webnovel

Sebuah Ramalan

BAB 10

Medan, 8 November 2018

Begitu sang biksuni menarik nada awal dari gatha pengembangan jasa-jasa, para pemukul alat bunyi-bunyian yang menyertainya bersiap-siap dan mengambil ancang-ancang. Begitu sang biksuni sudah masuk ke huruf yang kedua, maka semua alat bunyi-bunyian pengiring kebaktian pun berbunyi.

Hari ini adalah hari ulang tahun Erdie. Oh, Buddha. Lindungilah dia di mana pun ia berada. Katanya Januari tahun depan sudah mau balik ke Medan. Pulang ke Medan lebih baik, Nak… Tinggal bersama Papa dan Mama… Jangan menghadapi kerasnya dunia luar sana sendirian, Nak…

Ternyata Nyonya Florencia Quincy juga ikut kebaktian siang itu. Hanya saja, ia datang terlambat.

Sang biksuni melantunkan gatha tersebut sampai dengan huruf yang terakhir. Akhirnya semua alat bunyi-bunyian berhenti berbunyi. Setelah bersujud tiga kali, kebaktian pun selesai. Sang biksuni dan para pemukul alat bunyi-bunyian turun dari atas altar. Para umat kebaktian pun bubar barisan baris demi baris.

Sang biksuni bisa melihat dari atas altar Nyonya Florencia datang terlambat hari itu. dengan senyuman cerah nan hangat, ia menghampiri Nyonya Florencia.

"Kenapa bisa sampai terlambat, Nyonya Florencia? Biasanya tanggal satu lunar begini, Nyonya Florencia datang pagi-pagi dan bermeditasi sebentar di lantai atas baru mengikuti kebaktian. Hari ini kok bisa terlambat?"

"Tadi pagi ketika mau datang ke sini, anakku yang bungsu telepon, Suhu. Dia mau balik ke Medan Januari tahun 2019 mendatang," kata Nyonya Florencia juga dengan senyuman cerah nan hangat.

"Yang bungsu? Erdie Vio ya kalau tidak salah?" tanya sang biksuni. "Sudah lupa-lupa ingat aku soalnya…"

"Iya, Suhu… Erdie Vio…" jawab Nyonya Florencia.

"Hmm…" tampak sang biksuni menekur beberapa saat lamanya. Memang sang biksuni terkenal dengan ramalan dan prediksinya yang 80% mendekati kebenaran. "Ada sesuatu yang ingin kautanyakan?"

Nyonya Florencia terkagum-kagum dengan kemampuan alam bawah sadar sang biksuni. Belum saja ia mengutarakan maksud kedatangannya, sang biksuni sudah terlebih dahulu mengetahuinya.

"Sudah lima tahun lamanya ketiga anakku terpisah di lain-lain tempat, Suhu. Mereka tidak saling bicara satu sama lain. Mereka bertengkar hebat karena suatu kesalahpahaman lima tahun lalu. Tahun depan, ketika anakku yang bungsu ini balik ke Medan, aku berharap dua abangnya itu juga bisa menyusul ikut balik ke Medan. Kira-kira… apakah keinginanku itu bisa terwujud, Suhu?"

Sang biksuni agak ragu memberikan jawabannya.

"Ketiga anakmu kembali bisa berkumpul ya…? Berkumpul sih bisa berkumpul deh… Ya… Bisa… Bisa…"

Tampak sepasang mata Nyonya Florencia yang berbinar-binar.

"Tapi, kau hanya memiliki satu orang anak, Nyonya Florencia. Jadi berkumpul atau terpisah di lain-lain tempat, apakah itu sangat berarti bagimu?" tanya sang biksuni lemah lembut.

"Ya, hanya Erick anak kandungku, Suhu. Erwie dan Erdie muncul secara misterius di pagi ketika aku melahirkan Erick. Meski demikian, meski sampai sekarang aku tidak tahu mereka datang dari mana dan kenapa mereka harus muncul di samping Erick ketika aku melahirkannya, aku tetap menyayangi mereka sebagai anak kandungku. Aku anggap itu adalah karunia dari Buddha sehingga kini aku bisa menjadi seorang ibu dari tiga anak lelaki yang begitu tampan dan pintar."

