webnovel

Ark:Teror Kastil Setan Bgagian 2

Hwang Renjun berjalan menghampiri Gerbang Hijau Satu. Napasnya terengah-engah. Saat itu sudah agak sore Sialan, kenapa harus pada saat begitu kakinya terasa sakit, umpatnya dalam hati.

Renjun berjalan masuk ke dalam pekarangan tempat penimbunan barang bekas itu. Di kejauhan terdengar suara menegernya berbicara dengan lantang. Rupanya dia sedang mengawasi pekerjaan Jaemin dan Haecan, mereka sedang melakukan siaran Vlive.

Doyoung dan Jisung tidak ada di bengkel. Tapi itu udah diduga oleh Renjun. Dia pergi ke belakang mesin cetak. Di situ digeserkannya oleh sepotong kist kisi besi yang sudah tua, yang kelihatannya seperti kebetulan saja disandarkan pada kaki sebuah meja bubut. Di belakang kisi-kisi itu ada pipa seng yang besar dan panjang, Renjun menyusup masuk ke dalam pipa itu, lalu mengembalikan kisi-kisi tadi ke tempat semula, Setelah itu ia merangkak-rangkak secepat dimungkinkan kakinya yang cedera menyusur dalam pipa, Jalan yang dilaluinya itu "Terowongan Dua", salah satu jalan rahasia untuk masuk ke "Markas Besar" Jalan itu berujung pada sebuah panel dari kayu. Renjun mendorong panel itu ke atas, dia sudah sampai dalam Markas Besar

Yang disebut Markas Besar itu sebetulnya sebuah karavan yang panjangnya sepuluh meter. oihak agensi SM membelinya tahun sebelumnya dalam keadaan rusak berat karena kecelakaan, mereka nggunakan itu untuk sunting MV. Kemudian ternyata karavan itu tidak bisa dijual oleh pihak agensi, karena karoserinya penyok-penyok Karenanya pihak agensi mengizinkan Doyoung memakainya, untuk dijadikan kantor.

Sejak itu sudah banyak sekali berbagai jenis barang bekas yang ditumbukkan oleh Doyoung, Jisung dan renjun itu di luarnya, dengan bantuan Jaehyun dan Joony Kini karavan itu sudah tidak kelihatan lagi. Karena tersembunyi di balik tumpukan batang baja, sepotong tangga besi begitu pula kayu dan bahan lain yang bertumpuk-tumpuk.

Pihak Agensi rupa-rupanya sudah tidak ingat lagi pada karavan itu, Dan hanya Doyoung, Jisung dan Renjun saja yang tahu bahwa karavan yang tersembunyi dengan baik itu kini sudah menjadi sebuah kantor yang serba lengkap, dengan laboratorium kecil serta kamar gelap, begitu pula berbagai jalan masuk yang tersembunyi.

Ketika Renjun muncul dari pipa seng, Doyoung sedang duduk di sebuah kursi putar bekas yang sudah diperbaiki, di belakang meja yang ujungnya hangus karena terbakar. Semua peralatan yang ada di Markas Besar merupakan barang bekas yang telah diperbaiki sehingga bisa dipakai kembali. Jisung duduk menghadapi Doyoung di seberang meja.

"Kau agak lambat datang." kata Doyoung, seolah-olah Renjun sendiri tidak menyadarinya.

"Kakiku tiba-tiba sakit hyung." Napas Renjun masih terengah-engah. "Tersenggol meja, ketika baru saja keluar dari perpustakaan."

"Ada yang berhasil ditemukan?

"Tentu saja! Aku bahkan terlalu banyak menemukan data tentang rumah berhantu itu. Namanya Terror Castle!"

"Terror Castlel" seru Jisung, la bergidik mencoba mengingat kejadian di pulau tempat legenda Blanda, "Tak enak rasanya mendengar namanya."

