webnovel

Part 22

Delvis pamit pulang pada Zalfa. Dia tadinya ingin menginap, tapi karena deadline dipajukan lebih awal, Delvis tidak punya pilihan.

"Abang, nanti kalau besok kecapean, jangan ke sini gak apa-apa. Nanti, aku mau minta pulang aja sama Dokternya." Zalfa tidak tega melihat Delvis sangat kelelahan.

"Iya, nanti kabarin aja, kalau Kamu udah boleh pulang, tapi ingat. Harus seijin dokter, bukan karena Kamu maksa pengen pulang."

"Siap Abang." Zalfa mengangkat tangannya dan di tempelkan ke ujung pelipisnya, persisi seperti orang yang sedang hormat.

"Baik-baik ya," ucap Delvis sembari mengusap puncuk kepala Zalfa.

Dewan diam saja, dia melihat interaksi antara Zalfa dan Delvia yang terlihat sangat lucu, seperti kakak dan adik. Menurutnya, Zalfa memang patut untuk disayangi, selain karena menggemaskan, Zalfa juga anak yang baik, malah baik banget. Terlepas dari masalahnya mengejar-ngejarnya Figo seperti orang tidak waras, seperti tidak ada laki-laki lain, yang lebih ganteng dan lebih segalanya dari Figo.

"Dewan, jangan kebanyakan bengong. Kamu kalau kelelahan, pulang aja. Biar Saya yang jaga Zalfa." Delvis takut Dewan memang benar-benar butuh istirahat, apalagi memar di wajahnya belum sepenuhnya sembuh, Delvis sih tidak masalah, jika memang Dewan tidak bisa, dua siap saja menggantikan untuk menjaga Zalfa. Mungkin, Delvis akan pulang dulu sebentar, lalu kembali lagi ke sini.

Dewan melirikkan wajahnya ke arah Delvis, kemudian melirikkan mata ke Zalfa, dan kembali beralih pada Delvis, kemudian berbicara.

"Zalfa itu, kalau tidur ngorok banget, pokonya berisik, cuma lagi mikirin nanti gimana caranya, bisa tidur nyenyak aja di sini."

Dewan berucap tanpa merasa bersalah sedikitpun.

"Hey... Kalau bicara jangan asal ya, orang gak pernah ngorok kok." Zalfa merasa dirinya kalau tidur itu bibirnya mengatup, mana ada ngorok.

"Kalau gak percaya, nanti Gue vidioin, sekalian dikirim ke grup deh, biar Figo tambah males lihat Lo," ujar Dewan ngegas.

"Saya permisi."

Delvis tanpa banyak acara lagi, langsung pergi, keluar dari ruangan itu. Membuat Zalfa dan Dewan menatap kepergiannya dengan wajah yang tidak percaya. Ya, sudah sering sih, Delvis seperti itu. Tapi, tetap aneh saja rasanya.

"Abang Lo kayaknya nyesel deh, punya Adek kayak Lo," ucap Dewan sembari tersenyum tipis, seperti orang yang sedang meremehkan. Walaupun dia tau, Delvis bukan lah Abang kandung Zalfa, dia tau bagaimana Delvis sangat melindungi Zalfa.

"Gak denger," jawab Zalfa kemudian berpura-pura tidur. Zalfa sudah biasa mendengar ucapan Dewan yang pedas itu.

Dewan hnya tersenyum, lagi-lagi lelaki itu merasa senang, membuat Zalfa mengekspresikan dirinya. Zalfa tidak pernah bisa berpura-pura jika dengan Dewan, perempuan itu benar-benar menjadi dirinya sendiri, berbeda saat bersama Figo, Zalfa harus menjadi apa yang Figo inginkan, bukan Figo yang meminta, tapi Zalfa melakukannya dengan suka rela.

Delvis sampai di parkiran, awalnya dia hendak langsung pulang, tapi Delvis melihat ada motor Figo terparkir di sana. Lelaki itu, kembali lagi ke rumah sakit ini, tapi kenapa tidak menemui Zalfa? Setidaknya itu yang ada di pikiran Delvis saat ini.

Delvis mencari kira-kira di mana Figo berada. Ternyata lelaki itu ada di sebuah mini market yang ada di kawasan rumah sakit, Delvis sedang berdiri di depan lobi unit gawat darurat. Kemudian, lelaki itu memutuskan untuk menghampiri Figo sebentar sebelum akhirnya benar-benar pulang.

"Lo bukannya punya bantal di mobil?" tanya Zalfa pada Dewan. Dia tidak tega, melihat Dewan tidur tidak memakai bantal.

"Kenapa? Khawatir ya, Gue sakit lehernya." Dewan berkata dengan nada yang menjengkelkan bagi Zalfa.