"Bisa dibilang kau memiliki anak kembar tiga, Nyonya Florencia. Mereka sesungguhnya agak-agak mirip satu sama lain kan?" tanya sang biksuni dengan nada-nada yang agak ganjil.

"Jika dilihat secara sepintas lalu, memang mirip, Suhu… Apalagi postur tubuh mereka itu hampir-hampir sama dan tinggi mereka juga tidak berbeda jauh. Aku sudah menganggap ketiganya sebagai anak kandungku. Sejak kecil, aku dan suamiku tidak pernah membeda-bedakan mereka. Kami selalu memperlakukan mereka dengan cara yang sama."

"Tapi, aku lihat di sini ketiga anakmu ini sejak kecil memiliki semacam kekuatan aneh yang misterius, Nyonya Florencia," kata sang biksuni lagi dengan wajah datar tanpa emosi.

"Iya, Suhu… Ada sinar dengan tiga warna berbeda yang terpancar dari tubuh ketiganya ketika mereka menggunakan kekuatan aneh nan misterius itu. Sampai sekarang aku dan suamiku juga tidak tahu itu kekuatan apa. Pokoknya sejak kecil, kami selalu menekankan kepada mereka bertiga bahwasanya di balik kekuatan itu, tersimpan suatu tanggung jawab – tanggung jawab untuk berbuat kebaikan dan menolong sesama."

"Iya… Iya… Jangan khawatir, Nyonya Florencia… Ketiga anakmu adalah anak-anak yang baik," tukas sang biksuni. "Jadi, warna benda-benda yang mereka pakai itu kebanyakan sesuai dengan warna aura yang terpancar dari tubuh mereka. Begitukah?"

"Begitulah, Suhu… Mereka selalu memilih baju, sepatu, kaos kaki, bahkan sampai ke handuk, jaket, helm, dan benda-benda kecil lainnya – sesuai dengan warna sinar mereka masing-masing. Apakah… Apakah itu bisa menjelaskan sesuatu di sini, Suhu?" tanya Nyonya Florencia sembari mengerutkan dahinya.

"Belum waktunya," jawab sang biksuni singkat.

"Hah? Maksud Suhu?" kerutan pada dahi Nyonya Florencia semakin dalam.

"Belum waktunya, Nyonya Florencia. Ada beberapa hal yang lebih baik kita menunggu waktu yang akan menjawabnya. Jika sudah tiba saatnya nanti, aku yakin kau akan mengerti dengan sendirinya, Nyonya Florencia. Yang bisa kuberitahu padamu hanyalah kenapa harus ada sinar warna merah, kuning, dan hijau pada ketiga bersaudara Makmur. Warna merah berarti cinta kasih – cinta kasih yang bisa menetralisir segala energi kebencian di dunia ini. Itulah sebabnya Erick Vildy yang memiliki sinar dengan warna ini. Benar kan begitu?"

Nyonya Florencia tampak mangut-mangut, "Oh iya ya… Sinar cinta kasih untuk Erick yang pemarah, emosional dan temperamental. Namun, Erick ini kan, Suhu… Gampang marah, dan gampang juga reda. Di antara ketiganya, dialah yang paling peka, sensitif dan perasa."

"Memang begitulah kepribadiannya. Terus, warna kuning berarti kebijaksanaan dan ketenangan – yang bisa menetralisir segala energi kebodohan di dunia ini. Lebih cocok pada Erwie Vincent yang tenang, santai, kadang pendiam tanpa gejolak apa pun. Begitu kan?"

"Iya, Suhu… Erwie memang orangnya pendiam, bicaranya lemah lembut dan santai sekali. Namun, ia adalah orang yang teguh dengan pendirian dan keputusannya."

"Dan sinar hijau yang ketiga melambangkan kepuasan diri dan optimisme – yang bisa menetralisir segala energi keserakahan di dunia ini. Lebih cocok dengan Erdie Vio yang selalu penuh semangat, antusiasme, dan senantiasa memandang hidup ini dengan penuh optimisme. Benar kan?"

"Iya, Suhu… Pandangan Suhu benar sekali. Di antara ketiganya, Erdielah yang paling bersemangat, penuh antusiasme dan selalu memandang ke depan dengan penuh optimisme," kata Nyonya Florencia. "Nah, Suhu… Karena hari ini adalah hari ulang tahun Erdie, aku bisa minta tolong Suhu untuk mendoakan yang terbaik buatnya, supaya dia bisa melewati segala macam halangan dan rintangan?"