"Tunggu dulu," potong Renjun, "kau sama sekali belum mendengar tentang keluarga yang terdiri dari lima orang yang pernah mencoba tidur di sana semalam. Sejak saat itu mereka tidak..."

"Mulai dari awal," pinta Doyoung. "Sebutkan fakta-faktanya secara berurutan."

"Oke".

Renjun membuka sebuah sampul besar berwarna coklat yang dibawanya.

"Tapi sebelumnya perlu kuceritakan, Haecan dan Jaemin sepanjang pagi tadi tidak bosan-bosannya mondar-mandir di belakangku, berusaha mengintip apa yang sedang kulakukan waktu itu."

"Mudah-mudahan kau tidak memberi kesempatan pada si konyol itu untuk mengetahui apa pun juga," tukas Doyoung. "Dia itu, selalu saja mau tahu apa yang kita lakukan."

"Sudah jelas aku tak mengatakan apa-apa padanya. Tapi anak itu ngototnya minta ampun! Ketika aku tiba di perpustakaan, ia mencegat aku karena ingin menanyakan tentang mobil yang dimenangkan hak pemakaiannya selama tiga puluh hari oleh Doyoung hyung. Ia menanyakan pendapatku, apa yang hendak Doyoung hyung lakukan dengannya, hyung."

"Ah, Jaemin dan Haecan kan cuma kesal, karena ingin menjadi salah satu dari kita." kata Doyoung. "Coba saja kalau mereka tidak jail dan usil, sama seperti member lainya, mungkin aku bisa mengijinkan mereka untuk bergabung dengan kegiatan kita di waktu ta ada secedule seperti sekarang. Member yang lain selain mereka tidak mau bergabung tentunya selain kalian. Padahal aku ingin Jaehyun dan Chenle ikut bersama kita."

"Pokoknya selama aku tadi sibuk di perpustakaan, Haecan terus saja memperhatikan aku mengambil segala majalah dan koran tua yang kuperlukan guna mengumpulkan informasi bagimu, hyung," kata Renjun dengan kening berkerut. "aku tidak memberi kesempatan padanya untuk ikut melihat apa yang sedang kubaca, tapi."

"Ya?" desak Doyoung, Penyelidik Pertama.

"Hyung masih ingat kan, kartu perusahaan kita yang hyung tulis perkataan 'Terror Castle', ketika kau menyuruhku menyelidiki segala-galanya yang bisa kuketahui tentang tempat itu?"

"Lalu kau menggeletakkan kartu itu sementara kau sedang sibuk meneliti daftar majalah dan koran, dan kemudian tidak bisa menemukannya kembali," kata Doyoung

Mata Doyoung terkejap beberapa kali. "Dari mana kau tahu?" tanyanya heran,

"Kalau kartu itu tidak hilang, kau takkan menyinggung-nyinggungnya,"

kata Doyoung "Dan tempat paling wajar di mana kau bisa kehilangan kartu itu, tentunya di perpustakaan, sewaktu kau sedang menilik kartu daftar majalah."

"Ya, memang begitulah kejadiannya," kata Renjun. "Kurasa aku pasti meninggalkannya di atas meja waktu itu. Aku tidak yakin apakah Haecan yang mengambil, tapi sewaktu ia pergi kemudian, cengirannya mencurigakan!"

"Saat ini kita tidak punya waktu dengan Haecan, karena ada urusan lain yang penting," kata Doyoung, "Ceritakan apa saja yang berhasil kauselidiki."

"Beres." Renjun mengeluarkan sejumlah kertas dari sampul yang dibawanya.

