webnovel

Sebuah Pertarungan Awal

BAB 14

Singapura, 12 Januari 2019

Rendy Ibrahim dan Aldo Morales mau berangkat ke Manila siang itu. Dari Medan, mereka harus terbang ke Singapura dulu, untuk transit ke pesawat yang nantinya akan membawa mereka ke Manila. Luka yang ada pada tubuh Aldo Morales belum sepenuhnya sembuh total. Untuk itulah ia berencana kembali ke Manila. Di kampung halamannya sendiri, rencananya ia akan bertapa untuk sementara waktu dan memulihkan diri sehingga kekuatannya bisa penuh kembali dan ia segera bisa melancarkan pembalasan dendamnya.

Stella… Stella… Tunggulah sebentar… Sebentar lagi diriku akan pulih total dan kekuatanku akan pulih kembali… Untuk membalaskan dendammu… Untuk membalaskan dendammu…

Setelah melewati berbagai pemeriksaan dan cap paspor, akhirnya keduanya tiba di ruang tunggu. Alangkah terhenyaknya Rendy Ibrahim melihat pemandangan yang ada di hadapannya. Dia sungguh tidak menyangka akan menjumpai tiga musuh dan saingan utamanya di ruang tunggu. Dia mencegat lengan Aldo Morales sejenak. Aldo Morales juga membelalakkan matanya tatkala ia melihat sosok 3E kini sudah berkumpul kembali dan bercanda ria di ruang tunggu bandara Singapura.

"Sialan! Benar-benar sial! Mereka sudah kembali berkumpul rupanya! Dan, akan… akan segera kembali ke Medan…!" kata Rendy Ibrahim membelalakkan matanya, tidak bisa mempercayai penglihatannya sendiri.

"Mereka bercanda ria di sana… Sementara kini Stella sudah terbaring di alam kubur yang gelap, tanpa cahaya, dan tanpa harapan… Tanpa canda tawa dan keceriaannya lagi… Sungguh terlalu…! Sungguh terlalu! Aku tidak bisa menerima semua ketidakadilan ini…! Tidak bisa…!" kata Aldo Morales dengan gigi-giginya yang bergemeretak.

Aldo Morales siap siaga dengan kedua tangannya. Kelihatannya ia akan segera mengeluarkan jurus-jurus kekuatannya. Rendy Ibrahim menahannya.

"Apa yang akan kaulakukan, Aldo? Kau tahu jelas dengan adanya 3E berkumpul bersama-sama, kita takkan bisa mengalahkan mereka."

"Lepaskan aku! Aku tidak akan mendengarkan semua perkataanmu lagi, Rendy! Menyuruh Stella maju ke medan perang, untuk memisahkan dan memecah belah 3E, semua itu juga adalah rencanamu. Buktinya apa hasilnya sekarang! Apakah kita berhasil! Jelas Stella hanya mati sia-sia sebagai korban dari ketololanmu itu! Minggir kau!" hardik Aldo Morales menepiskan tangan Rendy Ibrahim.

Rendy Ibrahim memekik lembut, "Dengarkan aku dulu, Aldo! Untuk mengalahkan 3E, kita memerlukan rencana lain yang lebih tangguh! Kau jangan bertindak gegabah!"

Dengan hanya menembakkan jari tengah dan jari ibunya, satu jarum warna hitam pekat berhasil ditembakkan oleh Aldo Morales ke arah 3E. Pas pada saat itu, Erdie Vio ingin minum. Pas ketika dia mengangkat botol minumnya, jarum hitam pekat menancap pada botol minum. Botol minum itu langsung menghitam dan hancur lebur sebagai bubuk-bubuk hitam. Terhenyak bukan main 3E menyaksikan pemandangan yang terjadi tepat di hadapan mereka.

"Hah? Ada apa ini?" pekik Erdie Vio memundurkan kursinya dan langsung berdiri sejenak.

"Aldo Morales…!" hardik Erwie Vincent begitu ia melihat langsung dari mana jarum hitam pekat tersebut berasal. Erwie Vincent segera menerjang ke depan, mengejar Rendy dan Aldo yang sudah mengambil langkah seribu.