"Lho…? Kalau aku tidak salah ingat, tanggal 21 September lalu, kau juga minta aku mendoakan Erick Vildy, Nyonya Florencia. Benar kan itu? Memangnya ulang tahun ketiga anakmu ini beda-beda hari?" si biksuni mengangkat kedua alisnya.

"Iya, tidak sama, Suhu… Tanggal ulang tahun mereka sesuai dengan tanggal aku mengurus akta lahir mereka, Suhu. Waktu itu perusahaan suamiku mengalami sedikit masalah. Sepanjang hari suamiku harus berada di kantor terus, sehingga tidak bisa menemaniku mengurus akta lahir mereka. Jadinya, aku mengurus tiga akta lahir pada tiga hari yang berbeda."

"Mendoakan yang terbaik buatnya ya…" kata sang biksuni lagi datar tanpa emosi. "Sekarang ini dia sangat baik. Kekasihnya itu sedang mempersiapkan segala sesuatu sehingga malam ini bisa merayakan ulang tahunnya."

Tentu saja Nyonya Florencia terkaget-kaget mendengar ramalan dari sang biksuni.

"Erwie Vincent juga begitu, Nyonya Florencia… Dia sangat baik sekarang ini. Kekasihnya juga sedang mempersiapkan segala sesuatu sehingga ia bisa merayakan ulang tahunnya akhir bulan ini. Benar kan apa yang kubilang?"

Nyonya Florencia terhenyak sesaat. Erwie dan Erdie sudah memiliki kekasih di luar sana? Siapa perempuan-perempuan itu? Kenapa waktu telepon ke Medan, mereka tidak bilang apa-apa? Aku akan tanyakan langsung ke mereka melalui Line saja nanti malam… Mereka harus menjelaskannya secara terperinci padaku.

Seolah bisa membaca pikiran Nyonya Florencia, kembali sang biksuni membuka mulutnya dan mengatakan,

"Erick Vildy juga sudah memiliki kekasih di luar sana, Nyonya Florencia," kali ini tampak sang biksuni sedikit menyeringai.

"Tapi mereka sama sekali tidak bilang apa-apa ketika mereka telepon ke Medan, Suhu…" kata Nyonya Florencia setelah bisa menenangkan diri.

"Jangan cemas, Nyonya Florencia. Calon menantumu adalah tiga perempuan baik-baik dengan latar belakang dan keluarga yang cukup oke. Masa lalu percintaan mereka yang kelam sudah lewat. Masa depan mereka yang penuh dengan impian dan harapan baru saja dimulai. Aku hanya bisa bilang sampai di sini, Nyonya Florencia. Selebihnya, biarkan waktu yang akan menjawabnya. Oke…?"

"Aku masih penasaran kenapa mereka bisa memiliki kekuatan misterius seperti itu, Suhu."

Sang biksuni tampak tersenyum menenangkan kali ini, "Belum waktunya, Nyonya Florencia."

Nyonya Florencia mengangguk setelah itu. Ia tahu sang biksuni tidak ingin melanjutkan ramalannya lagi. Namun, paling tidak ia tahu masa lalu ketiga anaknya yang kelam dengan si Stella Kuangdinata, si perempuan pembohong, sudah lewat. Kali ini, mudah-mudahan semuanya akan lancar-lancar saja dan ketiga anaknya bisa menemukan kebahagiaan masing-masing.

***

Singapura, 8 November 2018

Tentu saja Sabrina Marcelina mengajak sang pujaan hati ke sebuah kafe di pusat kota. Sambil membawa cake yang sudah dipasangi lilin-lilin kecil di atasnya, Sabrina mendendangkan lagu Happy Birthday sesuai dengan musik latar yang diputar di kafe tersebut.

"Happy birthday… Happy birthday… Happy birthday… to Erdie…"

Cake tiba di atas meja. Tersipu-sipu malu karena menjadi pusat perhatian seisi kafe, Erdie Vio memejamkan matanya mendoakan yang terbaik buatnya, buat Sabrina Marcelina, buat papa mamanya, buat kedua saudaranya yang lain, dan buat semua teman-temannya. Dia menghembuskan lilin-lilin kecil yang ada di atas cake.