"Pertama-tama, Terror Castle terletak dalam sebuah ngarai kecil yang sempit di blakang Gedung SBS," katanya, "Nama sebenarnya Suzana Castle, karena yang membangun seorang bintang film bernama Suzana asal indonesia. Semasa film dia bintang yang terkenal sekali. Ia biasa main dalam film-film seram, tentang hantu penghisap darah, kuntilanak, sundel bolong dan sikuman ular, jadi jadian dan sebangsanya, Rumahnya dibangun seperti puri angker yang pernah dibangun sebagai lokasi salah satu filmnya. Puri itu diisinya penuh dengan pakaian zirah kuno, peti-peti mumi dari Mesir serta macam-macam lagi barang menyeramkan yang pernah dipakai dalam berbagai film di mana ia main sebagai peran utama."

"Hmm, menarik," sela Doyoung

"Tergantung dari apa yang menarik," kata Jisung, "Lalu apa yang kemudian terjadi dengan Suzana?"

"Aku justru hendak menceritakannya sekarang," kata Renjun. "Suzana dulu tersohor dengan julukan Manusia dengan Sejuta Wajah'.Tapi kemudian saat suting film Hnatu ambulan saat makan siang lidahnya tergigit dan mengalami pendarahan banyak. Dan kemudian, Suzana suaranya menjadi tinggi dan cempreng, karna kecilakan itu."

"Hebat!" sela Jisung. "Tokoh hantu yang mendesis-desis kalau bicara dengan suara tinggi. Para penonton pasti setengah mati, bukan karena takut-tapi geli!"

"Persis itulah yang terjadi," kata Renjun. "Akhirnya Suzana patah semangatnya. Ia berhenti main film. Semua pelayannya diberhentikan. Bahkan suaminya, seseorang bernama Clift Sangra, yang juga merangkap sebagai managernya, disuruhnya pergi. Suzana mengasingkan diri ke Korea selatan. Surat-surat dan telepon dari teman teman dibiarkannya tak terbalas. dia bertapa seorang diri dalam purinya, Lambat laun dia dilupakan orang."

"Nah! Pada suatu hari ditemukan rongsokan mobil di suatu tempat. sekitar dua puluh lima mil di sebelah utara gedung SBS. Mobil itu rupanya jatuh dari jalan raya, terbanting ke dasar tebing Nyaris masuk ke laut."

"Tapi apa hubungannya dengan Suzana?" sela Jisung.

"Berdasarkan penyelidikan polisi terhadap nomor mobil yang mengalami kecelakaan itu, ternyata pemiliknya Suzana," kata Renjun menjelaskan. "Mereka tidak berhasil menemukan tubuhnya, tapi itu tidak mengherankan. Mungkin terseret ombak pada saat pasang naik."

"Aduh!" Tampang Jisung nampak serius. "Apakah ia sengaja menjatuhkan diri dengan mobilnya ke bawah?"

"Itu tidak bisa diketahui dengan pasti," kata Renjun. "Tapi ketika polisi pergi ke bukit di blakang gedung SBS untuk memeriksa di sekitar puri, mereka menemukan pintunya terpentang lebar. Tapi tidak ada siapa-siapa di situ. Ketika mereka memeriksa tempat itu, ditemukan surat tertancap di meja di perpustakaan. Pada surat itu tertulis" Renjun melihat catatannya sebentar, "Walau dunia takkan melihat diriku lagi dalam keadaan hidup, tapi arwahku akan tetap berada di tempat ini. Tempat ini terkutuk untuk selama-lamanya'. Dan surat itu bertanda tangan Suzana'"

"Huhh!" desah Jisung, keringat dingin mulai membasahi keningnya. "Semakin banyak kudengar tentang tempat itu, semakin tidak enak-aja perasaanku terhadapnya."

"Malah sebaliknya, makin lama semakin menarik," tukas Doyoung "Teruskan, Jun."

