webnovel

Ketika Semuanya Terbongkar

BAB 6

Waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Akhirnya Julia Dewi sampai di depan pintu apartemennya. Kunci ditancapkan ke lubangnya. Tangan menekan beberapa tombol pada papan tombol yang menempel di pintu. Terbukalah pintu apartemennya. Sepasang kaki melangkah masuk, mengganti sepatu dengan sandal santai yang biasa dipakai sehari-hari di dalam rumah.

Tangan mencari tombol sakelar lampu. Begitu sakelar ditekan, lampu menyala dan keadaan seisi kamar apartemen terang-benderang. Alangkah terhenyaknya Julia Dewi tatkala dilihatnya ada kehadiran tamu tidak diundang dalam apartemennya! Siapa dia? Pintu dikunci dengan sistem keamanan yang tinggi dan ini berada di lantai 11. Kenapa dia bisa sampai masuk ke sini?

Perlahan-lahan, Julia Dewi mundur beberapa langkah. Kedua kaki dan tangannya mulai gemetaran. Hah? Bukankah dia itu si Aldo, Aldo Morales? Dia itu rekan kerja Wie Wie di hotel! Kenapa dia bisa tahu alamat tempat tinggalku dan masuk ke sini? Ada apa ini?

"Tidak!! Tolong!!!" mulai terdengar jeritan Julia Dewi yang melengking tinggi. Namun, kamar-kamar apartemen di sebelahnya sama sekali tidak bergeming, sama sekali tidak terbuka atau menunjukkan tanda-tanda dibuka penghuninya dari dalam.

Julia Dewi belum sempat menutup pintu tadi. Dia langsung mengambil langkah seribu keluar. Akan tetapi, mendadak tubuhnya serasa tertahan oleh semacam kekuatan aneh. Dia sama sekali tidak bisa bergerak. Perlahan-lahan dia berpaling ke belakang lagi. Alangkah terhenyaknya dirinya tatkala ia melihat ada semacam sinar warna hitam pekat keluar dari tangan Aldo Morales. Sinar hitam tersebut membelit pinggang sampai kedua kakinya. Itulah yang membuatnya sama sekali tidak bisa bergerak.

"Tolong…! Tolong…! Tolong aku…!" teriak Julia Dewi lagi.

"Takkan ada yang bisa mendengarmu, Julia Sayang…" kata Aldo Morales dengan senyumannya yang mengerikan. "Aku sudah memblokir seisi apartemen ini dalam satu dimensi yang berbeda dengan dimensi luar. Jika ada yang bisa mendengar jeritanmu, berarti orang itu memiliki kekuatan yang sama denganku."

"Apa yang kauinginkan sebenarnya?" jerit Julia Dewi lagi.

"Mana kekasihmu? Mana si Erwie Vincent? Mana dia?" terdengar suara berat Aldo Morales yang berdentum.

"Dia sudah pulang! Dia tidak ada di sini!" teriak Julia Dewi lagi.

Mendadak entah dari mana datangnya, muncullah sinar kuning milik Erwie Vincent. Sinar kuning bergerak melingkar-lingkar di seisi kamar apartemen dan akhirnya bergerak melingkar-lingkar di sekujur tubuh Aldo Morales. Aldo Morales tidak sempat menangkis serangan Erwie Vincent. Sinar hitamnya redup seketika. Dalam sekejap, Julia Dewi terbebaskan dari belitannya. Sinar kuning berubah menjadi sosok Erwie Vincent di dalam kamar apartemen Julia Dewi.

"Siapa dia, Wie…?" tanya Julia Dewi mencengkeram lengan kiri sang pangeran pujaan. Masih tampak napasnya yang ngos-ngosan.

"Entahlah…" kata Erwie Vincent memberikan sikap protektif terhadap kekasihnya. "Yang jelas, dia memiliki kekuatan hitam, kekuatan gelap yang mengerikan. Seluruh tubuhnya kini mulai menghitam."

"Aku akan membalaskan dendam Stella! Kalian telah membunuhnya! Kalian telah membunuhnya! Aku takkan memaafkan kalian!" teriakan Aldo Morales kini lebih mirip dengan teriakan sesosok monster daripada sesosok manusia.

Sinar hitam diarahkan ke Erwie Vincent dan Julia Dewi. Keduanya menghindar ke samping. Terjadilah ledakan energi di dinding apartemen. Julia Dewi berpaling ke belakang dan matanya kontan melebar melihat sebuah lubang besar di sana.

"Dari mana kau begitu yakin akulah yang telah membunuhnya?" tanya Erwie Vincent lagi.

Tampak lagi senyuman Aldo Morales yang mengerikan.

"Dari bekas lukanya, Erwie Vincent. Aku tahu kalian bertiga memiliki kekuatan yang sama denganku. Aku tahu hanya dengan menggunakan kekuatan itu baru bisa menciptakan bekas luka yang seperti pada tubuh Stella. Aku tahu kalian bertiga yang membunuhnya! Bagus sekali bagiku karena kini 3E sudah tampil solo, tidak trio lagi. Dengan begitu, akan jauh lebih mudah bagiku untuk menyingkirkan kalian satu per satu," kata Aldo Morales mulai mengarahkan lagi sinar hitamnya ke arah Erwie Vincent.