Sabrina Marcelina bertepuk tangan. Musik latar Happy Birthday kembali berganti menjadi musik romantis yang ringan nan santai.

"Sudah kuduga… Tidak biasanya kau ajak aku ke kafe yang begini. Ternyata inilah alasannya," kata Erdie Vio dengan senyuman lebarnya yang khas nan mempesona.

"Sebelum kau merayakannya dengan para penggemarmu besok-besok hari, malam ini biarlah aku merayakannya denganmu dulu," kata Sabrina Marcelina sembari menyodorkan satu bungkusan kado kepada sang pujaan hati.

Erdie Vio membuka kado itu dengan segudang rasa penasaran. Ternyata isinya adalah sebuah jas warna cokelat kehitaman.

"Sorry… Sorry… Aku tidak dapat yang warna hijau, jadi aku pilih yang cokelat saja. Kau masih bisa pakai kemeja hijau di dalamnya kan?" kata Sabrina Marcelina sedikit merasa bersalah.

"Tidak apa-apa, Sayang…" kata Erdie Vio mendaratkan satu ciuman di kening sang kekasih. "Aku tahu apa pun yang kaupilihkan adalah yang terbaik."

Sabrina Marcelina tersenyum cerah. Dia menyandarkan kepalanya di bahu sang kekasih. Erdie Vio menusuk sepotong steak ayam di piringnya dengan garpunya. Garpu diarahkan ke mulut sang kekasih. Sang kekasih kontan melahap potongan steak ayam tersebut.

Musik latar romantis nan santai terus mengalun ke seisi kafe.

***

Medan, 12 November 2018

Sudah empat hari berselang. Karena terlalu sibuk mengurus perkumpulan arisannya, Nyonya Florencia jadi lupa menelepon salah satu dari 3E. Pagi ini, ketika sedang sarapan, akhirnya Nyonya Florencia teringat dengan tugas penting nan mulia itu. Sejurus kemudian, sudah tampak Nyonya Florencia sibuk berkutat dengan telepon genggamnya.

Pak Faiz menatap istrinya sejenak. Namun, dia tidak mengatakan apa-apa karena para pembantu masih mondar-mandir antara dapur dan ruang makan, menghidangkan sayur-mayur dan lauk-pauk sarapan mereka pagi itu.

Nyonya Florencia mulai mengerutkan dahinya karena telepon di seberang hanya terdengar nada dering, sama sekali tidak ada yang menjawabnya.

"Siapa yang kautelepon?" tanya Pak Faiz sembari menyantap bubur ayamnya pagi itu.

"Erdie loh, Faiz…" kata si istri. "Aku tidak tahu di Sydney dan Los Angeles jam berapa sekarang, jadi kuputuskan menelepon Erdie yang di Singapura saja. Kok tidak dijawab ya? Apakah dia sedang sibuk dengan shooting-nya lagi? Tuh anak benar-benar deh…"

"Kau sendiri mengatakan Suhu Ce Hui sudah memastikan ketiga wanita yang menjadi kekasih 3E sekarang itu adalah tiga wanita dari latar belakang dan keluarga yang cukup oke. Ya sudah… Tunggu sampai mereka sampai di sini, baru kautanyakan. Kenapa mesti sekarang kau menelepon mereka hanya untuk menanyakan urusan pacaran seperti itu?"

"Ya aku penasaran loh, Faiz," sahut si istri lagi. "Mereka diam-diam sudah memiliki kekasih di luar sana. Terlebih lagi, ketika mereka menelepon ke sini, satu pun tidak ada yang mengabari kita bahwasanya mereka tuh sudah memiliki tambatan hati."

Pak Faiz mendengus sesaat. Memang sudah kodratnya wanita itu selalu penasaran dengan urusan pribadi orang, apalagi itu sudah menyangkut urusan pribadi anak-anak mereka sendiri.

"Jadi Suhu Ce Hui tidak menjelaskan kenapa 3E bisa memiliki sebentuk kekuatan yang aneh nan misterius?" tanya Pak Faiz mengalihkan pembicaraan mereka ke topik lain.