"Yah, polisi memeriksa sampai ke segala sudut puri, tapi diri Suzana sama sekali tidak ditemukan jejak selain surat itu. Tapi kemudian ternyata orang itu banyak sekali utangnya pada bank dengan jaminan rumah. Kemudian bank mengirimkan beberapa orang untuk mengumpulkan milik Suzana yang ada di rumah itu. Tapi entah kenapa - orang-orang itu sendiri juga tidak mengerti mereka makin lama semakin gelisah. Akhirnya mereka menolak menyelesaikan tugas itu. Kata mereka, mereka mendengar dan melihat beberapa hal yang sangat aneh. Tapi mereka tidak bisa melukiskannya dengan kata-kata. Akhirnya bank berusaha menjual puri dalam keadaannya saat itu beserta seluruh isinya. Tapi tidak bisa ditemukan orang yang mau tinggal di tempat itu, Apalagi membelinya! Semua yang masuk ke situ, setelah beberapa saat menjadi sangat gelisah. Seorang agen penjual rumah pernah mencoba menginap di situ semalam. Maksudnya hendak membuktikan bahwa semuanya hanya khayalan Semata-mata. Tapi tengah malam dia lari pontang-panting meninggalkan tempat itu. dia begitu ketakutan, dan lari terus sepanjang ngarai."

Doyoung mendengarkan dengan asyik. Mukanya yang tampan nampak berseri-seri. Tapi Jisung berkali-kali meneguk ludah.

"Teruskan laporanmu," kata Doyung pada Renjun, "Ini malah lebih baik dari sangkaanku semula."

"Setelah itu masih ada beberapa orang lagi yang mencoba menginap dalam puri itu," kata Renjun. "seorang orang gadis yang ingin menjadi bintang film pernah mencobanya, sebagai reklame untuk dirinya sendiri. Tapi belum lagi tengah malam ia sudah minggat lagi. Giginya gemeletuk ketakutan, sampai nyaris tidak bisa bicara. Ia hanya bisa terputus putus mengatakan ada bayangan biru dan kabut kengerian."

"Bayangan biru? Kabut kengerian?" Jisung menjilat bibirnya yang terasa kering. "Cuma itu saja? Tidak ada penunggang kuda tanpa kepala, atau hantu dengan rantai kemerincing, atau.."

"Kalau kaubiarkan Renjun menyelesaikan laporannya, kerja kita akan bisa lebih lancar." tukas Doyoung.

"Kalau untukku, Renjun hyung sudah selesai," gumam Jisung. "Aku tidak mau mendengar kelanjutannya."

Doyoung tidak mengacuhkan kawan yang gagah berani itu"Masih ada lagi. Jun?" tanyanya.

"Yah," kata Renjun, "cuma kejadian-kejadian sejenis. Misalnya saja keluarga terdiri dari lima orang yang baru datang dari Indonesia. Bank mereka boleh di situ selama setahun tanpa membayar sewa, apabila berhasil menyingkirkan hal yang menyeramkan itu. Tapi keluarga itu tak pernah terdengar lagi kabar beritanya, Mereka yah, mereka langsung lenyap tidak berbekas, pada malam pertama."

"Ada penjelmaan yang terjadi atau tidak?" tanya Jisung, "Barangkali suara mengerang, berkeluh-kesah, bayangan menakutkan atau sebangsanya?"

"Tidak, pada mulanya," jawab Renjun, "Tapi kemudian banyak! Suara mengerang di kejauhan, kadang-kadang nampak sosok tubuh samar menaiki tangga, dan sekali-sekali suara mendesah. Dari waktu ke waktu terdengar teriakan yang tidak jelas, kedengarannya kayak datang dari bawah puri. Banyak orang yang menceritakan bahwa mereka mendengar bunyi musik aneh dari sebuah orgel yang sudah rusak, di kamar musik, Lalu ada sejumlah orang yang berani bersumpah, mereka melihat sesosok tubuh menyeramkan bermain orgel. Mereka menamakannya Hantu Biru, karena menyerupai gumpalan kabut biru yang bersinar pendar."

"Tentunya segala penjelmaan aneh itu sudah diselidiki," kata Doyoung.

