webnovel

Chapter 1 : Langit dan Bumi

Ralin si anak tunggal. Yuga juga putra satu-satunya. Setelah sebulan usia pernikahan orangtua mereka, Ralin dan Yuga masih belum terbiasa menerima kehadiran satu sama lain di bawah satu atap yang sama. Rasanya aneh, setidaknya bagi Ralin. Apalagi, Yugara Hastinangga adalah teman seangkatannya di sekolah, juara umum dengan nilai tertinggi lintas jurusan. Yuga juga termasuk salah satu cowok populer di sekolah, yang selain cerdas, juga berparas sangat tampan dan memikat dengan kulit sawo matangnya, hidung mancungnya, dan sepasang matanya yang bersorot teduh. Dan, sudah setahun belakangan ini Ralin naksir padanya.

Complicated, huh?

Untungnya, Yuga adalah tipe cuek, irit bicara, dan cenderung dingin. Ini memudahkan Ralin untuk menghindari pembicaraan tak perlu dengannya. Dalam sehari mereka bisa nyaris tak saling sapa, kecuali saat rebutan kamar mandi di lantai dua tiap pagi menjelang berangkat sekolah bisa disebut kategori “tegur sapa”. Di sekolah, mereka sama sekali tak pernah berinteraksi, selain karena pergaulan dan kelas mereka yang berbeda. Saat di rumah, Yuga juga lebih sering ada di kamarnya dengan pintu tertutup rapat, hanya muncul saat jam makan. Dengan begini, ruang privasi Ralin tetap terjaga, walaupun tak seleluasa dulu.

Berbeda dengan Yuga, Mama Donna, ibu tiri Ralin adalah wanita cantik dengan keramahan yang membuatnya menjadi sosok yang menyenangkan. Sikapnya baik terhadap Ralin, pintar memasak, dan juga berpenampilan sangat menarik. Setidaknya itu alasan yang bisa menjelaskan mengapa papa Ralin, Harris, memutuskan untuk menikahinya dan melepas masa dudanya setelah 10 tahun lamanya. Donna memiliki sebuah butik kecil di pusat kota Mangata, mendesain sendiri semua outfit yang dijualnya, dan butik itu terkenal, setidaknya untuk ukuran Mangata dan kepulauan Nusa Jenggala. Dengan kedua orangtua yang bekerja, dimana Harris menjadi pimpinan utama di bank lokal milik pemerintah, mau tak mau Ralin lebih banyak menghabiskan waktu berdua di rumah dengan Yuga si pendiam.

Ralin sejak awal mencoba tak ambil pusing. Ini bukan seperti kisah drama korea yang pernah ditontonnya, naksir cowok cakep yang hidup serumah dengannya, ia menekankan hal itu berulang-ulang di kepalanya. Yuga sekarang adalah kakaknya, dan semua perasaan yang dulu pernah ada di hatinya tak berubah, tak akan dilanjutkan, jalan di tempat. Masih banyak ada lelaki lain di luar sana, pikir Ralin. Apalagi, Yuga sudah jadian dengan gadis lain. Jadi, tak ada yang perlu diperjuangkan lagi.

“Lin, pulang sekolah nanti kita mampir ke rumah lo dong!”

Ralin yang baru saja mengeluarkan buku Kimia, menoleh dengan sigap saat mendengar kata-kata Jenny yang duduk di meja seberangnya.

“Ngapain?” tanyanya.

“Main. Rumah gue kan rame. Kalo di rumah lo sih asyik, sepi, bisa bebas. Eh,” Jenny mencondongkan tubuh padanya, “Kita nanti streaming drakor yukkk…udah ada episode barunya nih!”

“Tapi rumah gue kan masih renovasi, Jen. Nggak asyik ah! Di rumah Pipin aja deh!” Ralin memalingkan wajah ke meja di depannya, lalu menyodok punggung Pipin, membuat gadis berambut ikal itu tersentak.

“Apa?”

“Jenny mau numpang nonton drakor di rumah lo. Boleh?”

“Biasanya kan di rumah lo, Lin? Kenapa sekarang malah di rumah gue?” Pipin bertanya dengan satu alis terangkat.

“Rumah gue masih renovasi. Banyak debu. Males ah!”

Bohong. Ralin dan Yuga telah sepakat bahwa mereka tak akan mengumbar hubungan mereka ke teman-teman mereka. Bisa heboh, mengingat reputasi Yuga sebagai selebriti sekolah. Ralin malas nantinya berurusan dengan pertanyaan bertubi tentang kakaknya itu. Dan ia juga nggak ingin Yuga membawa teman-teman lelakinya datang ke rumah. Berisiknya minta ampun!

“Kok lama banget sih renov-nya?”

“Mana aku tahu! Papa tuh…” Ralin menangkupkan tangan di atas meja, memohon sambil memamerkan puppy eyes-nya yang membuatnya terlihat menggemaskan. “Di rumah lo ya, Pin. Kali ini aja.”

“Ya deh!”

YES! Kali ini masih aman. Ralin mengedip pada Jenny, yang mengacungkan tinju ke udara, sama happy-nya.

Tapi, sampai kapan kebenaran ini harus ditutup-tutupi?