Erwie Vincent tahu dia tidak bisa menghindar lagi. Kedua tangan dibuka dan keluarlah sinar kuning ke arah Aldo Morales. Dua sinar dengan dua warna saling beradu selama beberapa saat.

"Hentikan, Wie… Kau tidak boleh menggunakan kekuatanmu sendirian, Wie. Kau akan… akan… Oh, tidak! Hentikan ini!" teriak Julia Dewi tak berdaya.

"Dia takkan mendengarkanmu, Jul. Orang yang menggunakan kekuatan gelap sebagai jalan pintas, tidak memiliki hati nurani dan akal sehat lagi. Dia itu bukan manusia lagi! Dia itu iblis!" kata Erwie Vincent.

Namun, Erwie Vincent sadar dia semakin lemah karena dia hanya sendirian. Panjang gelombangnya semakin pendek. Sinar hitam milik Aldo Morales semakin mendekat ke arahnya. Dia sudah mulai kewalahan.

"Apa yang harus aku lakukan sekarang? Apa yang harus aku lakukan sekarang? Pasti ada sesuatu yang bisa kulakukan sekarang… Pasti ada…" tampak mulut Julia Dewi yang komat-kamit di antara ketakutan dan kepanikannya.

"Terima kasih banyak, Jul. Aku tahu aku tidak memiliki kesempatan lagi untuk membalas semua kebaikanmu padaku selama ini, membalas perasaanmu kepadaku selama setahun belakangan ini. Aku hanya bisa mengucapkan terima kasih padamu. Maafkan aku… Maafkan aku, Jul…" tampak air mata ketidakberdayaan di pelupuk mata Erwie Vincent sekarang.

Terdengar tawa Aldo Morales yang membahana memecah langit.

"Tidak! Tidak! Pasti ada sesuatu yang bisa kulakukan!" teriak Julia Dewi.

Tanpa berpikir panjang lagi, Julia Dewi Sofia Luvin langsung mendaratkan satu ciuman ke bibir sang pangeran pujaan. Erwie Vincent sempat terperanjat. Namun, detik-detik berikutnya, ia juga mengatupkan sepasang matanya, bersama-sama meleburkan dirinya ke dalam perasaan cintanya terhadap gadis yang kini tengah menciumnya.

Oh, Buddha… Apakah ini cinta? Aku sama sekali tidak takut. Aku tidak gentar meski aku tahu sinar hitam si iblis ini sudah semakin mendekat ke arahku. Tapi aku merasakan keberanian. Aku yakin, meski Erick dan Erdie tidak ada di sini sekarang, ada orang lain yang rela menghadapi ini bersama-sama denganku. Orang itu adalah Julia Dewi Sofia Luvin ini.. Oh, Buddha… Apakah ini cinta? Aku tidak pernah merasakan perasaan semacam ini ketika aku bersama-sama dengan Stella Kuangdinata dulu… Oh, Buddha… Jika ini cinta, aku dengan tulus berharap Julia Dewi Sofia Luvin ini akan menjadi pelabuhan cintaku yang pertama, sekaligus yang terakhir.

Tak disangka-sangka, sinar kuning menguat kembali. Tentu saja sepasang mata Aldo Morales membelalak lebar menyaksikan perubahan mendadak yang tidak ia sangka-sangka sebelumnya.

"Ada apa ini? Ini kenapa? Ini tidak mungkin! Tidak! Ini tidak mungkin!" jeritan Aldo Morales kian membahana dan memekakkan telinga.

Sinar kuning semakin kuat dan mulai sampai pada tubuh Aldo Morales. Aldo Morales tercampak ke dinding yang ada di belakangnya. Tampak darah merah segar mulai muncrat keluar dari mulutnya.

"Aku tidak akan berdiam diri hanya sampai di sini, Erwie Vincent. Setelah aku pulih kembali, aku akan mencari kalian lagi dan membalaskan dendam Stella! Ingat itu!" kata Aldo Morales terbata-bata.

Sekujur tubuh Aldo Morales berubah kembali menjadi sinar hitam. Sinar hitam terbang melayang keluar dari kamar apartemen Julia Dewi melalui jendela.

"Terima kasih, Jul… Terima kasih, Sayang. Dengan cintamu, kau telah menyelamatkan aku…" kata Erwie Vincent lirih dengan sebersit senyumannya yang juga tampak lemah dan tak bertenaga.

Sambil meraung-raung, Julia Dewi memeluk sang pangeran pujaannya dengan erat, seakan-akan takut melepaskannya.

"Aku sempat bingung tadi. Aku tidak memiliki kekuatan supranatural untuk menyelamatkanmu. Aku hanya memiliki cinta, Wie. Aku tidak tahu apakah itu akan berhasil atau tidak. Tapi, entah kenapa hati kecilku mendorongku untuk melakukannya."

"Cinta memang bisa mengalahkan kebencian, Jul," kata Erwie Vincent membelai-belai kepala pujaan hatinya. "Kebencian memang tidak bisa lenyap apabila dibalas dengan kebencian. Kebencian hanya akan lenyap apabila dibalas dengan cinta ataupun kasih."

