webnovel

#Yumi_Zahrani #017

Haidee Putra membuka matanya. Ia mengamati sesaat, merasakan anggota tubuhnya. Kali ini tidak ada yang tiba-tiba terasa sakit, tidak ada anggota tubuh yang tiba-tiba mati rasa. Tidak ada mimpi buruk.

Aroma wewangian yang menenangkan tercium hidungnya. Ketika Haidee mengalihkan pandangannya ke sebelah kanan, wanita itu masih ada di sana. Ia tersenyum menatap Haidee.

"Sudah bangun?"

Haidee tidak menjawab. Ia masih hanya menatap wanita itu. Wanita itu benar-benar mirip dengan wanita yang selalu ia lihat dalam mimpinya. Bukan hanya dari fisik dan paras, senyumnya pun sama. Bahkan hatinya mampu bergetar saat melihatnya.

Seandainya Haidee Putra tidak mengalami kejadian-kejadian lain dalam mimpinya, ia pasti akan menolak kehadiran wanita itu. Menganggapnya sebagai sebuah kebohongan, hanya imajinasi.

Dalam mimpi mereka jatuh cinta, menikah, dan memiliki seorang anak, semua hanya bohong. Sama seperti kelumpuhannya yang tiba-tiba. Hari-hari penuh rasa sakit dan dipermalukan berulang kali yang ia lihat saat menutup mata adalah palsu. Tapi pada kenyataannya, sosok wanita itu kini ada di depannya, bukan imajinasi dan bukan kebohongan.

Haidee tahu semua hanya palsu, bohong, tapi kadang kala ia tidak memiliki kendali untuk memerintahkan dirinya agar tidak terpengaruh.

"Kamu belum pergi?"

Wanita itu tersenyum lagi. "Namaku Yumi Zahrani," Yumi memperkenalkan diri. Haidee tidak merespons. "Sebenarnya sejak kemarin aku ingin menanyakan kontak walimu. Setelah mereka tahu kamu berada di rumah sakit, aku jadi bisa tenang meninggalkanmu."

"Memang umurku berapa masih butuh wali?" Haidee menanggapi ketus.

"Lalu bagaimana dengan biaya perawatan? Waktu ditemukan pingsan kamu sama sekali tidak membawa apa pun. Bahkan tanda pengenal. Saya pikir mungkin sebelumnya kamu bertemu pencopet," Yumi menjelaskan dengan sabar, sama sekali tidak merasa sakit hati dengan cara Haidee menanggapi.

Haidee terdiam. Ia menatap Yumi sebentar kemudian kembali mengalihkan pandangannya ke langit-langit.

Saat melarikan diri, Haidee sama sekali tidak mengenali tempat keberadaannya. Ia sempat bertanya pada orang yang menatap dirinya dengan sinis sembari menutup hidung. Haidee akhirnya tahu ia berada di Pulau Gama. Padahal ingatan terakhirnya mengatakan seharusnya ia berada di Pulau Alpa.

Hal lain yang membuatnya lebih terkejut adalah ketika ia mendengar pembaca berita menyebut tahun 2027. Waktu telah berlalu selama 7 tahun. Selama waktu itu apa yang terjadi pada tubuhnya, kenapa ia berada di Pulau Gama, apa yang orang-orang itu lakukan pada padanya, Haidee semakin ingin tahu.

Haidee berdeham. "Kalau begitu aku masih harus merepotkanmu," katanya masih menatap langit-langit ruangan. "Setelah keluar dari rumah sakit, aku pasti akan mengganti semua pengeluaranmu."

"Tidak masalah," jawab Yumi sembari tersenyum. Gigi kelincinya benar-benar membuat senyumnya semakin manis.

"Ini... aroma ini... apa kamu yang meletakkannya?" Nada bicara Haidee terdengar canggung. Tentu saja. Setelah mengusir Yumi, memperlakukannya dengan ketus, kini ia hanya bisa memasang muka tembok karena harus bergantung padanya.

"Saya melihatmu mimpi buruk kemarin. Jadi saya memilihkan aroma terapi yang katanya menenangkan dan bisa mengurangi efek mimpi buruk. Kamu suka aromanya?" tanya Yumi.

Haidee hanya mengangguk.

Sebelumnya Haidee tidak tahu siapa yang bisa ia percaya. Ia bahkan tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya, kenapa ia bisa dikurung, kenapa berada di Pulau Gama, dan kenapa tahu-tahu waktu telah tujuh tahun berlalu. Haidee bertanya-tanya, terus bertanya-tanya tapi tetap tidak tahu jawabannya.

"Namaku Haidee Putra." Haidee memperkenalkan diri.

"Haidee Putra." Yumi mengangguk dan mengulang menyebut nama Haidee.

Bahkan cara Yumi menyebut nama Haidee juga sama. Haidee menatap Yumi dan ikut tersenyum. Dari sekian rasa sakit, penderitaan, kesedihan, kehadiran Ayumi dalam mimpinya adalah bagian yang membahagiakan.

Yumi menyodorkan piring kecil yang berisi apel, yang telah ia potong-potong. Haidee berencana mengambil beberapa potong untuk menghilangkan rasa pahit di mulutnya, tapi ketika ia berbalik, senyum manis Yumi berubah sinis, tatapannya yang ramah menjadi merendahkan. Dalam hitungan detik, ekspresi itu berubah menjadi ekspresi jijik, selanjutnya ekspresi muak.

Haidee yang tidak sanggup menerima tatapan seperti itu, menepis tangan Yumi. Piring yang ada di tangan Yumi terlepas dan isinya berhambur di lantai.