"Memang ada beberapa profesor datang ke situ untuk mengadakan penelitian," kata Renjun, setelah memeriksa catatannya sebentar, "Tapi mereka tidak mendengar atau melihat apa-apa. Cuma selama ada di tempat itu, mereka terus-menerus merasa gelisah. Cemas, Lalu setelah para profesor itu pergi, bank putus asa. Menurut pendapat mereka, puri itu takkan bisa dijual. Karenanya jalan ke situ ditutup dan puri dibiarkan begitu saja. Selama lebih dari dua puluh tahun, tak tercatat seorang pun yang tahan berada di tempat itu sepanjang malam. Ada artikel dalam majalah yang menceritakan, dulu kaum gelandangan pernah hendak memanfaatkan puri itu menjadi tempat penginapan. Tapi mereka pun tidak tahan lama-lama di situ. Cerita mereka macam-macam mengenainya, sehingga kini tak ada gelandangan yang berani mendekati tempat itu."

"Tahun-tahun belakangan ini sama sekali tidak ada berita tentang Terror Castle, baik dalam majalah maupun surat kabar," kata Renjun. Tempat itu tetap kosong sampai sekarang. Bank tidak bisa menjualnya, dan tak ada yang pernah ke sana, karena untuk apa?"

"Memang betul." kata Jisung, "Aku biar dibayar pun, tidak mau datang ke tempat seram itu."

"Walau begitu, kita akan ke sana - malam ini juga," kata Doyoung. "Kita berdua akan mendatangi Terror Castle dengan membawa kamera dan Tape recorder, untuk melihat apakah tempat itu masih ada hantunya atau tidak. Hasil penelitian kita akan kita jadikan dasar penyelidikan yang lebih lengkap. Tapi besar harapanku tempat itu masih tetap ada hantunya. Kalau benar begitu, tempat itu benar-benar cocok bagi Mr. Bong Joon-Ho untuk dijadikan lokasi pembuatan film seramnya yang berikutnya!"

Masih banyak lagi catatan Renjun tentang Terror Castle. Semua dibaca Doyoung dengan teliti, Jisung berulang kali mengatakan, biar dipaksa setengah mati pun dia tetap tidak mau pergi ke tempat seram itu. Tapi kenyataannya, dia sudah siap ketika tiba saatnya berangkat ke sana. Ta memakai pakaian yang sudah usang.

Renjun membawa buku catatan, lengkap dengan pensil, Doyoung menyandang kamera lengkap dengan lampunya, mereka mengatakan pada manager mereka dan member NCT lainya bahwa mereka hendak pesiar ikut Doyoung dengan Rolls-Royce yang dimenangkannya untuk tiga puluh hari meneger mereka kelihatannya berpendapat, asal Doyoung ada bersama mereka pasti semua beres. Kecuali itu mereka juga tahu bahwa di samping itu masih ada pula Kai exo, supir mobil mewah itu. Walaupun awalnya Haecan dan Jaemin memaksa ikut, tapi berkat meneger NCT yang mengatakan mobilnya tak cukup untuk menampung anggota lagi. Jadi mau tidak mau Haecan tetap di Asrama walau dengan muka yang di tekuk.

Begitu hari sudah gelap, mobil Rolls-Royce yang besar datang menjemput mereka.

"Baiklah, Master Doyoung," katanya singkat, dan mobil itu meluncur pergi.

Sementara kendaraan menyusur jalan yang berkelok-kelok di perbukitan. Doyoung memberikan instruksi terakhir pada kedua rekannya.

"Kunjungan ini gunanya untuk mendapat kesan pertama," katanya, "Tapi apabila nanti ada sesuatu yang luar biasa, aku akan memotretnya. Dan kalau terdengar bunyi apa saja, kau harus langsung merekamnya, Jisung."

"Paling-paling yang kedengaran nanti cuma suara gigi gemeletuk ketakutan," kata Jisung, sementara Kai membelokkan mobil, memasuki jalan sempit yang diapit tebing bukit yang curam.

