webnovel

B10 – Disappointed

*****

Satu minggu sudah terlewati begitu saja oleh Danica tanpa teman temannya. Danica memang mengatakan semua masih tetap sama ada mereka atau tidak tapi jauh dalam hatinya ia butuh teman, Danica kesepian dan rasa paling besar dalam dirinya adalah kecewanya.

Satu minggu ia terlibat perang dingin dengan Adel bahkan tatapan Adel tak bisa dikatakan bersahabat, sering kali tanpa disadari Danica menemukan tatapan tajam itu hingga membuat hatinya terluka tanpa disadarinya.

"Kenapa diam saja saat mereka bahkan seolah membencimu?"

Danica hanya tersenyum tipis sembari menyesap ice Americano, pandangannya masih terarah lurus kedepan menatap lapangan luas yang terisi penuh oleh tim basket yang sedang latihan. Sejenak ia menghembuskan nafasnya pelan mencoba menahan sesuatu yang menyeruak dalam dadanya.

"Mereka tidak membenciku."

"Lalu?"

"Mereka hanya tidak bisa menerima kenyataan jika kesalahpahaman itu memang begitu jahat." Ucapan Danica membuat Rehal mengerutkan keningnya bingung.

"Kau tidak takut kehilangan mereka? Mereka teman temanmu, kalian sudah sama-sama sejak awal masuk sekolah." ucapan Rehal membuat Danica tersenyum miring memandang Rehal dengan remeh.

"Kau hanya khawatir soal Adel bukan? Jangan khawatirkan apapun Hal, dia tidak akan kehilangan teman hanya karena membenciku. Semua orang selalu mencari cara bagaimana untuk dapat membenciku. Aku tidak pernah takut kehilangan siapapun karena sejak awal aku memang sendiri, aku hanya berusaha menjalani hidup seperti yang lainnya tapi sepertinya takdirku memang seperti ini."

Danica memberi sedikit jeda pada kalimatnya, ia kembali fokus pada lapangan sembari menghembuskan nafas sedikit kasar.

"Lalu apa yang perlu disalahkan?"

"Danica, itu yang benar-benar ada dipikiranmu sekarang? Kau sudah gila?"

"Hal, kau bahkan sudah mengerti bagaimana hancurnya hidup dalam kesalahpahaman tapi sekalipun kehilangan seribu teman hanya karena masalah itu. Itu bukan hal yang luar biasa, waktu hanya berjalan sebagaimana mestinya."

Danica langsung berdiri dari duduknya lalu melangkahkan kakinya meninggalkan Rehal yang menatapnya tak percaya, Danica sendiri mencoba menahan rasa kesal dalam dirinya.

"Kau benar benar akan kehilangan mereka Nic."

Danica yang memang belum jauh pun langsung menghentikan langkahnya, ucapan dalam hati Rehal membuat ia membalikkan tubuhnya menatap Rehal dengan tajam.

"Pertemanan tidak pernah semudah itu Hal, satu kali atau dua kali kau salahpaham tapi tidak untuk yang ketiga kalinya. Kau bisa mempercayainya itu bohong atau mencoba membiarkan itu mengalir tanpa mencari tahu kebenarannya."

Setelahnya Danica kembali membalikkan tubuhnya lalu berjalan dengan cepat sebelum Rehal kembali menyahut, dalam sekejap pun tubuh Danica hilang dari pandangan Rehal.

******

"Dimana Danica? Kita harus segera menyelesaikannya, pelatih Han dan Guru Dam sudah memberi ijin kita, waktu kita hanya tinggal 2 hari oke."

"Dia akan segera datang Kak."

"Hubungi Danica, Bar."

Bara sudah siap dengan ponselnya namun saat ia akan mendeal nomor Danica gerakannya terhenti saat suara gadis yang sejak tadi ditunggu sudah datang.

"Aku disini Kak, tidak perlu menghubungiku."

Dengan santai Danica langsung duduk disamping Dalton mengabaikan wajah kesal Dalton, ia lalu menatap Dalton dengan senyum andalannya.

"Maaf ya Kak, tadi sedang ada masalah. Ayo kita mulai sekarang."

"Aiisshh dasar kau ini, ayo sudah siap semua bukan? Hari ini harus sudah selesai semua."

"Baik Kak."

Semua tim bergegas keluar dari ruang latihan, Bara menatap Danica dengan bingung. Ia langsung menghentikan langkah Danica membuat sang empu menatap dengan penuh tanya.