"Hah? Siapa Aldo Morales?" Erick Vildy berada di batas keterkejutan dan kebingungan. "Tunggu, Wie…! Kau mau ke mana?"

"Tunggu, Wie! Tunggu kami!" teriak Erdie Vio.

Erick Vildy dan Erdie Vio segera menyusul saudara tengah mereka.

"Hah? Bukankah tadi itu adalah si Rendy Ibrahim yang berasal dari tim Gagak Hitam, Mel?" tanya Sabrina Marcelina terkesiap di tempatnya.

Melisa Rayadi juga bergidik ngeri di tempatnya, "Jadi… Jadi… Jadi si Rendy Ibrahim itu juga memiliki semacam kekuatan aneh nan misterius, sama seperti 3E kita? Apa sebenarnya yang telah terjadi di sini?"

Tiga wanita yang berada di kamar mandi segera terperanjat ketika menyadari orang-orang di sekitar mereka seakan-akan membeku di tempat masing-masing. Sama sekali tidak ada yang bergerak, bahkan air bisa berhenti di udara dan benda-benda kecil bisa melayang di udara. Ketakutan dan kepanikan segera menggeliat hidup.

"Hah? Semuanya seakan-akan membeku dan berhenti total di tempat masing-masing," Melisa mulai terhenyak.

"Ada apa ini? Ada semacam kekuatan misterius yang menyelimuti seluruh dimensi ini. Semacam penghentian waktu… Tapi, kenapa hanya kita saja yang tidak membeku dan berhenti total ya?"

"Astaga! Teman-teman…!" teriak Julia Dewi dari luar. "Tiga E sudah tidak berada di tempat yang tadi."

Melisa Rayadi dan Sabrina Marcelina segera berhamburan keluar dari kamar mandi. Benar adanya… Tiga E sudah tidak lagi berada di ruang tunggu.

"Hah…? Apa yang terjadi?" pekik Melisa lagi memutar kepalanya ke kanan dan ke kiri.

"Ke mana mereka?" pekik Sabrina Marcelina menepuk jidatnya beberapa kali.

Tiga E terus melakukan pengejaran sampai di lantai dua bandara. Menyadari bahwa orang-orang yang ada di sekitar mereka telah berhenti total dan membeku di tempat masing-masing, 3E mulai sadar, Rendy Ibrahim dan Aldo Morales ternyata juga memiliki semacam kekuatan aneh nan misterius, sama seperti kekuatan mereka.

"Berhenti, Rendy Ibrahim!" teriak Erick Vildy dari belakang. Pengejaran terus berlangsung.

"Berhenti! Siapa sebenarnya kalian?" teriak Erdie Vio.

Hanya Erwie Vincent yang terus mengejar tanpa berkata apa-apa lagi. Dengan menghentakkan kakinya ke lantai, sinar kuning mulai keluar dari badannya. Erwie Vincent melesat ke depan dengan kecepatan penuh. Erick Vildy dan Erdie Vio juga melakukan hal serupa. Dalam hanya beberapa detik, kedua tersangka akhirnya terkejar. Dengan satu tapak, satu serangan berhasil didaratkan 3E di punggung Rendy Ibrahim dan Aldo Morales. Kedua tersangka terpelanting ke depan.

Aldo Morales menyadari tidak ada jalan lari lagi. Dia berbalik arah dan membuka sepasang tangannya. Beribu-ribu jarum kecil warna hitam terbang melesat ke arah Erwie Vincent. Erwie Vincent tentu saja terperanjat bukan main karena ia tidak menyangka Aldo Morales akan balik menyerang semendadak itu.

"Awas, Wie…!" teriak Erick Vildy dari belakang.

"Jarum itu mengerikan, Wie!" teriak Erdie Vio dari belakang juga.

Erick Vildy ingin menghadang jarum-jarum hitam pekat tersebut dan melindungi adik pertamanya. Namun, si adik bungsu yang lebih gesit, langsung melesat ke depan seorang diri dan menghadang jarum-jarum hitam itu sendirian. Tak ayal lagi, dengan satu pekikannya yang melengking tinggi, Erdie Vio terhempas ke lantai dengan darah merah segar yang muncrat dari mulutnya.

"Die!" teriak Erwie Vincent segera menghampiri adiknya.