Julia Dewi memapah tubuh Erwie Vincent yang diketahuinya masih lemah. Dia mendudukkannya ke atas sofa di ruang tamu. Ruang tamunya sekarang lebih mirip kapal pecah daripada ruang tamu. Julia Dewi mengambilkan segelas air hangat dan memberikannya kepada sang pangeran pujaan.

Erwie Vincent menyesapnya sedikit demi sedikit.

"Mengapa… Mengapa… Mengapa si Aldo Morales tadi mengatakan bahwa kalian bertiga telah membunuh Stella? Apa sebenarnya yang telah terjadi, Wie? Bagaimana sebenarnya si Stella meninggal? Sampai sekarang kau belum menceritakannya kepadaku," kata Julia Dewi mulai diberondong suatu rasa penasaran.

Erwie Vincent memandang ke luar jendela dengan pandangan menerawang. Dalam hati, ia memang sudah berjanji takkan ada rahasia apa pun di antara dirinya dan Julia Dewi. Akhirnya, ia kembali menatap sang putri pujaannya. Pikiran tak kuasa melayang kembali ke masa-masa silam.

***

Medan, pertengahan Januari 2013

Angin sore pertengahan Januari mulai bertiup.

Tampak Sabrina Marcelina yang duduk sendirian di teras halaman bangunan sanggar Solidaritas Abadi. Sesekali akan terdengar isakan tangisannya yang teratur. Dia mengambil beberapa helai tisu dari dalam tasnya dan terus-menerus menyeka ekor matanya yang tidak henti-hentinya meneteskan air mata.

Melisa Rayadi diam-diam memperhatikannya dari mulut gerbang bangunan sanggar. Dia mengerutkan dahinya. Dia melirik ke jam telepon genggamnya sebentar. Masih pukul tiga sore. Latihan kan biasanya mulai jam tujuh malam. Kenapa mendadak si Sabrina datang ke sanggar pagi sekali? Pakai acara menangis segala… Ada apa ini ya? Melisa Rayadi tidak bisa membendung rasa penasarannya lagi.

"Sab… Sab… Sabrina…?" Melisa Rayadi agak ragu mengganggu Sabrina Marcelina yang sepertinya sudah asyik dengan tangisannya. Masih terdengar beberapa isakannya.

"Aku hanya datang mempersiapkan beberapa peralatan dan perlengkapan untuk kalian latihan malam ini. Aku tidak ikut latihan malam ini. Aku tidak ada semangat apa pun untuk latihan malam ini," kata Sabrina Marcelina masih terus menyeka ekor matanya dengan tisu.

Melisa Rayadi sudah bisa menebak apa kira-kira yang menyebabkan Sabrina kehilangan semangat seperti itu. Dia duduk di kursi di hadapan Sabrina. Terdengar desahan napasnya yang agak panjang seperti seseorang yang sakit asma.

"Kau kira hanya kau yang kehilangan semangat gara-gara ditolak oleh orang yang kauharap-harapkan? Aku juga tahu…! Harus tetap latihan secara profesional karena aku adalah bagian dari tim Solidaritas Abadi, sementara hati ini sakitnya bukan main karena sehabis latihan harus rela melihatnya terbang ke pelukan gadis lain. Kau kira hanya kau yang menderita dan tertekan di sini?" kata Melisa Rayadi juga meluapkan segala kegelisahan dan kegundahannya.

"Kenapa kau bisa tahu?" tanya Sabrina Marcelina agak terkejut.

"Dengan Erdie bukan?" Melisa tersenyum sumbang. "Aku dengan Erick. Jadi, bagaimana mungkin aku bisa tidak tahu tentang kegundahanmu, Rin?"

Sabrina kembali bersandar di kursinya. Dia menghela napas panjang lagi. Kembali terasa air mata menggenang di pelupuk mata. Kembali tangan mengambil tisu dan menyeka ekor mata. Melisa Rayadi melihat sudah banyak tisu yang dihabiskan Sabrina sore itu.

"Jadi, Erick juga mencintai gadis lain?" terdengar pertanyaan Sabrina Marcelina yang terbata-bata.

Melisa Rayadi mengangguk pasrah.

"Sama dengan Erdie kalau begitu. Ternyata dia juga mencintai gadis lain. Kukira pertemanan kami sejak SMP bisa mengangkat sedikit posisiku di hatinya. Ternyata apa? Dia jauh lebih mencintai Stella Kuangdinata daripada aku…" kata Sabrina Marcelina lirih.

"Hei!" Melisa Rayadi seakan-akan terjengat listrik bertegangan tinggi, "Gadis yang dicintai Erick itu juga Stella Kuangdinata namanya!"

Sabrina Marcelina serta-merta berpaling ke lawan bicaranya. Kontan kering langsung air matanya. Dia tampak bersemangat sekarang. Matanya kembali bersinar dipenuhi oleh harapan, harapan dia bisa membuktikan perselingkuhan gadis penipu itu dan mendapatkan Erdie Vio kembali.

