Jeong Il's pov
"Ayolah, Jagi. Kita makan Odeng di tempat yang kau ceritakan itu. Aku ingin kesana." Aku menatap Ra Im yang menatapku dengan tatapan yang sangat ku benci.
Kami berada di mobil, dalam perjalanan pulang. Sebenarnya aku ingin pulang saja, tapi manusia paling menyebalkan ini akan terus mengganggu hidupku jika tidak ku kabulkan keinginannya. Sekarang aku menyesal bercerita padanya mengenai restaurant odeng milik keluarga Ho Jae.
Baiklah, aku tidak ada pilihan lain selain menuruti keinginannya. Aku membelokkan mobil ke arah rumah Ho Jae.
Seharian ini aku tidak melihat Ha Wook. Kemana dia ya? Setelah ujian tadi ku lihat kelasnya sudah kosong. Dia juga tidak membalas pesanku, ingin sekali aku meneleponnya tapi aku tidak ada alasan kuat untuk melakukannya.
Ku harap, aku bisa bertemu dengannya.
"Sudah sampai! Aku tidak sabar makan odeng!" Ra Im turun begitu mobil yang ku kendarai terhenti. Dia memutari mobil dan membuka pintu di sebelahku.
"Ayo cepatlah! Aku sudah tidak sabar!" Dia menarikku keluar dan melingkarkan tangannya di lenganku. Kami masuk ke dalam bersama.
Kling
Suara lonceng yang menempel di pintu membuat perhatian beberapa orang yang berrada di sebuah meja menoleh ke arah kami. Rasa kesalku dan mood burukku berubah saat melihat seseorang yang ku rindukan seharian ini ada disana. Tanpa sadar, senyumku mengembang mengekspresikan kebahagiaan yang ku rasakan.
Tapi.
Ha Wook mengalihkan pandangannya ke buku di meja.
"Selamat datang, Seonsaengnim. Silahkan duduk dan ini daftar menunya." Ho Jae menyambutku dengan senyuman lebar sebelum kembali bergabung dengan teman-temannya.
"Kau pilih saja menunya, aku mau kesana." Aku meninggalkan Ra Im yang masih berdiri mematung. Aku merangkul Ha Wook dan duduk di sampingnya. Ha Wook mendongakkan kepalanya dan menatapku.
"Kenapa kau tidak membalas pesanku? Oppa khawatir." Tiga teman Ha Wook menatapku dan Ha Wook dengan wajah terkejut.
"Kenapa memangnya? Harusnya Oppa bersenang-senang saja dengan Eonni dan melupakanku." Ha Wook menurunkan tanganku dan bangkit, ia berjalan ke arah ibu Ho Jae dan membantunya.
Jun Goo menatapku dan Ha Wook bergantian. "Kenapa Ha Wook menjadi dingin?" tanya Bok Hae. Ho Jae mengangkat kedua bahunya dan mengambil pesanan Ra Im.
"Hanya ada satu alasan kenapa Ha Wook bersikap seperti itu."
"Apa?"
Jun Goo menatapku dan menyedot esnya. "Ha Wook cemburu."
#
Ha Wook's pov
Ujian kenaikan kelas sudah berakhir kemarin dan sekarang saatnya berlatih untuk persiapan turnamen olahraga. Turnamen akan diadakan besok, jadi kami harus berusaha keras agar menang.
Sebenarnya ambisi untuk menang tidak ada, karena ambisi hanya akan menghancurkan perjuangan. Kami hanya mengusahakan yang terbaik, apapun hasilnya mau menang atau kalah tidak masalah.
Aku meniup peluit untuk merapikan barisan yang tidak lurus. Mereka sedang berlari setelah pemanasan, menimal 3 kali putaran sudah cukup panas. Ho Jae memimpin mereka semua berlari sedangkan aku bertugas mengatur mereka.
Aku membentuk lingkaran diatas tanganku dan meniup peluit terputus-putus sebagai tanda berkumpul. Semuanya berkumpul sesuai instruksiku.
"Teman-teman, sekarang semuanya membentuk line dan kita berlatih lari estafet, aku akan membagi siapa saja yang tergabung dalam estafet." Aku mengambil kertas di dalam tasku.
"Lari estafet Soo Ji, Bok Hae, Eun Jo, Aloona, Mi Ra, Hae So, Jun Goo, Jae Hwa, Kwang Sun, Min Ah, Smith dan Seok Jin, sisanya badminton." Aku memandang mereka semua yang memusatkan perhatiannya padaku.