"Ini kesempatan bagus buat kita, Aldo!" kata Rendy Ibrahim dengan sebersit senyuman sinisnya. Dia segera melesat ke depan.

Tangan Rendy Ibrahim dan Erick Vildy beradu beberapa kali dengan kecepatan penuh. Namun, seberapa cepat pun tangannya, Rendy Ibrahim tidak bisa menandingi kecepatan tangan Erick Vildy. Dia tampak mulai kewalahan. Aldo Morales membuka kembali sepasang tangannya dan banyak sekali pisau terbang melesat ke arah 3E. Mata Erick Vildy kontan membesar menyadari kedua adiknya berada dalam bahaya. Dengan sekali pukul, ia berhasil mematahkan serangan Rendy Ibrahim. Dengan mengarahkan sinar merahnya ke lantai, lantai pecah dalam satu garis lurus. Lantai yang pecah akhirnya mencapai tempat Rendy Ibrahim berdiri. Laki-laki muda itu terhempas mundur dan menghantam dinding yang ada di belakangnya. Tampak darah merah segar mulai menodai bajunya.

Erick Vildy sedikit memiringkan tubuhnya ke kanan. Alhasil, beberapa pisau terbang milik Aldo Morales mengenai tubuhnya. Erick Vildy mundur secara sempoyongan dan tampak juga darah merah segar segera muncrat dari mulutnya.

"Rick…!" teriak kedua adiknya berbarengan.

Kali ini Erwie Vincent yang maju ke depan, menerjang maju dengan kecepatan penuh ke arah Aldo Morales. Terjadilah baku hantam, laga tangan dan kaki di antara kedua orang itu. Namun, Aldo Morales yang kalah gesit dari Erwie Vincent harus mengakui kekalahannya. Dengan sekali tendangan, Erwie Vincent berhasil mengirim tubuh Aldo Morales ke pot bunga besar yang ada di tengah koridor besar tersebut. Pot bunga pecah berkeping-keping di lantai. Dengan sekali tendangan lagi, tubuh Aldo Morales menghantam lampu hias yang bergelantungan di atas langit-langit. Lampu hias juga bernasib sama seperti pot bunga.

Erwie Vincent segera berlari menghampiri kedua saudaranya yang kini sudah berdiri dengan tertatih-tatih.

"Rick! Die! Kalian harus mengeluarkan kekuatan kalian juga! Dengan menggabungkan kekuatan kita bertiga, aku yakin luka kalian bisa sembuh dan racun-racun jahat itu bisa kita kembalikan ke dia!" kata Erwie Vincent dengan sepasang matanya yang mendelik tajam ke Aldo Morales.

Erick Vildy dan Erdie Vio membuka sepasang tangan mereka. Sinar merah dan sinar hijau mulai berpendar. Aldo Morales yang masih terkapar tidak berdaya di lantai, hanya bisa menyaksikan adegan tersebut dengan matanya yang terbelalak lebar. Erwie Vincent mengayunkan tangannya dari belakang. Tapak sinar kuning didaratkannya ke punggung kedua saudaranya. Tiga sinar bergabung menjadi satu. Benar juga… Jarum-jarum kecil dan pisau-pisau terbang tadi keluar lagi dari tubuh Erdie Vio dan Erick Vildy, dan kini bergerak dengan kecepatan penuh ke arah Aldo Morales.

Aldo Morales terkena hantaman kekuatannya sendiri. Dia terhempas jauh sampai ke dinding paling belakang. Begitu menghantam dinding, tampak Aldo Morales yang terkulai lemas tidak sadarkan diri di lantai.

Rendy Ibrahim membelalakkan matanya menyaksikan kondisi Aldo Morales yang kini bagaikan telur di ujung tanduk. Dia tahu mereka takkan bisa menang dari 3E. Dengan sekali sapuan tangan, keluarlah seberkas sinar hitam dari tubuhnya, membawanya dan Aldo Morales menghilang dari tempat itu.

Hening seketika. Tapi waktu masih berhenti. Semua benda dan orang yang ada di sekitar mereka masih membeku di tempat masing-masing.