"Kenapa?" Yumi sama sekali tidak mengerti dengan perubahan suasana hati Haidee yang tiba-tiba.

"Pergi!" kata Haidee sengit.

Yumi tidak mengerti. Sungguh tidak tahu apa kesalahannya. Yumi ingin bertanya, menuntut penjelasan tapi belum Yumi bertanya, Haidee mengalihkan wajahnya, mengubah posisi tidurnya menjadi membelakangi.

Tidak ada alasan untuk tetap tinggal. Memaksakan diri bertanya hanya akan membuatnya tampak menyedihkan. Yumi mengemasi barang-barangnya dan pergi tanpa suara.

Haidee berbalik ketika Yumi baru saja meninggalkannya. Haidee menghela napas kemudian memukul kepalanya sendiri. Ia tahu Yumi tidak bersalah, tapi hatinya tetap tidak bisa merasa tidak terluka. Ia merasa dibenci, tidak diinginkan, dan ditinggalkan.

Aroma bunga-bungaan segar masuk ke indra penciuman Haidee, membuatnya lambat laun kembali tenang.

Haidee melihat potongan apel berhambur di lantai. Ia bangun dan membersihkannya, memungut, dan membuangnya ke dalam tempat sampah. Di atas meja, ada bungkusan plastik yang Yumi tinggalkan. Haidee mengintip isinya, ada handuk, sabun, dan alat cukur. Haidee menghela napas lagi, merasa bersalah.

Ranjang Haidee berada di paling ujung ruangan. Dari jendela tempat saat ini Haidee berdiri, ia bisa melihat halaman samping rumah sakit. Ketika ia mengalihkan pandangannya, ia melihat Yumi duduk di sebuah kursi yang ada di bawah pohon sembari menelepon.

Sepanjang malam Haidee memikirkan keluarganya. Memang bukan keluarga satu darah, tapi ibu pemilik panti dan para pengurusnya adalah orang-orang yang sudah Haidee anggap sebagai keluarga. Orang-orang yang melihatnya tumbuh dan merawatnya. Haidee bahkan berencana mengunjungi mereka sebelum kecelakaan terjadi.

Haidee bertanya-tanya, selama tujuh tahun ini apa keluarganya tahu mengenai keadaannya, apa mereka mencarinya, apa merindukannya. Hari ini apa yang sedang mereka lakukan, apa kesibukan mengurus panti masih menjadi satu-satunya prioritas. Apa mereka sedang memikirnya atau justru telah melupakannya.

"Nih!" Haidee menyodorkan jus kaleng pada Yumi yang dibelinya dari mesin penjual minum otomatis yang ada di samping kantin.

Yumi menatap Haidee ragu. "Terima kasih," katanya ketika menerima kaleng jus.

Haidee membuka kopi kaleng miliknya dan meneguk dalam tegukan-tegukan kecil. "Aku menggunakan uang kembalian yang ada dalam kantong plastik di atas meja. Kamu bisa memasukkannya dalam tagihan. Anggap saja aku mentraktirmu minum."

"Tidak masalah," kata Yumi sembari tertawa kecil.

Hening. Beberapa pembesuk terlihat baru datang. Dua orang berseragam perawat terlihat menyantap makan siang mereka di kursi lain. Seorang pasien sedang berjalan-jalan, ditemani kerabatnya, langkahnya lambat-lambat namun wajahnya yang pucat tampak bahagia.

"Aku memiliki mimpi buruk yang sangat panjang." Haidee berkata tanpa ditanya.

"Apa itu mimpi yang menakutkan?" Yumi menanggapi.

Haidee menggeleng, "Mimpi yang menyakitkan." Ia meneguk kopinya lagi sebelum melanjutkan. "Dalam mimpi itu aku jatuh cinta. Kami saling mencintai, kami bahagia, tapi yang kulihat dalam mimpiku bukan hanya bagian-bagian yang indah."

Haidee mengambil jeda. Yumi tidak menginterupsi, ia menunggu, fokus mendengarkan.

"Terkadang tatapannya penuh cinta, begitu pengasih. Terkadang begitu muak dan penuh kebencian. Di bagian lain aku melihatnya dibunuh. Di bagian yang lain lagi aku melihatnya berselingkuh. Beberapa kali aku bahkan melihatnya dilecehkan tanpa ada yang bisa kulakukan."

Kembali hening. Haidee menenggelamkan wajah pada telapak tangannya. Yumi masih tidak menanggapi, tidak tahu harus berkata apa. Yumi meletakkan tangannya di punggung Haidee kemudian menepuk-nepuknya pelan. Berusaha memberikan perasaan tenang.

"Bukankah mimpi hanya bunga tidur? Bukankah semua mimpi mudah terlupakan? Tapi kenapa mimpi-mimpiku terus datang dan berulang kali menghantui. Kenapa mereka tidak meninggalkanku walau aku sudah bangun dan berpijak di dunia nyata?" Haidee mengajukan banyak pertanyaan yang tidak bisa Yumi jawab.

"Maaf, saya tidak bisa membantu menemukan jawabannya."

Haidee menyingkirkan telapak tangannya kemudian menatap Yumi. Haidee tersenyum. "Terima kasih."

Yumi balas menatap Haidee, tapi dengan segera ia mengalihkan wajahnya yang mulai memerah.

Haidee menarik napas. Ia bangkit dari duduknya. "Aku akan kembali ke kamarku," katanya kemudian berlalu.

Yumi melihat pria itu berjalan semakin jauh dengan mendorong penyanggah infusnya. Ada perasaan bersalah. Tangan Yumi refleks memegang daun telinganya sebelah kiri. Tatapannya berubah sedih.

###

Nächstes Kapitel