"Apa kau yakin, Mel?"

"Tentu saja aku yakin… Erick berkali-kali menceritakan perempuan itu di hadapanku, tanpa sekali pun menghiraukan perasaanku. Aku yakin seyakin-yakinnya nama gadis itu adalah Stella, Stella Kuangdinata!" kata Melisa Rayadi mulai tampak geram juga sekarang.

"Aku juga yakin gadis lain yang dicintai oleh Erdie itu Stella Kuangdinata. Dia juga berkali-kali menceritakan tentang gadis itu di hadapanku tanpa menghiraukan perasaanku sama sekali!" Sabrina Marcelina menghela napas panjang. Dia terhenyak berat di tempatnya.

"Apa maksudnya ini? Jadi tanpa mereka sadari, mereka telah dibohongi dan akhirnya berpacaran dengan satu gadis yang sama?" Melisa Rayadi menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Oke… Oke…" kata Sabrina Marcelina sekonyong-konyong mendapat ide baru. "Bagaimana kalau malam ini kita pertemukan saja Erick dan Erdie dengan Stella Kuangdinata di satu tempat yang sama, Mel?"

"Hmm…" tampak Melisa Rayadi mereka-reka dalam hati. "Oke deh kalau begitu. Biar tahu rasa gadis pembohong itu! Entah apa tujuannya dia berbuat begitu!"

"Jelas malam ini dia tidak mungkin kencan dengan Erick dan Erdie dalam waktu bersamaan. Dia pasti memilih salah satunya. Iya kan? Di saat dia sedang berkencan dengan salah satunya, kita datangkan yang satunya lagi. Biar tahu rasa si pembohong itu, Mel! Bagaimana menurutmu?"

"Boleh juga… Kalau begitu, aku akan pulang dulu dan siapkan baju latihanku," kata Melisa Rayadi mulai beranjak dari tempat duduknya.

"Oke… Aku juga… Jadi semangat aku latihan malam ini…" kata Sabrina sambil mengerling-ngerlingkan matanya dengan penuh arti.

***

Akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Begitu naga masuk ke jurus tidur atas, naga meliuk-liuk dengan kecepatan tinggi dalam pergerakan kuo ciang long. Beberapa saat kemudian, badan naga mulai bergerak melingkar selama beberapa kali dan akhirnya memasuki pos akhir.

Musik pengiring memasuki tahap penyelesaian. Akhirnya, seluruh musik pengiring dan badan naga pun berhenti.

Sabrina Marcelina dan Melisa Rayadi saling memberi kode dengan kedua sinar mata mereka sejenak. Tampak 3E mulai sibuk dengan telepon genggam masing-masing. Sabrina Marcelina mendekati Erdie Vio, sementara Melisa Rayadi mendekati Erick Vildy sembari pura-pura menyapu lantai satu bangunan sanggar Solidaritas Abadi itu.

Erdie Vio tampak menekan-nekan telepon genggamnya dengan cepat, namun raut wajahnya sama sekali tidak menunjukkan senyum.

"Kalau mau pergi kencan, pergilah. Tak apa-apa. Aku bisa naik becak mesin pulang nanti," kata Sabrina Marcelina dingin, datar tanpa emosi.

Erdie Vio mengangkat kepalanya dari layar teleponnya ke wajah Sabrina Marcelina yang masih menyimpan barang-barang ke dalam kardus. Mendadak wajahnya yang tanpa senyum barusan, kini menampilkan senyumannya yang khas nan mempesona.

"Antar kau pulang ya antar kau pulang. Apa susahnya sih? Kok kau sewot begitu sih?" kata Erdie Vio sembari bersenda gurau.

"Nggak…" kata Marcelina tersenyum sekarang. "Maksudku, kalau kau ada kencan dengan si Stella malam ini, ya aku nggak ganggu. Aku bisa naik becak mesin sama-sama dengan Melisa. Kan rumahku dan rumah Melisa berdekatan."

"Nggak…" kata Erdie Vio masih dengan senyuman semangatnya. "Aku nggak ada kencan malam ini. Aku antar kau pulang saja. Jangan lama-lama ya… Aku tunggu di halaman."

Erdie Vio mulai mengenakan jaket hijaunya. Dia mengambil helm hijaunya dan akhirnya menghilang keluar.

Sabrina merasa aneh sekarang. Segera dia mengeluarkan telepon genggamnya dan mengirim pesan BBM kepada Melisa.

"Erdie tidak ada kencan malam ini katanya. Justru dia mau mengantarku pulang. Kok aneh ya? Ada apa ini ya? Bagaimana dengan Erick? Jika Erdie tidak ada kencan, berarti Ericklah yang akan kencan malam ini…"

Melisa Rayadi mengerutkan dahinya membaca pesan BBM dari Sabrina. Ia berpaling ke arah Erick Vildy sekarang. Rupanya sudah sejak beberapa detik yang lalu Erick Vildy memperhatikannya dari kejauhan. Begitu mata mereka bertemu, Erick Vildy langsung mengenakan jaket merahnya dan mengambil helm merahnya dari rak helm. Erick Vildy berjalan ke arahnya.

