Langit tak kunjung semakin cerah di tengah hari ini. Malah semakin gelap seakan suasana pagi buta tak ingin pergi. Setitik demi setitik butiran air bening mulai menempel di jendela dan lama-kelamaan mulai merabuni pandangan.
Kimberly mendesah saat pemandangan indah di luar jendela itu akhirnya tidak terlihat jelas. Ia kembali melihat layar ponselnya untuk mengganti lagu yang didengar melalui headphone-nya. Sekalian berharap mendapat balasan telepon dan pesan yang dikirim dari kedua sahabatnya. Selama perjalanan, sudah berkali-kali ia mengirim pesan dan menelpon mereka, tetapi tetap tak ada balasan. Dan untuk saat ini, sebisa mungkin ia melupakan ucapan-ucapan Vin sebelumnya.
Ia melepas kuncirannya dan tergerailah rambut cokelat sepunggungnya yang masih sama saat ia kecil. Lalu ia sandarkan kepalanya di sandaran kursi dan memejamkan mata. Mencoba menikmati lagu klasik yang didengarnya, dan merasa nyaman.
"Dokter Flawnsen... Dokter.." Tepukan pelan yang terasa di pundaknya membuatnya terbangun.
"Eh ada apa?" Kimberly celingak-celinguk, masih setengah sadar. Saat tiba-tiba gadis yang membangunkannya tertawa pelan, ia langsung kembali sadar dan meraba wajahnya. Berpaling ke jendela untuk membersihkan ilerannya di sekitar mulut sambil menahan malu. Lalu ia kembali memandangnya.
"Anda sudah sampai di rumah," infonya.
Kimberly mengangguk sambil mengalungkan headphone hijaunya. "Oh baiklah." Lalu ia keluar dari tempat duduknya dan mengambil barangnya di tempat penyimpanan yang tergantung di atas barisan kursi.
"Aku duluan teman-teman. Hati-hati di jalan," sahutnya.
"Kimberly, salam untuk Sam ya," ucap Vin sambil memeluk Kimberly.
"Iya tentu saja. Salam untuk Robert juga. Bye." Kimberly membalas pelukannya.
Setelah ia mengambil tas-tas besarnya di bagasi bus, bus pun melesat jauh.
Kimberly mengambil udara senja dalam-dalam dan dihembuskan cepat sambil tersenyum gembira melihat rumah berlantai 2 dan bercat krem di depannya itu. Setelah membuka pagar kayu sepinggangnya, ia bergegas menyusuri jalan setapak dari susunan batu di halaman yang mengantarnya ke depan pintu. Ia mengambil kunci yang terletak di permukaan tanah dalam pot bunga yang berada di dekat jendela depan lalu ia memasukkannya ke dalam lubang kunci pintu. Ia berusaha memutar-mutar kunci itu ke atas untuk membuka pintu itu. Tapi tidak bisa.
"Ada siapa di dalam?" pikir Kimberly. "Maling atau... Ah mungkin Sam." Ia berusaha berpikir positif. Ia pun segera membuka pintu itu.
Saat pintu itu dibuka, Kimberly segera masuk ke dalam dan menaruh barang-barangnya di depan pintu--kecuali hewan peliharaannya--juga melampirkan baju hangatnya di tiang jaket. Aroma kue panggang menyambutnya dan langsung menyeruak ke dalam indra penciumannya.
"Hmmm..." Kimberly membayangkan masakan-masakan lezat saat mencium aroma itu. "Sam tidak mungkin bisa masak." Ia menerka siapa yang sudah menggunakan dapurnya. "Ooh apa mungkin." Tanpa berpikir panjang, ia pun langsung berlari ke arah dapur untuk menghilangkan rasa penasarannya.
"Aah sudah kuduga." Ada seorang wanita berambut pirang--dikuncir rendah dan disampirkan melewati pundak--sedang memunggunginya. Ia tidak sadar akan kedatangan Kimberly karena terlalu fokus untuk memotong kue cokelat panggangnya. "Cathrine McKenzie!"
"Cathrine?"
Wanita itu langsung tersentak dan berbalik badan ke arah seseorang yang meneriaki namanya. Kimberly langsung meletakkan kandang kelincinya di atas meja makan dan langsung lari memeluk wanita itu.
"Astaga... Kau mengagetkanku saja." Wanita cantik bermata biru itu langsung balas memeluk Kimberly.
"Ooh, jadi ini gadis yang kau suka, Thomas?" gumam Lizzie. "Ups... sepertinya dia sudah bukan gadis lagi," tambahnya saat melihat ada sesuatu yang mengganjal dari Cathrine.
Kimberly setengah membungkuk dan mensejajarkan diri dengan perut Cathrine yang mulai membuncit itu. "Wahh! Sudah besar saja!" ujarnya sambil mengelusnya sesaat. "Laki-laki atau perempuan?" Kimberly menatap mata biru Cathrine dan kembali tegap.
