaan hati adik iparnya.

Mengapa mengatakan pujaan hati adik iparnya? Melihat gerak-gerik keduanya membuat Ami yakin mereka sedang memendam perasaan masing-masing, Erik yang takut mulai suatu hubungan dengan kondisi sekarang dan Gendis dilema dalam rasa karena belum tentu Erik menyukainya. Hukum alam sekali ketika perempuan atau pria tiba-tiba merasa minder hanya karena status tertentu, misal wajah yang kurang menarik, perbedaan kasta seolah menjadi hal penting atau syarat dalam sebuah hubungan. Padahal mulailah sebuah hubungan karena hati suka sama suka, hilangkan sejenak karena ketika kita berada di bawah tentang ekonomi masih bisa bekerja, wajah kurang menarik masih ada kosmetik untuk merubah wajah kita. Semua ada jalan keluarnya, sayangnya manusia jarang menyadari.

"Gendis sebenarnya nggak ada kepikiran mau gantung diri, cuman saat itu pikiran Gendis berantakan Mbak. sekarang Gendis malu mau masuk kampus, pasti dibilang nggak punya iman gara-gara mau bunuh diri," ucap Gendis sembari menunduk.

"Bunuh diri dan keimanan dua hal yang berbeda, semua orang pernah mengucapkan tanpa sadar keinginan bunuh diri dan hal itu harus disembuhkan. Bunuh diri bukan jalan keluar, sekuat apapun iman kita kalau keinginan itu terus mendorong maka tidak bisa dicegah Ndis. Mbak yakin imanmu kuat, hanya saja kamu tak kuat dengan kondisimu sekarang. Terlalu mengejutkan, betul?"

Gendis mengangguk, menggerakan kakinya di dalam air. Sangat menenangkan.

"Depresi salah satu penyebab keinginan bunuh diri tapi bunuh diri sebetulnya bukan keinginan seseorang untuk mati, namun keinginan untuk melepaskan diri dari rasa sakit. Rasa sakit yang ia tanggung sendirian dan tak mampu ditolong oleh orang lain. Kamu berada difase ini, ketika kamu gagal artinya stop untuk mengulangi mencari cara lain yaitu kamu harus mengobati depresimu ke psikologis. Mbak akan menemanimu, Ndis ..."

Gendis rasanya ingin menangis, betapa baiknya Ami. Gendis rasa tak cukup hanya sekedar mengucapkan terima kasih. "Terima kasih Mbak Ami dan Mas Anggara ..."

"Kamu nggak sendiri, masih ada kita semua termasuk Erik,"

"Kok Erik terus sih Mbak?"

Ami terkekeh. "Kalian lagi dekat kan?"

"Nggak Mbak, dekat karena Gendis kerja sama Mas Erik." jawab Gendis

"Kirain, omong-omong dekat juga nggak apa-apa. Mas Angga dan Mbak dukung kok,"

Gendis mengembuskan napasnya. "Mas Erik mana mau sama Gendis, seleranya tinggi. Rian aja ninggalin Gendis dan cari yang lebih baik, laki-laki itu sama aja Mbak ..."

Ada satu fakta lain tentang Gendis, pernah ditinggal pas masih sayang. "Rian sekarang jadi dokter terus ninggalin kamu, suatu saat nanti kamu dapat lebih dari dokter yaitu pengusaha,"

"Aamiinin jangan Mbak?"

"Iyalah!"

Gendis tergelak. "Mbak Ami kenapa baik banget sama Gendis?"

"Sudah seharusnya Ndis, kamu berada difase paling bawah. Aku wajib menolongmu agar tidak tenggelam semakin dalam,"

"Biar Tuhan yang membalas kebaikan kalian,"

Ami mengamini, setelah ini Ami tidak mudah melepaskan Gendis begitu saja atau kembali ke rumahmya. Rumah itu menyakitkan bagi Gendis, Ami takut ketika rasa sakit itu datang Gendis kembali nekat. Mereka memilih masuk untuk membersihkan tubuh, mereka melakukan yoga sebelum matahari terbit.