"Sudah mau pulang? Kau ikut aku atau bagaimana?" tanya Erick Vildy datar, tanpa emosi.

"Kau tidak kencan malam ini?" tanya Melisa berusaha tersenyum santai. Oh, karena tidak ada kencan, kau baru menawari aku tumpangan! Kau kira aku ini apa, Rick? Teman mengobrol? Ban cadangan? Enak saja…!

"Nggak… Aku free malam ini… Kau ikut aku atau bagaimana?"

"Oh, tidak usah, Rick…" kata Melisa Rayadi masih dengan senyuman yang sama. "Aku sudah terlanjur janji dengan becak mesin langgananku. Nanti sudah janji, orang sudah datang, kita tidak jadi naik, kan mengecewakan orang itu namanya kan?"

"Oke… Baiklah… Aku pulang dulu… Sampai ketemu besok…" kata Erick Vildy tersenyum agak sumbang dan kemudian ia menghilang keluar dari bangunan sanggar.

Sabrina mendekati Melisa sekarang.

"Erick tidak kencan malam ini. Erdie juga tidak kencan malam ini. Apa karena si Stella itu sakit sehingga ia tidak keluar malam ini?" Melisa mulai mengerutkan dahinya.

"Iya ya…" mendadak Sabrina mendapat satu pemikiran baru. Pemikiran baru itu seketika menerobos masuk ke dalam padang pikirannya. Dia menarik lengan baju Melisa Rayadi dengan kuat sehingga mereka kini memperhatikan sosok Erwie Vincent yang entah kenapa masih berkutat dengan telepon genggamnya dan belum meninggalkan bangunan sanggar.

Mata Melisa Rayadi membelalak lebar sekarang.

"Jadi maksudmu adalah Stella Kuangdinata itu akan berkencan dengan Erwie malam ini? Mungkinkah itu, Rin?" Melisa Rayadi menutupi mulutnya dengan tangan kirinya.

"Semoga itu hanya khayalanku. Semoga itu hanya firasatku. Semoga saja itu tidak benar, Mel…" kata Sabrina mulai tegang sekarang. "Tapi, tidak ada salahnya kau membuntuti ke mana Erwie pergi malam ini bukan?"

"Hah?" mulut Melisa Rayadi menganga seketika. "Aku yang bertugas membuntuti?"

"Iya… Soalnya tadi aku sudah terlanjur berjanji ikut Erdie pulang. Begini saja, Mel… Kau ikuti ke mana Erwie pergi malam ini. Jika memang ia berkencan dengan Stella Kuangdinata itu, kau segera telepon aku… Oke ya…? Aku akan cari alasan mendatangkan Erdie ke tempat itu. Sementara itu, kau juga harus mencari berbagai alasan sehingga Erick mau ke tempat itu. Oke kan rencana begitu?"

Melisa Rayadi mereka-reka selama beberapa saat. Sebenarnya ia enggan ikut campur ke dalam masalah pribadi orang. Namun, ini juga menyangkut laki-laki yang sangat ia cintai dan ia harap-harapkan sejak kecil. Dia mau tidak mau harus menyingkap fakta yang sebenarnya dari gadis pembohong itu malam ini. Dia harus membuka mata Erick Vildy malam ini dan mendapatkan laki-laki itu kembali.

"Oke deh kalau begitu… Aku yang akan membuntuti ke mana Erwie pergi malam ini. Aku akan segera mengabarimu," kata Melisa menghela napas panjang lagi.

"Semangat, Mel…. Kutunggu kabarmu ya…" kata Sabrina Marcelina langsung segera menghilang dari bangunan sanggar.

"Kok belum pulang, Wie?" tanya Melisa Rayadi sengaja mengeraskan suaranya karena di dalam bangunan sanggar hanya tinggal dirinya dan Erwie Vincent.

Erwie Vincent hanya membalas pertanyaannya dengan sebersit senyuman santai.

"Ada kencan ya?" tanya Melisa Rayadi sembari tersenyum nakal.

"Belum waktunya, Mel," kata Erwie Vincent mengangkat bahu dan tersenyum santai lagi. "Jika sudah tiba waktunya, aku akan mengenalkannya pada kalian semua. Oke ya…?"

Erwie Vincent langsung mengenakan jaket kuningnya. Ia mengambil helm kuningnya dari atas rak helm. Sejurus kemudian, di dalam bangunan sanggar tersebut, hanya tersisa Melisa Rayadi seorang. Melisa mematikan semua lampu. Dia mulai membuntuti ke mana Erwie Vincent pergi setelah ia mengunci pintu depan dan pintu gerbang.

***

Melisa Rayadi turun dari becak mesin. Erwie Vincent datang ke sebuah kafe yang berkonsep kafe taman. Kafe taman tersebut tampak romantis apabila dijadikan tempat berkencan. Memang benar Erwie Vincent adalah laki-laki yang lemah lembut nan romantis apabila sudah berurusan dengan apa yang namanya perasaan dan cinta. Melisa Rayadi masuk ke kafe taman tersebut. Di dalam kafe taman, tidak tampak begitu banyak orang. Hanya tampak satu dua meja yang terisi dengan pasangan yang memang mau menghabiskan malam itu dengan penuh keromantisan di bawah penerangan lampu yang remang-remang.