"Kau, Renjun" kata Doyoung melanjutkan, "kau menunggu dalam mobil sampai kami kembali."

"Nah, tugas begitu yang kusenangi," kata Renjun lega. "Aduh, gelap sekali jalan ini!"

mobil terus menyusur jalan sempit berkelok-kelok, makin lama makin tinggi. Satu rumah pun tidak kelihatan di situ.

"Nama Castil Setan memang cocok untuk tempat yang di bagun di tempat seperti ini," kata Jisung,

"Gelapnya bukan main!"

"Di depan ada halangan rupanya," kata Doyoung.

Jalan sempit itu terhalang tumpukan batu besar dan kecil. Bukit-bukit di daerah situ tidak banyak ditumbuhi rumput. Yang ada cuma semak belukar. Jadi gampang sekali terjadi tanah longsor. Dan batu-batu yang berjatuhan ke jalan, menimpa palang yang rupanya dipasang di situ sebagai penghalang supaya jangan ada orang lewat.

Kai menghentikan mobil di tepi jalan.

"Saya rasa kita tidak bisa terus," katanya, "Tapi melihat google map, rasanya ngarai ini sudah hampir berakhir, Cuma beberapa ratus meter lagu di balik tikungan itu,"

"Terima kasih, Kai hyung, Yuk, Jisung- dari sini kita jalan kaki,"

Kedua remaja itu turun dari mobil.

"Sejam lagi kami kembali" seru Doyoung pada Kai, yang Sementara itu sudah sibuk memutar Rolls-Royce yang besar itu dengan hati-hati,

***

"Huh, tempat ini menyeramkan," kata Jisung, Suaranya terdengar agak gugup.

Doyoung diam saja. Sambil merunduk di samping Jisung, ia mengamat-amati keadaan di depan. Di ujung ngarai gelap dan sempit itu nampak samar bentuk suatu bangunan yang luar biasa, Bentuk menara beratap lancip nampak jelas, dengan latar belakang langit penuh bintang. Tapi yang kelihatan cuma itu saja. Selebihnya, kastil yang katanya berhantu itu sama sekali tidak nampak. Bangunan itu terletak di ujung ngarai sempit.

dibangun menempel pada tebing

"Sebetulnya lebih baik jika kita siang-siang saja ke sini," kata Jisung dengan tiba-tiba, "Supaya bisa melihat jalan dengan lebih jelas."

Doyoung menggeleng.

"Kalau siang, di sini tidak pernah terjadi apa-apa," katanya. "Hanya kalau malam saja tempat ini menyeramkan. Orang-orang yang datang ke sini, selalu kalau sudah malam rasanya seperti gila karena ketakutan."

"hyung lupa orang-orang dari bank itu," kata Jisung mengingatkan. "Lagipula, aku tidak kepingin menjadi gila karena ketakutan. Sekarang pun rasanya sudah setengah gila."

"Perasaanku juga begitu," kata Doyoung berterus terang, "Rasanya perutku seperti ada yang mengaduk-aduk."

"Kalau begitu lebih baik kita kembali saja," kata Jisung dengan perasaan lega, "Untuk malam ini udah cukup banyak yang kita lakukan. Kita harus kembali ke Markas Besar, menyusun rencana selanjutnya."

"Itu sudah kulakukan," kata temannya sambil bangkit. "Rencanaku, malam ini kita tinggal selama sejam dalam kastil Setan"

Sambil berkata begitu ia melangkah maju. Sorotan senternya membantu menerangi jalan di sela-sela batu besar kecil yang berserakan jatuh dari tebing ngarai terjal. Alas jalanan dari beton yang sudah retak-retak penuh dengan batu-batu. Setelah sangsi sesaat, Jisung bergegas menyusul.

"Kalau dari semula aku tahu akan begini jadinya, aku tidak mau menjadi penyelidik," gerutunya.