Erwie Vincent menyentuh bahu kedua saudaranya. Ketiganya berubah menjadi sinar warna masing-masing. Tiga sinar warna melesat pergi dari tempat itu dan masuk ke dalam suatu kamar mandi yang terdekat.

Tiga sinar warna berubah kembali menjadi sosok 3E.

Tiga E saling berpandangan. Ketiga-tiganya sama-sama membuka mulut dan berucap, "Kalian tidak apa-apa?"

Mulai terbit air mata Erwie Vincent. Dia tidak banyak berpikir lagi. Segala macam emosi dan perasaannya meluap ke permukaan. Dia meraih kedua saudaranya ke dalam sepasang tangannya.

"Aku tidak tahu… Aku tidak habis pikir kenapa lima tahun lalu aku bisa mencurigai kalian sebagai pembunuh Stella Kuangdinata. Aku tidak habis pikir kenapa lima tahun lalu aku bisa sebodoh itu, bisa melepaskan kedua saudaraku begitu saja, kedua saudaraku yang teramat sangat berharga bagiku. Maafkan aku, Rick, Die…" air mata tampak mengalir deras dari sepasang mata Erwie Vincent.

"Aku juga ingin minta maaf pada kalian berdua, Wie, Die… " air mata Erick Vildy juga tidak terbendung lagi. "Maafkan aku tidak bisa berpikir jernih, sehingga bisa mencurigai kalian sebagai pembunuh lima tahun lalu. Maafkan aku… Dalam pertarungan melawan Rendy Ibrahim dan satu temannya tadi, aku sadar aku hampir kehilangan kalian berdua lagi untuk yang kedua kali. Aku bersumpah pada diriku sendiri, takkan ada lagi perpisahan di antara kita bertiga."

"Aku juga ingin minta maaf, Rick, Wie…" kali ini, tampak Erdie Vio yang menangis dalam pelukan kedua saudaranya bak anak kecil. "Kesendirianku selama lima tahun ini sudah cukup. Aku tidak akan melepaskan kebersamaan ini lagi. Kali ini bertemu kembali, aku berjanji pada diriku sendiri, kelak takkan ada satu pun permasalahan di dunia ini yang bisa memisahkan kita lagi."

Tiga E saling mengiyakan dan menerima permintaan maaf ketiganya.

Erwie Vincent membuka bajunya sendiri. Kemudian, ia membuka baju kedua saudaranya. Tampak Erdie Vio yang menderita luka pada perutnya, dan Erick Vildy yang menderita luka pada pinggangnya.

"Dengan menggabungkan kekuatan kita bertiga, takkan ada yang tidak mungkin, Rick, Die… Asalkan kita saling mempercayai, tidak ada yang tidak bisa kita lakukan…" kata Erwie Vincent.

"Oke, Wie…" sahut Erick Vildy.

"Kita saling mempercayai…" tukas Erdie Vio.

Sinar kuning pada tubuh Erwie Vincent mulai berpendar. Begitu juga dengan sinar merah pada tubuh Erick Vildy, dan sinar hijau pada tubuh Erdie Vio. Ketiga sinar warna makin lama makin terang. Akhirnya naik ke udara, dan bergabung di satu titik. Tiga sinar warna jatuh kembali menerpa tubuh 3E sebagai hujan meteor mini.

Beberapa detik pun berlalu. Kembali tiga sinar warna menyelimuti tubuh 3E dengan warna masing-masing. Makin lama makin redup… Ketika tiga sinar warna padam total, kembali 3E membuka mata masing-masing. Hilang total sudah luka pada perut Erdie Vio dan pada pinggang Erick Vildy.

Erwie Vincent tampak berkeringat dingin banyak sekali, karena memang dialah yang mengeluarkan paling banyak energi untuk menyembuhkan luka pada tubuh kedua saudaranya. Tampak badan Erwie Vincent yang langsung lemas dan melorot ke lantai. Erick Vildy dan Erdie Vio memapahnya.

"Wie… Kau baik-baik saja?" tanya Erick Vildy tampak sangat cemas.

"Wie… Ada apa?" tanya Erdie Vio juga tampak sangat khawatir.

"Jangan khawatir, Rick, Die… " kata Erwie Vincent masih menampilkan senyumannya yang lemah lembut. "Aku agak capek karena mungkin tadi aku mengeluarkan banyak energi dan tenaga."