"Mi, Ndis sini,"

Ami dan Gendis serempak menoleh ada Anggara bersama anaknya duduk di sofa sembari menelepon seseorang, keduanya mendekati.

"Sini Ndis duduk,"

Gendis menuruti tiba-tiba layar ponsel Anggara mengarah ke Gendis, Gendis terkejut ada wajah Erik di sana. Wajah yang setengah bulan jarang ia lihat, hanya sekilas lalu layar ponsel kembali berubah menjadi warna hitam

"Erik nanya mulu, disuruh telepon sendiri nggak mau," ucap Anggara

"Malu kali," sahut Ami

Gendis tersenyum malu-malu mengembalikan kembali ponsel Anggara, belum sempat saling bicara tapi sudah memutus panggilan sepihak.

"Lah, kok mati? Dasar bocah," Anggara menggeleng tak percaya. "Padahal tadi nanya kamu terus Ndis, tanya kabar,"

"Keadaanku sekarang baik-baik saja Mas, mendingan karena Mbak Ami selalu memberi energi positif," jawab Gendis

Terlihat Anggara tersenyum senang, keputusan membawa Gendis ke Surabaya sangat tepat. Gendis butuh pengobatan untuk mentalnya.

***

Ada dua hal yang membahagiakan yaitu Gendis keluar dari rumah sakit, balutan pada kaki Erik sudah terlepas. Bulan ke empat tepatnya, Erik sudah diperbolehkan berjalan secara pelan-pelan jika merasa sudah bisa. Dokter menyarankan agar melakukanya tidak terlalu sering karena bahaya untuk kakinya, Erik bisa berjalan menggunakan tongkat sebagai alat bantu. Setengah bulan tanpa Gendis, jarang berkomunikasi karena Erik takut menjadi pengganggu untuk Gendis. Ia hanya mendapatkan kabar dari Ami atau Anggara.

"Rik, ini ada buah sama susu kedelai dari Mama Saya,"

"Terima kasih Mas ..." Erik menyuruh Axel— kekasih dari adiknya menaruh barang di atas meja. Meski Erik adalah kakak dari Fre tapi ia enggan dipanggil mas, abang atau lainnya justru ia memanggil Axel dengan sebutan mas karena umurnya jauh di atas Erik.

"Bagaimana keadaanmu?"

"Baik, masih belajar jalan,"

"Gendis?"

"Di Surabaya," sahut Erik

Axel mengangguk paham, memilih permisi untuk kembali ke apartemen. Ia baru saja mengantar Fre pulang sembari memberikan buah dan susu kedelai dari mamanya untuk Erik.

Erik memilih masuk ke dalam kamarnya, duduk ditepi ranjang sembari memainkan ponselnya ada satu pesan dari Gendis.

Kabar Gendis baik-baik aja Mas, tenang aja. 😘

Ya ampun salah emot. Maksudnya mau emot ini 😁, maaf ya

Erik diam-diam tersenyum, mencoba menghubungi Gendis melalui video call dan ternyata langsung diangkat oleh Gendis.

"Halo Bapak Erik,"

Erik masih diam, bingung mau bicara apa.

"Hoi! Kok diam?"

"Apa kabar?"

"Baik, Mas?"

Sudah tahu keadaan Gendis baik, masih saja bertanya soal kabar. "Baik," Erik memegangi ponsel sembari tiduran.

"Gendis di sini seperti dijaga sama Mas Angga dan Mbak Ami,"

"Baguslah, ada kabar baik,"

"Apa?"

"Saya bisa jalan tapi harus hati-hati,"

Terlihat wajah Gendis sumringah mendengar perkataan Erik. "Demi apa?"

"Demi kamu,"

"Serius Mas,"

"Iya." Erik bangkit berdiri, kamera ponselnya mengarah ke kaki Erik memperlihatkan cara ia berlana.

"Akhirnya ... Selamat Mas, Gendis senang mendengarnya. Semangat terus!"

"Iya Ndis," Erik kembali duduk. "Ndis, cepat pulang dan jangan tinggalkan saya lagi ..." ucap Erik sebelum menutup sambungan telepon mereka. 

Nächstes Kapitel