"Perasaanmu pasti akan lebih senang nanti, jika misteri ini sudah selesai kita selidiki," kata Doyoung padanya, "Bayangkan, betapa hebat reklame ini ini biro penyelidik kita"

"Tapi bagaimana jika nanti benar-benar berjumpa dengan hantu yang gentayangan di tempat ini ketemu Hantu Biru, Setan Edan atau entah apa namanya yang menghantui tempat ini?"

"Justru itu yang kuingini," kata Doyoung. Ditepuknya kamera yang tergantung pada lehernya. "Jika berhasil memotretnya dan merekam nya, pasti nama kita akan termasyhur!"

"Tapi bagaimana jika kita tertangkap olehnya?" tukas Jisung,

"Ssst!" desis Doyoung. Anak itu berhenti berjalan. Senter pun dipadamkannya dengan segera. Jisung tidak berani berkutik sedikit pun.

Kini kegelapan menyelubungi kedua remaja itu. Mereka melihat seseorang atau sesuatu, menuruni lereng bukit, menuju ke arah mereka,

Jisung cepat-cepat membungkuk. Sementara itu Doyoung bergegas menyiapkan kamera.

Bunyi batu-batu menggelinding tertendang kaki yang melangkah sudah dekat sekali, ketika tiba-tiba kegelapan dipecahkan pancaran lampu kamera yang dipegang Doyoung, Diterangi cahaya silau yang hanya sekejap itu. Jisung melihat sepasang mata besar dan merah bergerak dengan cepat meloncat ke arah mereka. Disusul angin sesuatu yang lewat, jatuh di atas beton jalanan lalu melesat pergi sambil meloncat loncat. Batu-batu kecil bergulingan, menyentuh kaki kedua remaja itu.

"Aduh! Rupanya cuma kelinci!" kata Doyoung. Dari nada suaranya terdengar bahwa ia kecewa. "dia takut karena kita."

"dia takut?" tukas Jisung. "Hyung kira perasaanku sekarang ini bagaimana?"

"Itu wajar - apabila syaraf yang sudah tegang menghadapi bunyi misterius dan gerakan mengejut dalam gelap." kata Doyoung. "Yuk, kita terus!" Ditariknya tangan Jisung, supaya ikut dengan dia. "Kita tidak perlu berhati-hati lagi sekarang Nyala lampu kameraku tadi pasti telah membuat hantu waspada - kalau di sini memang benar ada hantu."

"Bagaimana jika kita nyanyi sambil berjalan?" kata Jisung, sementara dia berjalan dengan segan-segan di samping hyungnya. "Kalau nyanyian kita cukup lantang, pasti takkan terdengar hantu itu mengerang dan berkeluh-kesah."

"Kita tidak usah bertindak keterlaluan," kata Doyoung tegas. "Kita ke sini karena memang hendak mendengar segala bunyi yang katanya selalu mengiringi kemunculan makhluk gaib. Misalnya saja, hantu!"

Doyoung sebetulnya hendak mengatakan, dia tidak kepingin mendengar segala bunyi itu. Tapi dia diam saja, karena tahu bahwa takkan ada gunanya. Jika Doyoung sudah menghendaki sesuatu, tekatnya pasti sudah bulat.

Mencoba membujuknya supaya mengubah pikiran, sulitnya sama seperti mencoba menggeser batu sebesar rumah. Semakin dekat mereka menghampiri rumah besar yang sudah tua itu, semakin tidak enak saja perasaan melihatnya. Nampak semakin besar, suram. Pokoknya menyeramkan. Jisung berusaha mengusir ingatan pada laporan Renjun tentang rumah tua itu.

Setelah agak lama menyusur tembok tinggi yang terbuat dari batu dan di sana-sini sudah runtuh, akhirnya kedua remaja itu memasuki pekarangan sebenarnya dari Terror Castle.