"Jangan khawatir," kata Erick Vildy bertukar pandang dengan Erdie Vio sejenak.

"Aku dan Erick akan memulihkan energi dan tenagamu kembali," ujar Erdie Vio.

"Jika… Jika itu tidak merepotkan kalian," sahut Erwie Vincent masih dengan senyuman santainya.

Si saudara tengah memejamkan matanya. Sinar merah dan sinar hijau kembali mulai berpendar. Dengan dua tapak sinar, kedua sinar tersebut disalurkan ke dalam tubuh si saudara tengah. Tampak energi yang mengalir masuk ke dalam tubuh Erwie Vincent sedikit demi sedikit. Beberapa detik berlalu. Perlahan-lahan sinar merah dan sinar hijau mulai meredup dan akhirnya padam total.

Erwie Vincent membuka matanya kembali.

"Bagaimana?" tanya Erick Vildy.

"Apa yang kaurasakan sekarang?" sahut Erdie Vio.

"Thanks banget, Rick, Die… Sudah kembali ke saat sebelum kita bertarung melawan Rendy Ibrahim dan Aldo Morales itu…" senyuman santai kembali menghiasi bibir si saudara tengah.

"Jangan bilang begitu. Tadi kau juga menghabiskan banyak energi untuk mengeluarkan racun-racun jahat itu dari tubuhku dan tubuh Erick, dan kau juga telah menyembuhkan lukaku dan luka Erick secara total. Impas kita berarti…" kata si saudara bungsu.

Si saudara tengah memandangi kedua saudaranya dengan pandangan penuh persaudaraan, "Karena nama kita hampir sama, Rick, Die… Dengan nama-nama yang hampir sama itu, itu berarti persaudaraan kita akan mampu mengalahkan segalanya bukan? Apalah artinya racun-racun yang tidak seberapa tadi. Kita bahkan bisa mengalahkan Rendy Ibrahim dan Aldo Morales jika kita menggabungkan kekuatan kita seperti tadi."

"Yah, jawaban yang sama juga berlaku bagimu, Wie. Apalah artinya kekurangan energi. Kau bisa memintanya dari kami," tukas si saudara sulung. "Oh ya… Ngomong-ngomong, kau kenal dengan si Aldo Morales itu?"

"Ya… Rekan kerjaku di hotel di Los Angeles sana. Kudengar dia berasal dari Manila, Filipina. Waktu di Los Angeles, dia sudah pernah mencoba menyerangku dan Julia. Dengan kekuatan cinta kami, kami berhasil mengalahkannya. Tidak kusangka aku akan kembali bertemu dengannya di sini. Lebih tidak kusangka lagi, ternyata si Aldo Morales ini mengenal Rendy Ibrahim."

Saudara sulung dan saudara bungsu mangut-mangut mendengarkan penuturan si saudara tengah.

"Jelas sekarang selain kita bertiga, masih ada dua orang lagi yang juga berkekuatan aneh nan misterius seperti kita. Hanya saja, kekuatan mereka itu adalah kekuatan gelap dengan warna hitam pekat," kata si saudara sulung dengan kerutan yang dalam di dahinya.

"Aku jadi agak lega sekarang."

"Kenapa memangnya, Die?" tanya si saudara tengah ke saudara bungsu.

"Dengan demikian, yang bisa menempati posisi pembunuh Stella Kuangdinata lima tahun lalu bukan hanya kita bertiga. Aku yakin kali ini kita akan berkesempatan untuk bisa membuktikan siapa sesungguhnya yang telah melenyapkan nyawa perempuan itu."

Saudara sulung dan saudara tengah menganggukkan kepala mereka mendengarkan penuturan si saudara bungsu.

"Oke… Sudah saatnya kita buka kembali gelombang waktunya, Wie, Die," kata Erick Vildy.

"Dan seisi bandara ini pasti panik melihat sisa-sisa pertarungan kita tadi," sambung Erdie Vio.

"Tidak ada pilihan, Die, Rick… Mereka tetap harus panik, dan akan tetap penasaran tentang apa yang menyebabkan kehancuran di koridor depan," sambung Erwie Vincent.