"Tidak, Faiz. Dia bilang akan tiba waktunya ketika kita tahu dan mengerti dengan sendirinya kenapa 3E harus memiliki kekuatan yang misterius seperti itu," kata si istri menggeleng pelan.

Pak Faiz diam-diam saja setelah itu. Memang Suhu Ce Hui ini sudah terkenal dengan ramalan dan prediksinya yang 80% mendekati kebenaran. Meski demikian, aku masih tidak mengerti. Kenapa tidak langsung dikatakan saja? Kenapa harus menunggu sampai waktu yang bicara? Sama aneh dan misteriusnya dengan kekuatan yang terdapat dalam diri ketiga anakku kalau begitu…

Nyonya Florencia sendiri juga mulai menyantap mie pansitnya pagi itu. Sisa sarapan pagi itu diteruskan dengan percakapan mengenai perusahaan dan bisnis sepasang suami istri tersebut.

***

Los Angeles, 28 November 2018

"Happy birthday… Happy birthday… Happy birthday, Erwie…", kata Julia Dewi sembari membawakan cake berukuran medium ke hadapan sang pujaan hati.

Erwie Vincent hanya tersenyum santai. Dia menebak pastilah ada kejutan buatnya malam ini. Memang tidak biasanya sang pujaan hati mengajaknya makan malam di hotel berbintang lima seperti ini. Dari restoran hotel tersebut, Erwie Vincent bisa menyapu pemandangan malam di seluruh kota Los Angeles. Udara dingin membeku mulai menggerayap ke mana-mana. Di mana-mana, tampak orang-orang mengenakan baju tebal, topi, dengan selendang tebal yang melingkar di leher.

Erwie Vincent tampil serba kuning malam itu – kuning tua yang hampir menyerupai warna jingga. Bahkan, selendang tebal yang melingkar di leher dan topi juga berwarna kuning tua. Sementara Julia Dewi tampil dalam pakaian musim dingin yang serba pink, tapi sepatu, selendang, dan topinya juga berwarna kuning tua.

"Sudah kuduga pasti akan ada cake," kata Erwie Vincent santai, masih dengan senyuman santainya.

"Kenapa kau seyakin itu?" tanya Julia Dewi menyeringai.

"Aku sendiri kan tidak mungkin lupa hari ulang tahunku bukan?"

"Iya…" kata Julia Dewi sedikit terkekeh, "aku rencananya mau mengajakmu makan di kafe es krim favoritku saja. Tapi, di sana suasananya ramai dan ribut sekali. Aku tidak mau malam ulang tahunmu ini terganggu oleh keributan dan keramaian."

"Dan akhirnya kau tidak bisa menikmati es krim susu kesayanganmu itu deh…" kata Erwie Vincent dengan nada skeptis.

"Tidak dong… Malam ini kan malam ulang tahunmu, jadi kau yang menjadi pemeran utamanya. Aku tahu di sini ada daging domba campur saus mint, yang juga merupakan salah satu makanan favoritmu. Jadi, aku ikut kau makan itu saja."

Erwie Vincent membalas pernyataan sang pujaan hati dengan sebersit senyuman santai. Dia memanggil sang pelayan dan memesan menu-menu mereka malam itu.

"Jadi…? Hanya cake? Tidak ada hadiah lain?" tanya Erwie Vincent dengan sedikit nada nakal.

Julia Dewi mengeluarkan kadonya yang sudah dibungkus dengan kertas kado putih polkadot kuning.

Erwie Vincent langsung membuka kado tersebut di depan si pemberi. Julia Dewi menunggu dengan deg-degan. Ternyata isinya adalah dasi dan tali pinggang yang juga berwarna kuning.

"Dasi? Tali pinggang?" Erwie Vincent meledak dalam tawa yang agak renyah kali ini. "Tunggu sebentar… Sebentar… Sepertinya aku pernah mendengar arti di balik pemberian dasi ataupun tali pinggang sebagai hadiah. Artinya adalah…"

"Artinya adalah, untuk mengikatmu selamanya, Wie…" kata Julia Dewi mulai merasakan hawa panas pada kedua pipi dan telinganya.

"Mengikatku di mana, Sayang?" bisik sang pangeran pujaan. Dengan suaranya yang serak-serak basah, Erwie Vincent memang paling cocok dinobatkan sebagai pria paling romantis apabila sudah berurusan dengan apa yang namanya cinta dan perasaan.