"Perempuan," Cathrine tersenyum manis, "Kami belum menentukan namanya"
Kimberly tertawa sekilas. "Lebih baik segera menentukan namanya sebelum aku memberimu nama-nama yang aneh."
Cathrine pun ikut tertawa. "Oh iya, Sam baru mengirimkan beberapa paket untukmu. Paketnya sudah aku pindahkan ke ruang kerjamu," infonya. "Maaf kalau aku lancang masuk."
"Tidak apa selagi kau hanya masuk saja. Sebaiknya aku periksa dulu," kata Kimberly. "Oh iya," ia langsung berhenti mendadak sebelum keluar dari dapur dan berbalik sedikit ke arah Cathrine, "aku baru mengadopsi seekor kelinci, namanya Dark Choco. Bisa dipanggil Dark ataupun Choco. Sebaiknya kalian berkenalan dulu, Ok?" Lalu Kimberly pun benar-benar melangkah ke ruang kerjanya.
"Berkenalan dengan kelinci? Ada-ada saja dia." Cathrine setengah tertawa, lalu ia tersenyum ke arah Dark Choco sesaat sebelum ia melanjutkan kembali aktivitas memasaknya yang sebentar lagi akan selesai. Setelah ia menyusun semua kue cokelatnya di atas piring dan mencicipinya, ia meletakannya di atas meja makan tepat di sebelah kandang kelinci.
Sambil menunggu kedatangan Kimberly, Cathrine terus memperhatikan kelinci yang memperhatikannya balik itu. Merasa terganggu karena terus diperhatikan, ia pun mengeluarkan kelinci itu dan meletakannya di lantai, begitu juga dengan kandanganya. Namun kelinci itu tetap tak bergeming. Tetap diam di tempat ia diletakkan dan memperhatikan Cathrine. Saat ia hendak mengambil sepotong kue untuk diberikan kepada kelinci itu, tiba-tiba saja Kimberly datang.
"Cath, kau sudah dijemput," info Kimberly.
"Oh ya." Cathrine pun beranjak dari kursi dan mengambil tas selempangnya di sudut meja makan. Ia diantar oleh Kimberly sampai ke depan pintu keluar dan sedikit terkejut kalau kelinci itu juga mengikutinya. Tingkah lakunya yang dibilang cukup aneh itu, cukup membuatnya berkernyit heran. "Kim, apa kelincimu itu diadopsi dari penangkaran atau sebuah sirkus?" tanya Cathrine dengan pandangan yang tak lepas dari sepasang mata merah hewan pengerat itu.
Kimberly menoleh ke belakang sekilas ke arahnya. "Tidak. Aku menemukannya di hutan," jawabnya. "Tingkahnya aneh, kan? Memang. Sejak aku menemukannya, memang sudah aneh. Jadi karena tingkahnya yang menurutku unik itu, aku mengadopsinya," jelas Kimberly sambil tersenyum polos.
Cathrine hanya mengangguk dan tidak ingin berurusan dengan hal aneh di pikirannya. "Baiklah. Sebaiknya aku pulang dulu. Aku baru saja membuat kue untukmu. Jadi, silahkan dinikmati." Ia mengembangkan senyum manisnya.
"Ya, tentu saja. Thanks" Kimberly memeluk Cathrine.
"You're welcome," bisiknya.
Kimberly melambai ke arahnya sebelum mobil sedan hitam itu melesat. Lalu langsung menutup pintu dan cepat-cepat ke meja makan untuk mencicipi kue cokelat buatan sahabat kecilnya itu.
"Thomas? Kenapa daritadi kau diam saja sambil memandang wanita itu?" Tiba-tiba saja suara Lizzie terdengar. "Ooh apa kau masih menyukainya? Dia sudah milik orang lain, tidak baik kau menyukai istri orang lain hahaha"
"Lagipula, kau juga sudah mati Thomas. Untuk apa menyukainya lagi? Itu sia-sia saja!"
Seandainya Thomas tahu caranya menutup telinga, mungkin sudah ia lakukan sejak lama.
Setelah tahu kalau ternyata Cathrine sudah bersuami ditambah dengan ocehan-ocehan Lizzie yang tak berperasaan itu, membuat Thomas ingin kembali ke dunianya saja. Sudah enggan untuk kembali melanjutkan misinya. Bahkan ia juga sudah enggan untuk bertemu Kimberly. Itu semua karena ucapan terakhir Lizzie yang membuatnya semakin enggan untuk melakukan apapun di dunia ini. Ditambah kenyataan kalau ternyata Lizzie itu ringan lidah--tidak pendiam seperti yang diucapkan kakaknya, Alice--membuat Thomas kembali untuk tidak percaya kepada siapapun.
"Lizz, pernah dengar cerita hantu yang ingin bunuh diri?"
"Belum"
"Kalau begitu, mari kita buat satu cerita itu"