Tiga E menyapukan tangan mereka ke udara. Benar saja… Detik-detik berikutnya sudah mulai terdengar jeritan beberapa wanita dan anak perempuan di koridor depan. Ketika mereka keluar dari kamar mandi, tampak ketiga kekasih mereka sedang berlari-larian di sepanjang koridor. Tampak kepanikan dan ketakutan menghiasi wajah ketiga wanita tersebut.

Begitu melihat 3E, masing-masing dari ketiga wanita tersebut berlari menerjang ke pelukan kekasih masing-masing.

"Kau baik-baik saja?" tanya Melisa Rayadi. Erick Vildy mengangguk dan membelai kepala sang pujaan hati.

"Sampai begini, Wie…" kata Julia Dewi membelalakkan matanya melihat sisa-sisa pertarungan 3E dengan Rendy Ibrahim dan Aldo Morales. "Astaga, Buddha… Kau baik-baik saja…?"

"Sudah tidak kenapa-kenapa, Jul. Kali ini ada kedua saudaraku, takkan ada yang bisa mencelakai kami, Jul. Tenang saja…" kata Erwie Vincent masih dengan senyuman santainya.

"Ternyata Rendy Ibrahim juga memiliki kekuatan yang sama seperti kalian ya?" tanya Sabrina Marcelina bergidik ngeri menyaksikan kehancuran yang ada di hadapannya.

"Ya, hanya saja kekuatannya itu adalah kekuatan gelap dengan warna hitam pekat, Rin. Tapi, tenang saja. Erick dan Erwie sudah ada di sini. Dengan kami bertiga di satu tempat yang sama, semuanya akan baik-baik saja," kata Erdie Vio dengan senyumannya yang penuh dengan semangat dan antusiasme.

Detik-detik berikutnya dilalui dengan perkenalan Julia Dewi dengan dua saudara kekasihnya, yang selama ini hanya dia dengar dari cerita-cerita sang pangeran pujaan, dan sekarang baru berkesempatan melihat kedua orangnya secara langsung.

***

"Faiz… Faiz… Coba telepon salah satu dari mereka bertiga lagi… Ini sudah hampir jam empat sore. Kok belum sampai rumah?" kata Nyonya Florencia kepada suaminya. Dia mulai resah karena sudah hampir jam empat sore, tapi belum ada tanda-tanda ketiga anaknya sampai rumah.

"Tadi mereka kan sudah telepon dan bilang sudah sampai di Kualanamu, Flor… Kau santai sedikit kenapa memangnya?" ujar sang suami meneguk tehnya. "Ketiga anak kita sudah dewasa. Mereka bukan anak remaja lagi. Lagipula, mereka itu berbeda dengan anak-anak biasa pada umumnya. Jadi, aku rasa kau tidak perlu khawatir."

"Aku sudah penasaran sekali kira-kira siapa ketiga wanita yang bakalan menjadi calon menantuku," tukas Nyonya Florencia dengan wajahnya yang sedikit merengut.

"Mungkin mereka nongkrong makan entah di mana dulu sebelum pulang. Bersabarlah… Tidak lama lagi rasa penasaranmu akan ditebus…" kata sang suami lagi.

Baru saja Nyonya Florencia mau membuka mulutnya lagi ketika ia mendengar suara klakson mobil di luar. Tampak sang pembantu yang sudah membukakan pintu pagar. Pak Faiz dan Nyonya Florencia deg-degan duduk di ruang tamu. Sejurus kemudian, sudah tampak wajah 3E secara berbarengan di ruang tamu. Senyum merekah di bibir ketiganya. Di belakang 3E, tampak tiga bidadari yang cantik, anggun, nan mempesona, bak bidadari asli yang turun dari khayangan.

"Pa… Ma… Kami sudah kembali…" kata 3E secara serempak.

Pak Faiz tersenyum terharu. Nyonya Florencia tidak bisa membendung keharuannya lagi. Dia menerjang ke depan dan memeluk ketiga anaknya. Air mata seorang ibu menetes turun dan membasahi baju ketiga anak laki-lakinya, tiga anak laki-laki yang sangat dibanggakan dan berharga baginya.