"Ada yang keberatan?" tanya Ho Jae mengedarkan pandangan ke seisi kelas.
"Tidak masalah." kata Kwang Sun yang diangguki lainnya.
"Teman-teman, tidak perlu berambisi kali ini. Kita lakukan saja yang terbaik yang kita bisa. Menang atau kalah bukan masalah besar, yang terpenting adalah usaha."
"Ne!"
"Baiklah, sekarang saatnya tos!" Aku berjalan ke tengah dan menyodorkan tanganku, Ho Jae meletakkan tangannya di atas tanganku dan diikuti yang lainnya.
"Golden Stars, fighting!"
#
Jeong Il's pov
Aku memasuki dapur dan tidak melihat siapapun. Sebenarnya kemana semua orang? Aku menatap pintu kamar kesayanganku tertutup rapat. Apa dia di dalam? Semoga saja dia sedang tidak pergi. Haruskah aku masuk ke dalam?
Tok
Tok
"Masuk." senyumku mengembang mendengar suaranya. Aku membuka pintu dan masuk ke dalam kamarnya. Ku lihat dia sedang sibuk dengan origami bintang.
Kenapa dia membuatnya? Apa dia akan memberikannya untuk seseorang?
"Kau membuat origami bintang?"
"Hmm." gumamnya mengangguk tanpa repot-repot menatapku. Aku merasa sedikit kesal, apa sekarang kertas-kertas itu lebih menarik daripada aku?
"Kau akan memberikan itu pada seseorang?" kali ini Ha Wook hanya mengangguk membuatku semakin kesal saja. "Untuk siapa?"
Ha Wook mendengus, "Untuk J-" Matanya membulat sempurna begitu melihatku. Aku mengerutkan kening, apa sejak tadi dia tidak menyadari kehadiranku?
"Untuk siapa?" ulangku membuatnya terkesiap.
"Untuk cinta pertamaku."
Deg
Aku tak bisa menahan senyumku mendengarnya. "Begitukah?" tanganku terulur mengelus lembut rambutnya. Aku menatap matanya yang sukses membuat jantungku berdebar-debar. Dengan segera ku tarik tanganku dan berbalik. Tidak aman jika dia mendengar detak jantungku yang menggila ini.
"Bagaimana persiapan untuk turnamen? Semuanya baik-baik saja?" Ha Wook memutar kursinya.
"Ne. Golden Stars siap untuk melaksanakan turnamen olahraga!" dia mengepalkan tangannya dan terlihat bersemangat.
"Kalian sangat suka olahraga?"
"Hmm, sebenarnya tidak. Kami suka berkompetisi, tidak pernah berambisi menang. Yang terpenting berusaha semaksimal mungkin. Juga, membalaskan dendam."
"Dendam?"
Ha Wook berjalan ke arahku dan duduk di sebelahku. "Eagle Jaws."
"Maksudmu kelas 11-1?" dia mengangguk.
"Mereka adalah musuh bebuyutan kami. Tahun lalu, mereka menggunakan kecurangan dan melawan kelemahan kami. Tahun ini, kami akan membalas mereka."
Sejujurnya aku sedikit takut dengan kemarahan di matanya itu. Aku tersenyum dan merangkulnya, "Ini ambisi."
"Benarkah? Ah tapi tidak masalah jika berambisi mengalahkan Eagle Jaws." Ha Wook tersenyum dan menatapku.
"Oppa."
"Sudah terbiasa memanggil Oppa sekarang?" Ha Wook melepas pelukannya dan menatapku dengan wajah kesalnya.
"Aku tidak akan memanggil Oppa jika terus menggodaku."
"Mian." Ha Wook tersenyum melihatku menjewer kedua telingaku. Ia menurunkan kedua tanganku dan menggenggamnya. Hanya beberapa detik, setelah itu melepasnya.
"Eh, bolehkah aku memegangnya." Aku menggenggam kedua tangannya.
"Tentu saja boleh, Dongsaeng-i. Kau boleh memelukku, menciumku, atau melakukan semua yang ingin kau lakukan." Aku membulatkan kedua mataku saat tersadar dengan apa yang ku katakan. Ha Wook juga terkejut, namun ia berhasil menguasai dirinya beberapa menit kemudian.
Ha Wook tersenyum, "Apapun itu?"
Aku mengangguk, "Apapun. Kau boleh melakukan apapun padaku bahkan tanpa persetujuanku." Ha Wook tersenyum dan menunduk, genggaman tangannya di tanganku mengerat.
Tiba-tiba ia mendongak dan menatapku lekat.
Cup