"Tentu saja mengikatmu selamanya di sisiku, Wie Wie…" kata Julia Dewi sembari mencolek hidung sang pangeran pujaan.

Erwie Vincent meledak dalam tawa renyah yang santai lagi, "Oke… Oke… Aku mengerti. Terus…? Ada hadiah apa lagi untukku?"

"Tidak ada lagi dong! Memangnya ada hadiah apa lagi biasanya?" protes Julia Dewi dengan kerlingan matanya yang nakal nan penuh arti.

Erwie Vincent meletakkan jari telunjuknya di pipi kanannya. Julia Dewi terbahak sejenak. Satu ciuman mesra nan hangat didaratkan di pipi Erwie Vincent.

Erwie Vincent meraih sang pujaan hati ke dalam sebuah pelukan. Julia Dewi membenamkan kepalanya ke dalam suatu kehangatan. Diam-diam, riak-riak kebahagiaan menggeliat hidup.

***

Sydney, 12 Desember 2018

"Oke… Hari ini pelajaran sampai di sini saja, Anak-anak," kata Erick Vildy menutup buku pelajarannya. "Sudah mulai turun salju belakangan ini. Hati-hati di jalan… Langsung pulang ke rumah dan jangan ke mana-mana lagi jika tidak terlalu penting."

Salah satu siswanya angkat tangan dan bertanya, "Pak Erick Vildy… Bolehkah aku menanyakan sesuatu mengenai topik reinkarnasi yang dibahas dalam teks tadi?"

"Iya… Memangnya kenapa dengan reinkarnasi? Apakah topik teks barusan terasa sedikit menggelitik?" tukas Erick Vildy dengan sebersit senyuman penuh arti.

Erick Vildy menatap anak asli Australia ini dari ujung rambut hingga ujung kaki. Oh Buddha… Anak Australia ini pasti bukan Buddhis. Bagaimana caranya aku bisa menjelaskan topik yang super sensitif ini kepada orang-orang yang bukan Buddhis ya?

"Apa yang ingin kautanyakan memangnya?" tanya Erick Vildy lagi.

"Apakah orang yang sudah meninggal itu akan terlahir kembali lagi?" tanya sang siswa. Erick Vildy melihat dalam nan lurus-lurus ke mata sang siswa. Dia langsung tahu siswa ini pasti sudah kehilangan seseorang yang sangat ia kasihi, entah itu orang tua, saudara, atau sahabat.

"Oke… Yang lain sudah boleh pulang dulu," kata Erick Vildy kepada siswa-siswinya yang lain.

Sejurus kemudian, kelas pun kosong. Tinggallah Erick Vildy dan siswa yang bertanya tentang reinkarnasi tadi.

"Oke… Jawabannya adalah, tentu saja semua yang meninggal dalam kehidupan ini akan terlahir lagi di kehidupan yang berikutnya. Itu memang sudah hukum alam," kata Erick Vildy lembut.

"Jadi kenapa ada manusia yang terlahir di dunia ini hanya sebentar dan kemudian mereka pergi begitu saja?" tanya sang siswa. Tebakan Erick Vildy benar adanya. Pastilah ada seseorang yang sangat ia kasihi dan sudah pergi meninggalkannya.

"Siapa itu, Ben?" tanya Erick Vildy langsung ke pokok permasalahannya.

"Ibuku, Pak Erick Vildy," jawab Ben Carter dan begitu ia mengangkat kepalanya dan menerawang keluar jendela, Erick Vildy bisa melihat segelintir air mata yang menggenang di pelupuk mata.

"Ibumu sudah tiada?" tanya Erick Vildy dengan segenap perasaan iba. "Karena apa kalau aku boleh tahu?"

"Ketika aku masih kecil, Pak Erick Vildy. Gagal ginjal. Waktu aku berumur lima tahun, Ibu sudah tidak ada di sampingku. Waktu aku berumur delapan tahun, Ayah menikah lagi dan kini aku memiliki seorang adik tiri. Selama belasan tahun ini, aku selalu merasa Ayah dan ibu tiriku itu lebih menyayangi adik tiriku itu daripada aku. Aku selalu merasa, jika seandainya saja ibuku masih ada, semuanya ini takkan terjadi. Aku yakin Ibu akan selalu mendengarkan semua keluh kesah dan kepedihanku."