***

Yuga mengernyit, membuka pintu kamarnya, lalu berbalik untuk menatap pintu kamar di seberangnya, kamar Ralin. Suasana lantai dua sepi, tak seperti biasanya, dipenuhi suara-suara ala Ralin : gedebak gedebuk, barang jatuh, langkah mondar-mandir, bantingan pintu, langkah kaki sepanjang koridor, atau nyanyian merdunya yang sepenggal-sepenggal tergantung suasana hatinya. Hidup serumah dengannya selama sebulan telah cukup banyak memberinya gambaran soal gadis itu. Berisik!

Ia masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu. Kamarnya bernuansa biru, berbeda dengan kamar Ralin yang serba pink, warna yang menusuk mata kaum lelaki seperti dirinya. Ia meletakkan tas di atas meja belajar lalu menghempaskan diri di atas ranjang, ingin terlelap sekejap. Belum sempat memejamkan mata, denting dari ponselnya membuatnya mendengus jengkel.

Mama

Nanti tolong jemput Ralin ya. Dia di rumah Pipin. Mama hari ini lembur, Papa juga.

Yuga mengacak rambut dengan kesal. Mamanya berlebihan sekali terhadap Ralin, mentang-mentang keinginannya punya anak perempuan kini sudah terkabulkan. Bocah itu kan bisa pulang sendiri! Udah gede juga, bukan anak TK lagi.

Yuga

Dia bisa naik bis sendiri Ma. Yuga lagi capek.

Pesannya dibaca, dan dalam sekejap Donna menelepon, menghadiahinya dengan omelan. Yuga bangkit dengan kesal dan keluar kamar. Menghadapi Ralin membutuhkan tenaga ekstra, dan artinya, ia perlu makan banyak biar tak gampang terpancing emosi mendengar celetukan si cerewet itu nanti. Melelahkan sekali menjadi seorang kakak.

Sambil turun ke lantai satu ia mengetikkan pesan pada Ralin.

Yuga

Pulang jam berapa?

Ralin

Kenapa? Disuruh jemput? Aku bisa sendiri.

Yuga

Aku jemput, perintah Mama. Jangan kemaleman.

Ralin

Kemaleman dong!

Yuga

Anak gadis nggak boleh pulang malem. Nanti aku yg kena omel, bukan kamu.

Ralin

Okeeee….jam 7. Tunggu agak jauh.

Yuga

Oke

Yuga mendesah, melirik jam dinding di ruang makan. Jam setengah 6 sore. Ia menghampiri kulkas, meraup beberapa kantong camilan dan membawanya naik ke kamarnya. Ia tengah membuka pintu kamar saat ponselnya berdenting lagi.

Ralin

Inget pake hoodie atau apa gitu…penyamaran!

Yuga

Cerewet lo!

***

“Kenapa nggak naik bis aja sih?”

Yuga membelalak pada sosok Ralin yang berdiri di sebelahnya dengan tampang masam. Ia mengulurkan helm pada Ralin, berdecak kesal saat gadis itu menerimanya dengan ogah-ogahan.

“Buruan naik!” tukasnya saat melihat tanda-tanda keengganan Ralin naik ke motor. Ralin menghela napas dan duduk menyamping di belakang Yuga. “Pegangan.”

“Nggak usah, Yuga.”

“Pegangan atau….”

“Iya...iyaaaa…”

Detik berikutnya lengan Ralin melingkar di pinggangnya dan Yuga melajukan motornya menjauh dengan cepat, bergabung dengan lalu lintas yang tak seberapa padat. Yuga memutar bola matanya mendengar ocehan Ralin di belakangnya, masih memprotes keputusannya menjemput dengan motor, tak seperti biasanya.

“Biar cepet tahu!” Yuga menukas jengkel. Dasar tak tahu terima kasih, pikirnya. “Aku lagi capek!”

“Kalau begitu nggak usah dijemput! Lain kali nggak usah deh! Nanti aku yang ngomong ke Mama!”

“Coba saja kalau Mama mau dengar.” Yuga mendengus. “Dari dulu sampai sekarang kamu selalu merepotkanku!”

“Dulu?” tanya Ralin, mencondongkan tubuh ke arah Yuga. “Dulu kapan?”

Yuga memaki dalam hati, tak sadar keceplosan.

“Iya, yang dulu-dulu. Bawel!”

“Eh, serius ini.” Yuga merasakan punggungnya berubah hangat, dengan Ralin yang nyaris menempel di belakangnya. “Dulu kapan? Kesannya kok udah duluuuu banget…. Dari kata-katamu barusan!”

“Nggak usah dibahas lagi, Ralin.” Yuga berkata tajam. “Intinya, kamu merepotkan. Oke?”

“Hih…” Ralin mendengus jengkel. “Nggak ikhlas.”

“Cerewet!”

“Kamu pikir dirimu nggak cerewet?”

Yuga menghela napas dalam, berjuang menahan sabar menghadapi Ralin yang berlidah tajam dan suka sekali mendebatnya. Ia tak membalasnya lagi, malas beradu argumen sementara ia tak sabar untuk kembali ke rumah mereka.

“Yuga?”

“Hmm?”

“Terima kasih.”

“Untuk apa?”

“Menjemputku.”

Yuga menyembunyikan senyumnya, tak membalas ucapannya. Persis sekali seperti Ralin yang dulu, pikirnya.

***

Nächstes Kapitel