Begitu melihat Erwie Vincent duduk di hadapan Stella Kuangdinata, dengan sigap Melisa Rayadi mengeluarkan telepon genggamnya. Sejurus kemudian, tampak ia menekan-nekan telepon genggamnya dengan cepat sekali. Dia mengirimkan pesan ke BBM dua orang sekaligus.

"Sudah jelas, Rin! Erwie Vincent juga terjebak ke dalam genggaman tangan perempuan itu! Sungguh seorang perempuan rendahan! Dia kira dia bisa mendapatkan hati tiga pangeran sekaligus! Kau bawa Erdie ke sini dan kita beri dia pelajaran!" tulis Melisa dalam pesannya kepada Sabrina Marcelina.

"Rick…! Rick…! Becak mesinku rusak pula di tengah jalan. Aku naik becak mesin yang kedua, malah tersesat pula sampai ke Jalan Dr. Mansyur. Bisa ke sini sebentar dan antar aku pulang, Rick?" tulis Melisa dalam pesannya kepada Erick Vildy.

Erick Vildy yang membaca pesan BBM Melisa langsung naik kembali ke sepeda motornya dan tancap gas ke tempat yang dimaksud.

Sementara itu, otak Sabrina Marcelina juga berputar-putar mencari alasan yang tepat untuk membawa Erdie Vio ke tempat yang dimaksud Melisa. Pikir-dipikir berkali-kali, akhirnya ia memutuskan menggunakan Melisa saja sebagai alasan.

"Die Die… Die Die…" kata Sabrina Marcelina pura-pura panik.

"Ada apa?" Erdie Vio terkejut juga dan menepikan sepeda motornya.

"Melisa bilang nih…" kata Sabrina Marcelina sembari memajukan telepon genggamnya beberapa senti. "Melisa bilang dia tersesat sampai ke Jalan Dr. Mansyur. Abang becak mesinnya tidak tahu jalan. Dia telepon Erick berkali-kali, tapi Erick tidak angkat. Bisa kenapa-kenapa tidak ya?"

"Aduh! Kok goblok banget sih abang becaknya bisa tersesat sampai ke sana!" kata Erdie Vio sedikit menggerutu. "Erick tidak angkat telepon ya?"

Sabrina Marcelina menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia sudah memperhitungkan dengan tepat. Pastinya sekarang Erick Vildy lagi di jalan. Tentu saja dia takkan berhenti di tepi jalan hanya untuk menjawab telepon bukan? Benar saja… Ketika Erdie Vio mencoba untuk menelepon abang sulungnya itu, teleponnya sama sekali tidak diangkat.

"Okelah… Kita ke sana sebentar. Tengok dulu di sana ada yang bisa kita bantu atau tidak. Sesampainya di sana, baru kita coba hubungi Erick lagi," kata Erdie Vio memakai helm hijaunya kembali.

Sejurus kemudian, sepeda motor Erdie Vio sudah kembali melaju di keramaian lalu lintas.

Melisa menunggu di dalam kafe taman. Dia sengaja mengambil tempat duduk yang agak jauh sehingga pasangan sejoli tersebut tidak mengenalinya. Akhirnya, setelah lima belas menit berlalu, dia mendengar suara sepeda motor Erick Vildy mendekati pelataran parkir. Dia sudah mengenal suara knalpot sang pujaan hati sehingga dari kejauhan saja dia sudah tahu sang pujaan hati sudah datang atau belum.

Tampaklah sosok Erick Vildy yang tinggi kekar memasuki kafe taman. Mata Melisa Rayadi kontan membesar karena ternyata abang sulung datang bersama adik bungsu. Sabrina Marcelina yang berdiri di belakang langsung bisa melihat di mana posisi meja Melisa. Akan tetapi, begitu ia hendak memanggil sang pujaan hati dan menunjukkan di mana tempat Melisa Rayadi duduk, dilihatnya pandangan mata lelaki itu sudah nanar. Sabrina Marcelina terperanjat seketika tatkala disadarinya baik Erick Vildy maupun Erdie Vio sudah melihat sosok Stella Kuangdinata dan Erwie Vincent di dalam kafe taman tersebut. Tampak Melisa Rayadi yang terpaku di tempat duduknya dengan tegang.

Naik sudah emosi Erick Vildy sampai ke ubun-ubun! Ternyata inilah alasannya kenapa sampai sekarang aku tidak boleh mem-posting foto apa pun di media sosial! Ternyata inilah alasannya kenapa sampai sekarang aku tidak boleh mengumumkan hubungan kami kepada orang-orang, dan bahkan kepada dua saudaraku sendiri! Jelas tidak boleh dong, Rick…! Yang dipacarinya diam-diam di belakangmu justru adalah saudaramu sendiri! Saudaramu sendiri…! Tidak…! Kenapa ini harus terjadi pada kami…? Kenapa…? Kenapa…?