"Ada apa?"

"Dimana tasmu?"

"Didalam kelas, memangnya kenapa?"

"Kenapa tidak dibawa sekalian?"

"Belinda akan membawakannya untukku, sudah ayo sebelum Kak Dalton marah marah lagi."

*****

Hari sudah berubah gelap, kegiatan mereka pun sudah selesai namun langkah Danica justru berhenti tepat didepan gedung besar, menatap bangunan itu dengan tatapan yang sulit diartikan.

Dengan masih mengenakan seragam sekolah, Danica berjalan memasuki gedung besar itu dengan langkah santai namun sesekali ia menghembuskan nafasnya pelan.

Hari ini hanya terlalu banyak hal yang Danica pikirkan, ia hanya ingin istirahat sebentar dari berbagai pikirannya. Tugasnya pada Dalton pun sudah selesai jadi ia berfikir mungkin ini saatnya ia beristirahat dari segala hal.

"Danica?"

"Ahh aku kira kau tak ada, kalau tahu ada kau sudah kupastikan tak akan datang kesini."

Rehal menatap Danica dengan nyalang, ia berdecak sebal dengan ucapan Danica yang memang terkadang membuatnya terasa naik darah.

"Lalu kenapa datang kesini eoh? Pergi sana, aku tak mau pergi."

"Aku tidak menyuruhmu pergi."

Setelah mengatakan itu Danica langsung berjalan meninggalkan Rehal yang masih menatapnya dengan kesal.

"Waahh Danica sialan." Rehal langsung menyusul Danica di ruang ganti namun langkahnya terhenti didepan pintu saat mendengar helaan nafas kasar, helaan nafas yang terdengar berbeda dari biasanya.

"Menyerah bahkan bukan pilihan Danica bodoh." Gerutu Rehal kesal saat ia bahkan mendengar gumaman Danica yang sangat menyebalkan.

"Kau seperti anak gadis yang selalu ingin tahu masalah orang lain Hal."

Rehal yang masih menggerutu sebal dan masih fokus dengan pemikirannya sendiri pun langsung terkejut saat Danica tiba tiba ada didepannya sembari membuka pintu dengan kasar dan mengatakan hal yang tidak masuk akal lagi.

"Sehari saja jangan bersikap menyebalkan Nic."

"Kau yang selalu menyebalkan Rehal Wira Kencana."

"Aisshh anak ini…"

"Jangan mengikuti ku."

Danica langsung berjalan meninggalkan Rehal menuju keruang latihan sedangkan Rehal masih berdecak kesal melihat sikap Danica yang semakin tidak terkendalikan.

Rehal seakan hilang kata kata melihat kelakuan Danica yang bahkan tidak dapat ditebak. Namun Rehal mengerutkan dahinya bingung saat melihat Danica membawa ponselnya ke ruang latihan? Itu tidak masuk akal.

Danica sendiri berdiri mematung didekat pintu masuk bangunan itu sembari menatap ponselnya dengan datar dan kesal, ponsel itu bahkan terus saja bergetar dengan nama sang paman tertera disana.

"Halo Paman."

"Kemana saja? Haruskah Paman menghubungimu seratus kali?"

Danica memutar bola matanya malas, sang paman bahkan masih menghubunginya tiga kali ini.

"Aku baru saja dari toilet paman."

"Adikmu mana?"

"Ada dirumah."

"Lalu kau dimana? Keluyuran saja, kenapa tidak membawa adikmu?"

"Aku sedang ada acara paman."

"Selalu saja seperti itu, kenapa selalu mementingkan dirimu sendiri Danica?"

"Aku tidak…."

"Cepat pulang, paman tidak mau tahu. Adikmu sendirian dirumah, kau harus selalu bersamanya. Dia masih kecil."

"Baik paman."

"Perempuan jam segini masih diluar, cepat pulang. Mau jadi apa kamu nanti, ujianmu bahkan sudah tekat. Bersikaplah dewasa nilaimu tidak bisa terus menurun, kau mengerti?"

"Iya paman."

"Lihat adikmu bahkan nilainya selalu membaik, contoh itu. Sudah kalau begitu, besok aku akan menghubungi lagi."

Sambungan diputus begitu saja, Danica langsung menghembuskan nafasnya kasar. Ingin rasanya ia membantah tapi Danica selalu kalah dengan rasa takutnya.

"Aku hanya ingin bebas Bu, apa itu salah?"

*****

Nächstes Kapitel