"Akhirnya 3E Mama kembali ke pangkuan Mama… Akhirnya… Akhirnya rumah ini akan kembali dipenuhi dengan canda tawa dan keceriaan seperti dulu… Akhirnya kebersamaan akan kembali terasa di rumah ini, Rick, Wie, Die…" kata Nyonya Florencia tidak bisa menahan keharuannya lagi.

"Iya, Ma…" kata Erdie Vio.

"Kami juga sudah saling berjanji…" lanjut Erwie Vincent.

"Apa pun yang terjadi di masa depan, kami akan tetap bersama dan tidak akan terpisahkan lagi," sambung Erick Vildy.

Keharuan Nyonya Florencia mencapai klimaksnya. Dia mengangguk-ngangguk mantap sembari membiarkan air mata keharuannya tetap bergulir turun. Bagaikan menemukan kembali tempat yang pernah ia tinggalkan, laksana jiwa-jiwa pepohonan muda di dalam hutan belantara, bak sinar matahari pukul empat sore di belahan langit utara, Pak Faiz dan Nyonya Florencia tahu ketiga anaknya telah berbaikan kembali dan kembali seperti sedia kala. Serasa-rasa ada bunyi-bunyian manis yang diturunkan dari khayangan belahan ketujuh.

Gantian 3E memeluk ayah mereka secara bergantian.

"Pa… Kami sudah pulang…" kata 3E berbarengan.

"Iya… Papa tahu kalian akan bisa menyelesaikan permasalahan kalian sendiri. Meski ada perpisahan, Papa tahu perpisahan itu akan bisa membuat kalian belajar lebih banyak lagi tentang persahabatan dan persaudaraan."

Tiga E mengangguk mantap. Kehangatan kembali mencairkan aliran udara yang sudah lama membeku di dalam rumah tersebut. Pak Faiz mulai bisa merasakan riak-riak keceriaan dan kebahagiaan yang perlahan-lahan menggeliat hidup. Kehangatan bukan hanya mengulang segala kenangan manis di masa lalu, tetapi juga seakan berlagu menyongsong harapan baru dari hari esok. Pak Faiz bernapas lega karena semuanya telah kembali seperti sedia kala.

Semuanya mulai duduk di ruang tamu. Kembali kehangatan dan keceriaan menggelimuni seisi ruang tamu. Tampak pembantu keluar menghidangkan jus semangka, jus nenas dan jus melon untuk 3E. Sementara masing-masing Melisa Rayadi, Julia Dewi dan Sabrina Marcelina dihidangkan jus jeruk campur dengan wortel. Tampak jelas si pembantu sudah hafal betul apa-apa saja kesukaan dari ketiga tuan mudanya.

"Ini siapa? Cantik sekali…" kata Nyonya Florencia memperhatikan sosok Julia Dewi.

"Perkenalkan, Pa, Ma… Ini Julia… Julia Dewi Sofia Luvin… Campuran Amerika dan Singapura. Jadi, aku rasa kalian harus berbahasa Mandarin atau Inggris dengannya. Bahasa Indonesianya belum begitu lancar…" kata Erwie Vincent dalam bahasa Mandarinnya yang juga sangat fasih.

Julia Dewi menepuk gemas lengan sang pangeran pujaan.

"Halo, Oom… Halo, Tante… Aku Julia…" kata Julia Dewi dalam bahasa Mandarin.

Pak Faiz hanya tersenyum cerah.

"Aduh cantiknya…" kata Nyonya Florencia dengan senyuman cerahnya. "Maaf jika selama beberapa tahun belakangan ini Erwie sudah merepotkanmu di sana, Julia…"

Erwie Vincent dan Julia Dewi meledak dalam tawa renyah.

"Tidak apa-apa, Tante," kata Julia sembari sedikit menunduk dan tersipu malu.

"Ini… Ini bukankah Melisa dan Sabrina yang waktu itu juga ikut bergabung dalam tim Solidaritas Abadi?" tanya Pak Faiz.

"Iya, Faiz… Ini Melisa dan Sabrina kan?" sahut Nyonya Florencia membetulkan asumsi suaminya. "Jadi selama lima tahun ini kalian menyusul Erick dan Erdie ke luar negeri?"

"Iya, Oom… Iya, Tante…" jawab Melisa dan Sabrina berbarengan. Keduanya tampak agak tersipu malu.