"Kita sudah sampai." kata Doyoung, dia berhenti, lalu mendongak.

Sebuah menara menjulang tinggi. Satu lagi, agak lebih pendek dari yang pertama, kelihatan seakan menatap mereka dengan pandangan masam.

Jendela-jendela memberi kesan seolah-olah mata yang buta, menatap langit dan mencerminkan kelipan bintang. Tiba-tiba ada sesuatu melayang, menyambar dekat kepala mereka.

Dengan cepat Jisung menunduk.

"Hii, kelelawar" teriaknya kaget.

"Kelelawar tidak makan manusia," kata Doyoung Mengingatkan

"Makanannya hanya serangga."

"Tapi siapa tahu, yang ini ingin mencicipi makanan lain? Kenapa kita harus mengambil resiko?"

Doyoung menuding ke arah gerbang besar dengan daun pintu penuh ukiran yang berada tepat di depan mereka. "Itu pintunya," katanya. Sekarang kita tinggal masuk, lewat situ."

"Coba aku bisa membujuk kakiku untuk melakukannya," kata Jisung,

"Soalnya kakiku ingin kembali ke bawah, Aku ingin pulanag."

"Kakiku juga begitu," kata Doyoung mengaku. "Tapi kakiku mematuhi perintah otakku, Yuk!"

Doyoung langsung melangkah maju. Jisung ikut, karena ia tidak mau membiarkan temannya itu masuk ke katil Setan seorang diri. Mereka menaiki jenjang yang terbuat dari batu pualam lalu berjalan di atas teras. Tapi ketika Doyoung sudah mengulurkan tangan untuk meraih tombol pintu, tiba-tiba Jisung menyambar lengannya.

"Tunggu!" desisnya. "Hyung dengar tidak? Itu - ada suara, seperti musik seram!"

Keduanya memasang telinga. Sesaat mereka mendapat kesan seperti mendengar beberapa nada aneh. Kedengarannya seperti datang dari tempat yang sangat jauh. Tapi hanya sekejap saja terdengar. Kemudian telinga mereka hanya menangkap suara-suara jangkrik, serta bunyi batu-batu yang sekali-kali jatuh ke ngarai.

"Ah, mungkin cuma ada dalam khayalan kita," kata Doyung. Padahal, dalam hati ia sama sekali tidak yakin, "Atau mungkin yang kita dengar itu berasal dari pesawat televisi dalam rumah yang mungkin ada di ngarai berikut. Bunyi itu sampai di sini karena terbawa angin, Barangkali begitu"

"Angin, katamu hyung?" gerutu Jisung dengan suara pelan. "Bagaimana kalau tadi itu bunyi orgel, dimainkan Hantu Biru?"

"Kalau benar begitu, kita perlu mendengarnya lebih jelas," kata Doyoung.

"Yuk, kita masuk!"

Diraihnya tombol pintu, lalu ditariknya. Pintu terbuka, training bunyi berdecit memanjang. Darah Jisung terasa seperti membeku dalam jantung, mendengar bunyi itu. Tanpa menunggu sampai seluruh keberanian mereka lenyap sama sekali kedua remaja itu langsung menuju ke lorong dalam yang panjang dan gelap, sambil menyorotkan cahaya senter ke depan.

Mereka melewati jajaran pintu yang terbuka, melewati berbagai ruangan gelap yang seakan-akan menghembuskan udara pengap ke arah mereka. Akhirnya sampai di sebuah serambi luas, yang langit-langitnya tinggi. Setinggi dua tingkat rumah biasa. Doyoung berhenti.

"Kita sudah sampai" katanya, "Ini serambi utama kastil. Kita satu jam di sini, lalu sesudah itu pergi."

"Pergi!"

Telinga mereka menangkap bisikan pelan dan menyeramkan, Bulu tengkuk mereka meremang.

TO BE CONTINUED

Nächstes Kapitel