Naik juga emosi Erdie Vio sampai ke kepala! Tapi, tentu saja ia tidak semarah abang sulungnya yang memang sudah emosional dan agresif dari sananya. Ternyata ini alasannya kenapa aku tidak boleh mem-posting foto-foto kemesraan kami ke media sosial… Ternyata inilah alasannya… Sekarang aku mengerti. Aku mulai curiga dengan segala macam alasannya yang terkadang tidak sinkron satu sama lain. Di satu waktu, dia mengatakan kedua orang tuanya tidak terlalu setuju dia berpacaran dalam usia yang masih dini. Di lain waktu, dia mengatakan dia masih muda dan belum yakin apakah perasaannya terhadapku itu adalah cinta atau bukan. Die… Die… Sungguh bodohnya dirimu mau saja dikelabui oleh seorang gadis yang bisa dibilang lebih muda darimu. Di depanmu, segala macam kata cinta dan kemesraan dia umbar-umbar. Di belakangmu, dia bermesraan dengan laki-laki lain yang justru adalah saudaramu sendiri! Kenapa ini harus terjadi…? Kenapa ini harus terjadi pada kami, 3E? Kenapa, Buddha…? Kenapa…?

Erick Vildy mengambil beberapa langkah besar ke arah meja tempat adik keduanya duduk. Erdie Vio menyusulnya. Melisa Rayadi segera bergabung dengan Sabrina Marcelina. Dari kejauhan, mereka berdua menanti-nantikan pertempuran yang sudah di ambang pintu.

Dalam waktu tidak lebih dari satu menit, Erick Vildy dan Erdie Vio sudah tiba di tempat Erwie Vincent. Sontak sepasang mata Stella Kuangdinata terbelalak lebar. Makanan yang ada di mulutnya hampir saja tersedak keluar. Sekujur badannya mulai panas dingin. Dia mulai berkeringat dingin, dengan sepasang kaki dan tangannya yang gemetaran.

Erwie Vincent tersenyum santai melihat kedatangan kedua saudaranya.

"Rick… Die… Sebenarnya aku mau tunggu sampai semua jelas dulu, baru akan kukenalkan pada kalian berdua. Tapi, karena hari ini kalian sudah muncul di sini, aku rasa lebih baik kukenalkan saja… Ini…"

"Namanya Stella…" kata Erick Vildy dengan gigi-giginya yang bergemeretak.

Tentu saja Erwie Vincent dan Erdie Vio terhenyak kaget. Bagaimana mungkin abang sulung mereka bisa juga terjebak ke dalam genggaman tangan Stella Kuangdinata ini? Ini sama sekali di luar dugaan Erdie Vio! Dia terjerembab ke dalam lubang kejutan yang luar biasa nan mengerikan malam ini!

"Iya… Namanya Stella, Wie…" kata Erdie Vio akhirnya. "Namanya Stella Kuangdinata…"

Kali ini Erwie Vincent dan Erick Vildy yang terperanjat bukan main karena ternyata adik bungsu mereka juga terjebak ke dalam rayuan maut gadis pembohong yang sama. Erick Vildy mundur beberapa langkah secara sempoyongan. Dia sungguh tidak bisa menerima pengkhianatan dan kebohongan ini!

"Kami sudah mengenalnya. Jadi kau tidak usah mengenalkannya pada kami lagi," sambung Erdie Vio lagi.

Erwie Vincent masih berusaha tersenyum santai dan mengklarifikasi semua kebingungan ini.

Erick Vildy dan Erdie Vio sama-sama membuka foto-foto kemesraan mereka dengan Stella Kuangdinata. Dua telepon genggam dilemparkan ke atas meja secara serentak. Kini giliran Erwie Vincent yang matanya kontan membelalak lebar begitu ia melihat foto-foto yang tersimpan dalam telepon genggam kedua saudaranya. Ia lantas mundur beberapa langkah. Sekonyong-konyong ia merasa gadis pembohong yang duduk di hadapannya ini begitu hina, begitu rendah, dan begitu menjijikkan!

"Aiihh…!" jerit Stella Kuangdinata berusaha menutupi kedua telepon genggam tersebut dengan kedua tangannya. "Sudah berakhir… Sudah berakhir permainan kita akhirnya… Segalanya sudah berakhir…"

Tampak air mata buaya Stella Kuangdinata mengambang di pelupuk mata.

"Jangan bicara apa-apa lagi! Jangan bicara lagi! Segalanya tidak perlu dijelaskan lagi!" tukas Erwie Vincent mundur lagi beberapa langkah. "Memang bagimu ini adalah permainan bukan? Permainan sudah berakhir, maka penonton pun bubar. Mereka sama sekali takkan peduli dengan cara berakhirnya permainan itu."

"Jadi kalian salahkan aku begitu?" Stella sekonyong-konyong mengangkat kepalanya dan menatap ketiga lawan bicaranya tanpa rasa keder. "Kalian sendiri bukan yang menyuruhku untuk merahasiakan hubungan ini dari dua saudara yang lain? Iya kan? Iya kan, Rick? Kau menyuruhku untuk merahasiakan hubungan kita dari Erwie dan Erdie dulu sebelum kau sendiri siap untuk berkomitmen. Kau juga, Wie… Sudahlah… Akui saja semua perhitunganmu di belakang kedua saudaramu. Jika kau tidak jadi kuliah ke luar negeri, kau baru akan meresmikan hubungan kita di depan kedua saudaramu, keluargamu, dan teman-temanmu. Iya kan? Jika kau jadi kuliah ke luar negeri, hubungan kita akan lenyap terbang tertiup angin, dan kau sama sekali tidak memiliki tanggung jawab moral terhadapku. Bukankah begitu?"