"Aduh, Oom dan Tante sungguh merasa bersalah pada kalian berdua jadinya. Apakah Erick dan Erdie susah diurus di sana, Mel, Rin…?" tanya Pak Faiz sedikit berseloroh.

Erick Vildy dan Erdie Vio meledak dalam tawa mereka.

"Tidak susah sih, Oom, Tante…" Melisa Rayadi bertukar pandang sesaat dengan Sabrina Marcelina. "Yang susah itu adalah menyakinkan mereka untuk reunian dan bertemu kembali."

"Iya, Oom, Tante… Tapi walau sulit, aku rasa sekarang aku dan Melisa sudah berhasil dalam salah satu misi kami," kata Sabrina Marcelina sedikit menunduk dan tersipu malu.

"Tidak apa-apa," sahut Nyonya Florencia. "Misi kalian yang selanjutnya adalah menikah dengan Erick dan Erdie bukan? Tidak apa-apa… Misi itu akan Tante bantu…"

Tampak Erick Vildy dan Erdie Vio yang terkesiap di tempat masing-masing. Melisa Rayadi dan Sabrina Marcelina tampak tersipu malu lagi.

"Begitu juga dengan Julia… Oke ya… Kedua orang tuamu di sana juga sudah mengenal Erwie dan juga sudah setuju dengan hubungan kalian bukan?" tanya Nyonya Florencia langsung memberondong tanpa ampun.

"Sudah sih, Tante…" jawab Julia Dewi juga sedikit menunduk dan tersipu malu. Tampak rona merah delima pada kedua belahan pipinya.

Erwie Vincent terkesiap di tempatnya.

"Tidak secepat itu deh, Ma," potong Erick Vildy kali ini. "Ini Mama langsung bilang mau menikah, padahal Mama belum tanya anak gadis orang sudah siap atau belum mau menikah dengan kami bertiga, Ma…" ujar Erick Vildy meneguk jus semangkanya.

Erdie Vio melanjutkan penuturan abang sulungnya, "Iya, Ma… Kan keluarga Sabrina dan Melisa belum tahu bahwa mereka berpacaran denganku dan dengan Erick. Ya kami harus menunjukkan kepada keluarga mereka dulu dong bahwa kami ini calon suami yang layak bagi mereka," kata Erdie Vio sembari meneguk jus melonnya.

"Iya loh, Ma… Aku bawa Julia ke sini karena memang ingin meminta persetujuan Papa & Mama dulu soal hubungan kami… Soal menikah, aku juga belum melamar Julia secara resmi di hadapan kedua orang tuanya loh, Ma. Jangan terlalu terburu-buru deh, Ma…" kata Erwie Vincent tersenyum santai dan meneguk jus nenasnya.

"Jadi Mama harus tunggu sampai kapan baru bisa melihat kalian bertiga berkeluarga?" tanya Nyonya Florencia berkacak pinggang.

Tiga wanita tersebut tersenyum simpul menahan tawa melihat sikap Nyonya Florencia yang kadang bisa sangat kocak dan terbuka.

"Yang akan menikah toh bukan kau, melainkan ketiga anakmu, Flor. Bersabarlah sebentar…" tepis Pak Faiz melerai. "Toh pada akhirnya nanti mereka bertiga akan menikah. Apa sebenarnya yang sedang kaukejar di sini sih?"

"Iya… Iya… Aku tahu, Faiz… Biarkan segalanya mengalir mengikuti air dan angin… Iya kan?" kata Nyonya Florencia merapatkan bibirnya, akan tetapi detik berikutnya, ia sudah tampak ceria dan terbuka, "Mari, Mel, Jul, Rin… Diminum jusnya…"

"Terima kasih, Tante…" jawab ketiganya serempak.

Percakapan-percakapan selanjutnya sudah mengenai kehidupan 3E di tiga negara yang berbeda selama lima tahun belakangan ini, dan berkisar seputar rencana-rencana mereka ke depannya, dan apa yang akan mereka lakukan terhadap sanggar Solidaritas Abadi ke depannya.

Kembali keceriaan dan kehangatan menggelimuni seisi ruang tamu.

Nächstes Kapitel