Erick Vildy meletakkan tangan kanannya ke bahu muridnya.

"Apakah orang yang sudah meninggal tidak bisa dipanggil kembali ke hadapan kita, Pak Erick Vildy?" tanya Ben Carter lagi.

"Tidak bisa, Ben… Tidak bisa… Orang yang sudah meninggalkan kehidupan ini sudah terlahir di kehidupan yang berikutnya. Dia bisa terlahir menjadi apa saja, menjadi siapa saja, dan bisa terlahir di mana saja – tergantung dengan semua perbuatan baik dan jahat yang pernah ia lakukan dalam kehidupan ini."

"Ibuku adalah perempuan yang baik. Aku yakin ia akan terlahir di tempat yang lebih baik, dan takkan menderita penyakit gagal ginjal lagi. Iya kan, Pak Erick Vildy?"

Kini air mata bergulir dari mata Ben Carter. Erick Vildy membuang pandangannya ke arah lain. Ia paling tidak tahan dengan adegan tangis-menangis yang mengharu-biru seperti ini. Namun, karena dia adalah seorang guru, ia juga berkewajiban mendengarkan semua keluh kesah siswa-siswinya bukan?

"Kau sudah bisa dibilang bukan anak laki-laki lagi, Ben. Bisa dibilang kau sedang dalam masa-masa awal ke tahap kedewasaan. Seorang pria dewasa haruslah bisa melihat dari berbagai sisi, Ben," kata Erick Vildy.

"Berbagai sisi?" Ben Carter mengangkat kedua matanya, petanda ia tidak begitu mengerti kalimat terakhir gurunya.

"Iya, Ben… Ada tiga sisi yang bisa kuberikan padamu di sini, Ben. Pertama, jika kau merasa ayah ibumu lebih menyayangi adikmu daripada kau, bukankah itu lebih bagus?"

"Apanya yang bagus, Pak Erick Vildy?"

"Tentu saja itu lebih bagus, Ben. Jika ayah ibumu lebih menyayangi adikmu daripada kau, berarti adikmu itu jauh lebih lemah, jauh lebih rentan, dan membutuhkan perhatian lebih dari kedua orang tuamu. Iya nggak? Kau dianggap sudah bisa mandiri, jauh lebih kuat, sudah bisa membedakan benar salah dan baik jahat dengan kacamatamu sendiri, sehingga ayah ibumu merasa mereka tidak perlu terlalu memperhatikanmu. Nah sekarang… Posisi mana yang lebih baik?"

Ben Carter terdiam. Dia tampak membutuhkan beberapa menit untuk mencerna apa yang disampaikan oleh sang guru.

"Kedua, jika seandainya ibumu masih hidup, dia juga takkan mau melihatmu bermuram durja terus selama belasan tahun terakhir ini. Setiap ibu pastilah menginginkan yang terbaik buat anak-anaknya. Ibumu juga tak mau melihatmu bersedih dan tanpa semangat seperti ini. Dia akan lebih senang melihatmu tumbuh menjadi seorang pria dewasa dengan cita-cita dan tujuan hidup yang terfokus dan terarah. Benar nggak?"

Ben Carter masih terdiam.

"Ketiga, setiap manusia datang sendiri ke dunia ini, Ben. Akan tiba saatnya ketika masing-masing dari kita akan meninggalkan kehidupan ini dengan jalan masing-masing juga. Tidak ada kebersamaan yang abadi, dan juga tidak ada perpisahan yang abadi. Jika memang sudah tidak ada jodoh karma lagi, semuanya akan berpisah, semuanya akan tercerai-berai. Jika memang masih ada jodoh karma, yang berpisah dan yang tercerai-berai tadi, pada akhirnya akan bertemu dan bersatu lagi."

Mendengar penjelasan dari sang guru, Ben Carter terkesima selama beberapa saat meski ada 80% yang tidak begitu ia pahami.

"Berisi adalah kosong – tapi, kosong juga adalah berisi," kata Erick Vildy.

Ben Carter hanya bisa menatap gurunya dengan sepasang matanya yang melebar dan sepasang bibirnya yang menganga.