Sontak Erwie Vincent terhenyak bukan main mendengarkan kebohongan-kebohongan Stella Kuangdinata yang benar-benar sudah tidak tertolong lagi.

"Aku sama sekali tidak pernah bilang hubungan kita akan berakhir jika aku kuliah ke luar negeri, Stel. Aku bilang kau akan ikut aku jika aku jadi kuliah ke luar negeri," kata Erwie Vincent sungguh tidak percaya gadis inilah gadis yang menjalin cinta dengannya selama satu tahun belakangan ini. "Kenapa kau bisa mengarang kebohongan yang seperti itu? Kenapa kau bisa dengan gampangnya mencampurkan kepalsuan ke dalam kebenaran-kebenaran yang ada? Kenapa kau bisa berubah menjadi gadis yang tidak tahu diri dan menjijikkan seperti ini, Stel…? Siapa kau sebenarnya?"

"Dan kau, Die…" kata Stella langsung memberondong si adik bungsu tanpa mempedulikan abang keduanya lagi. "Kau juga menyuruhku merahasiakan hubungan kita dari kedua abangmu kan? Dengan alasan papa mamamu mungkin kurang setuju jika kau yang punya pacar dan menikah duluan, kau menyuruhku menunggu dalam ketidakpastian selama setahun belakangan ini. Kau mau mencari amanmu sendiri bukan? Tidakkah kau merasa kau itu egois? Kalian semua egois!" sekarang Stella Kuangdinata mulai berlagak seperti korban dan melemparkan kesalahannya kepada ketiga bersaudara Makmur. "Kalian hanya ingin mencari amannya sendiri! Kalian sama sekali tidak menghiraukan perasaan dan posisiku! Jika kalian bisa berbuat begitu, kenapa aku tidak berhak mencari amanku sendiri juga? Iya kan? Jika aku kehilangan satu di antara kalian bertiga, setidaknya aku masih punya dua sisanya. Iya nggak?"

Mulai tampak sebersit senyuman sinis Stella Kuangdinata yang rendah nan memuakkan. Tidak tahan lagi dengan sandiwara kemunafikan dan permainan politiknya, satu tamparan didaratkan oleh Erick Vildy ke wajah Stella Kuangdinata. Tubuh gadis pembohong itu berputar ke kiri dan menempel pada dinding kaca yang ada di samping kirinya.

"Anggap saja itu sebagai hadiahku karena kau telah menemani saat-saat kesepianku selama setahun belakangan ini. Impas kita ya berarti…" begitu mengatakan demikian, langsung Erick Vildy keluar dari kafe taman tersebut dan tidak mau berlama-lama lagi di sana. Melisa Rayadi mengejarnya keluar.

Tampak Erdie Vio tersenyum lebar, tapi senyumannya itu sarat dengan kesinisan dan penghinaan. Dia mengambil gelas Stella Kuangdinata sendiri dari atas meja dan menuangkan sisanya ke kepala gadis pembohong itu. Namun, gadis itu hanya diam dan sama sekali tidak membalas.

"Itu juga hadiahku karena kau telah bersedia menemaniku selama setahun belakangan ini, Stel. Terima kasih atas service- mu yang begitu memuaskan…" kata Erdie Vio. Kemudian, dengan rasa jijik dan muak yang sudah mencapai klimaks, ia pun berlalu begitu saja. Tampak ia menggandeng tangan Sabrina Marcelina dan keduanya akhirnya menghilang ke pintu depan.

Erwie Vincent tampak tersenyum santai sekarang. Ia sudah bisa mengontrol emosinya. Ia tidak seemosi dan setemperamental Erick Vildy and Erdie Vio barusan. Dia berjalan ke meja kasir dan kembali lagi dengan selembar bon tagihan di tangannya. Bon tagihan dilemparkannya ke meja begitu saja.

"Permainan sudah berakhir bukan?" Erwie Vincent tersenyum santai lagi. "Sebelum turun panggung dan pulang, bon tagihannya jangan lupa dibayar ya… Jika tidak, kau bisa ditugaskan mencuci piring di dapur nanti."

Dengan segenap perasaan muak dan jijik, Erwie Vincent pun berlalu begitu saja. Sejurus kemudian, Stella Kuangdinata pun tidak melihat sosok 3E di kafe taman itu lagi.

Awas saja, 3E! Tidak terima kekalahan kalian telah takluk di bawah kecantikan dan pesonaku, kalian malah membalasnya dengan mempermalukan aku seperti ini! Aku takkan tinggal diam dipermalukan seperti ini! Aku akan membalasnya! Akan kubuat kalian merangkak minta ampun di bawah kakiku! Lihat saja nanti…!

Nächstes Kapitel