"Nyesel banget nanya. Serius bisa gak sih," ujar Zalfa geram.

"Iyaa, maaf. Ada kok di mobil. Apal banget ya, sama isi mobil Gue. Jangan-jangan...."

"Bukan karena perduli, tapi nanti kalau Lo kenapa-kenapa, yang ngerjain tugas gue siapa?" tanya Zalfa.

"Apes bener, punya temen kayak Lo."

"1-1."

"Udah malem, tidur gih!" Perintah Dewan pada Zalfa.

"Belum ngantuk," ucap Zalfa dengan jujur.

"Kenapa? Mau dinyanyiin?" tanya Dewan, diapun tidak merasa yakin dengan apa yang diucapkannya.

"Tidak, terima kasih." Jawab Lara cepat, perempuan itu tau, bagaimana suara Dewan yang sebaiknya disimpan saja. Dewan itu ganteng, kalau orang yang ngeliat dia selewatan pasti bakal suka banget, tapi bagi Zalfa, Dewan terlalu lemes. Kerjaannya, senang sekali membuat Zalfa marah.

Dewan bangun dari tidurnya, dia mendekat ke arah Zalfa, kemudian duduk di sebuah bangku yang tadi dipakai oleh Delvis.

"Awas aja, kalau ngeberantakin poni, musuhan seminggu."

Zalfa salah tingkah, ketika Dewan melihat ke arahnya dengan tatapan yang membuat Zalfa merasa ada kupu-kupu beterbangan dari perutnya. Sulit untuk di deskripsikan. Tapi, yang jelas. Tatapan itu berbahaya.

"Kenapa salah tingkah, Lo deg-degan ya," ucap Dewan kemudian menidurkan kepalanya di pinggir badan Zalfa.

"Kenapa tidur di sini, kan di sana luas," ujar Zalfa. Dia makin panik, jika posisi tidur Dewan begitu, bisa-bisa beneran sakit.

"Gue pengen nemenin Lo tidur, kalau gini kan Lo pasti bakal cepet tidur."

"Enggak." Bantah Zalfa, karena perempuan itu berpikir, Dewan akan membuatnya susah tidur, aroma parfum Dewan uga mengganggunya, bukan tidak suka, tapi Zalfa merasa aneh saja. Mungkin, takut nyaman.

"Bawel. Nanti kalau Lo dah tidur Gue pindah. Jangan berisik Gue mau tidur duluan sebentar."

"Tapi..." Zalfa ingin meminta agar Dewan tidak dekat dengannya, karena jantungnya berdebar tak karuan.

"Pegang rambut Gue, kalau Lo masih tetap susah buat tidur.

Zalfa diam, dia tidak membalas lagi ucapan Dewan, takut dipotong lagi seperti sebelumnya.

Dewan tidak bersuara lagi setelahnya, padahal Zalfa beberapakali memanggil namanya.

Zalfa sebenarnya bingung, dia harus bersikap seperti apa pada Dewan, meskipun lelaki itu selalu membuatnya darah tinggi, tapi Dewan adalah orang pertama yang selalu menjaganya sampai sejauh ini, selalu ada untuknya, setelah Delvis. Zalfa seperti memiliki dua kakak yang begitu menyanyanginya, meskipun dengan cara yang berbeda-beda.

Luka di wajah Dewan adalah bukti, betapa dia begitu marah pada Figo, karena sudah membuatnya sakit begini. Padahal, ini semua karena Zalfa dan badannya yang terlalu lemah, tapi memaksa untuk selalu kuat demi Figo.

Zalfa ingin mengobati luka di wajah Dewan, tapi lelaki itu selalu bersikap bahwa dirinya itu biasa saja, dan kuat. Sampai Zalfa bingung, sepertinya Dewan adalah manusia yang tidak pernah merasakan sakit, karena dia belum pernah melihat Dewan mengeluh, lelaki itu selalu terlihat menyebalkan, tapi jika tidak masuk kerja atau lama dinas, Zalfa merindukan sosok Dewan.

hanya karena ucapan Dewan barusan, tapi melihat Dewan tertidur di samping, Zalfa menjadi lebih tenang, dan dia ikutan mengantuk. Perlahan, Zalfa memejamkan matanya, dia bahkan menaruh tangannya untuk memegang rambut Dewan seperti yang pria itu katakan. Rambut lelaki itu kurus, tapi lembut, malah lebih lembut rambut Dewan, dibandingkan rambutnya sendiri. Entah mantra dari mana, atau Dewan pernah membaca cara ini di mana. Tak membutuhkan waktu Lama, Zalfa benar-benar tertidur.

Nächstes Kapitel