"Tidak ada kebersamaan yang abadi. Itu berarti jodoh karmamu dengan ibumu sudah berakhir. Kau harus bisa melepas apa yang sudah berakhir. Nah, jodoh karma apa yang ada sekarang, Ben? Jodoh karmamu dengan ayahmu masih ada. Kau tidak pernah memikirkan betapa pedihnya dia harus kehilangan seorang istri di masa lalu? Apabila sekarang kau semakin menjauhinya dan semakin menjauhinya, tidakkah kau berpikir dia akan semakin pedih karena sekarang dia harus kehilangan seorang anak juga? Ben… Tidak ada kebersamaan yang abadi. Sebelum ia terbang dan lenyap tertiup angin, hargailah kebersamaan itu, Ben. Kau mengerti maksudku bukan?"

Ben Carter mengangguk-ngangguk mantap. Tampak air matanya mengalir kian deras sekarang.

"Aku sudah mau pulang. Jangan pulang terlalu sore. Sudah mulai turun salju. Jalanan agak licin," kata Erick Vildy meletakkan tangan kanannya lagi di bahu sang siswa.

"Oke… Pak Erick Vildy pulang saja dulu. Nanti aku bisa pulang sendiri," kata Ben Carter.

Erick Vildy berjalan ke arah pintu keluar. Saat ia melangkah keluar dari kelas, ia masih bisa mendengar tangisan Ben Carter pecah berderai di tempat duduknya.

Di luar kelas, ternyata sudah sejak tadi Melisa Rayadi menunggunya.

"Sungguh suatu ceramah yang membuatku sangat tersentuh mendengarnya, Pak Erick Vildy."

"Jangan meledekku!" gerutu Erick Vildy. "Kenapa tidak masuk ke dalam kelas saja dan memberiku tanda bahwa kau sudah sampai? Kan aku bisa mempercepat ceramahku."

Tampak Erick Vildy sedikit berseloroh. Melisa Rayadi hanya tersenyum nakal. Ia melingkarkan tangannya ke lengan sang pangeran pujaan. Keduanya berjalan sama-sama menuju ke gerbang besar sekolah.

"Justru itu loh, Rick… Aku takut mengganggu. Kulihat tadi kau begitu serius kasih ceramah kepada salah satu muridmu itu," kata Melisa Rayadi. "Aku dengar, ia kehilangan ibunya ya sejak ia masih kecil?"

"Begitulah…" ujar Erick Vildy dengan perasaan iba yang masih mengeriap di padang sanubari. "Begitulah kehidupan manusia…"

"Tidak ada kebersamaan yang abadi," kata Melisa Rayadi dengan sekelumit nada yang agak ganjil.

"Ya… Oleh karena itu, aku selalu menghargai detik demi detik kebersamaan kita. Januari tahun 2019 mendatang, kita balik ke Medan saja, Mel. Bagaimanapun juga, aku rasa hubungan kita tetap membutuhkan apa yang namanya doa restu dari orang tua kedua belah pihak bukan?"

Melisa Rayadi mengangguk dengan penuh antusiasme.

"Tapi, masih ada satu hal lain yang juga membutuhkan kejelasan, Rick," kalimat Melisa Rayadi yang satu ini kontan menghentikan langkah-langkah sang kekasih.

"Apa itu?"

"Bagaimana dengan reunian 3E? Jelas mereka bisa balikan dan berbaikan kembali?" tanya Melisa Rayadi dengan raut wajah datar tanpa emosi.

Erick Vildy terpekur selama beberapa detik sebelum akhirnya ia mengatakan, "Tergantung jodoh dan karma 3E itu sendiri, Mel."

"Ya… Jodoh dan karma kalian kan ada di tangan kalian sendiri, bukan di tangan siapa-siapa," kata Melisa Rayadi sedikit menggerutu.

"Sudah… Habis makan baru bahas itu," celetuk Erick Vildy sedikit menyeringai, "Mau makan di mana kita di siang yang bersalju begini?"

Melisa Rayadi kembali melingkarkan tangannya di lengan sang pangeran pujaan.

"Naik dulu ke MRT. Di dalam MRT nanti, masih belum terlambat untuk membicarakannya."

Nächstes Kapitel