webnovel

Delapan Belas.

Haikal menghela nafas.

Setelah selesai mandi dan melakukan semuanya, Haikal memasak mi instan untuk menu makan malam. Dalam hati ia menyesal karena tidak menerima tawaran Iwata untuk pergi ke kafe tempat Sakhi bekerja. Jika tidak ingin menganggu kedua temannya, ia bisa memesan sesuatu untuk dibungkus dan dibawa pulang.

Tidak ada hal khusus yang Haikal lakukan selama di rumah. Ia hanya menghabiskan waktunya untuk menonton televisi, setelah bosan ia akan berpindah tempat dan membaca buku.

Pukul 20.00 seorang teman yang sudah sangat dekat denganya mengirim pesan untuk ikut bergabung dengan mereka yang sedang berkumpul di kafe tempat biasa. Meski sedang tidak melakukan apa pun, sebenarnya Haikal tidak ingin beranjak dari rumah. Ia ingin cepat tidur agar hari ini bisa segera berakhir. Tapi temannya secara berganti-gantian menghubunginya, Haikal pun memutuskan untuk bergabung.

Haikal lepas landas beberapa menit kemudian dan segera sampai di kafe dalam sebuah mol. Tiga orang teman yang ada di sana menyapa. Mereka melakukan tos dan bergaul dengan akrab.

Tiga teman Haikal masing-masing adalah seorang pegawai negri, seorang lagi teknisi di sebuah perusahaan swasta yang telah menikah, dan yang terakhir baru terkena PHK sekitar sebulan yang lalu. Keempatnya sudah akrab sejak di Sekolah Menengah Atas dan semakin akrab karena masih sering berkumpul.

Suasana menjadi sangat heboh saat mereka berkumpul. Banyak hal dijadikan bahan pembicaraan dari gadis-gadis yang lewat di depan mereka, orang yang bertingkah aneh di meja sebelah, hari-hari yang membosankan di tempat kerja, sampai bos-bos yang otoriter.

Mereka saling bercerita dan tertawa. Sesekali salah seorang dari mereka menjadi sasaran sindiran dan bahan tertawaan. Sesekali mereka juga saling mengolok, kemudian kembali tertawa lagi.

Meluangkan waktu untuk berkumpul dan bercerita panjang lebar bersama teman-teman adalah sedikit waktu yang diluangkan dari banyak hari-hari yang membosankan. Mereka tidak selalu sempat untuk menyisihkan waktu. Ada rasa lelah, harus menyelesaikan lemburan, jam kerja yang tidak selalu kosong di saat bersamaan, juga banyak hal lainnya. Tapi di tengah semua itu selalu ada celah untuk berkumpul. Setidaknya beberapa kali dalam sebulan.

"Sampai di mana perkembangan kasus yang terus disiarkan televisi berulang-ulang kali itu?" tanya Tony si pegawai negri.

"Jangan tanya soal itu! Kepalaku mau pecah rasanya," keluh Haikal.

"Ternyata benaran kasus besar, ya," Alexi yang baru terkena PHK menimpali "Kukira cuma berita yang dilebih-lebihkan."

Haikal mengangguk. "Kalian juga harus waspada. Cepat buat laporan kalau ada kendaraan yang hilang. Kalau sampai dipakai untuk membunuh bisa lebih ribet lagi."

"Siap, Pak! Balik kiri bubar jalan!" seru Alexi memberi hormat, kemudian terbahak. Yang lain ikut terbahak juga.

"Kalau begitu, bagaimana perkembangan tentang cewek yang kamu taksir itu?" Tony beralih ke pertanyaan lain.

"Cewek yang mana lagi kali ini?" Pranaja si teknisi yang baru meneguk lattenya bertanya penasaran.

"Wah, kali ini kamu yang naksir? Langka itu, patut dilestarikan." Alexi membuat teman-temannya terbahak lagi.

Tony mengingat-ingat lagi cerita Haikal karena cerita itu sudah lebih dari dua bulan yang lalu dan sepertinya bukan cerita yang sengaja ingin diberitahukannya. "Katanya manis. Kerja di kafe di mana gitu. Tapi cewek itu sukanya sama Iwata."

"Iwata yang di Tim Khusus itu?"

Zeroun mengangguk mantap.

"Wah...!!" Alexi dan Pranaja berseru bersamaan.

"Persaingan yang semakin panas saudara-saudara," Pranaja menambahkan.

Pembahasan tentang Sakhi spontan merusak mood Haikal. Sekarang ia sedang tidak ingin membahas tentang dirinya. Entah itu pekerjaan atau orang yang ia sukai seperti yang pernah diceritakaannya pada Tony tanpa sengaja.

Haikal berdecak. "Aku pulang duluan."

"Pulang?!" Tony terkejut.

"Ngambek, Bro?" Alexi menggoda.

Haikal hanya menepuk bahu Alexi. "Hari ini biar aku yang bayar," tambahnya sembari berlalu menuju meja kasir. Haikal tidak lagi menoleh ke belakang sampai menghilang di antara keramaian.

"Lu sih, Men." Pranaja melimpahkan kesalahan pada Tony.

"Lah, mana aku tahu kalau dia lagi baperan."

Dengan tungangan CBR hitamnya, Haikal melesat menelusuri sepanjang jalan. Tidak ada tempat khusus yang ingin didatanginya tapi tahu-tahu ia berbelok ke simpang tiga jalan MT Haryono, seberang sebuah penggadaian, masuk 100 meter, di sebelah kanan akan terlihat bangunan bata merah dengan grafiti berbagai bentuk dan warna. Bagunanannya sangat mencolok dan ramai dengan banyak kendaraan terparkir di halamannya.

Kafe tempat Sakhi bekerja.

Haikal tidak beranjak dari motornya. Ia bahkan tidak masuk ke area parkir. Dari atas motornya ia mengamati keadaan kafe. Ada kaca besar yang memenuhi sisi-sisi jendela kafe. Haikal bisa melihat seisi kafe dari jendela itu.

Sakhi yang baru keluar dari dapur membawa mampan berisi dua minuman berwarna hijau dan kekuningan. Ia kemudian berhenti di meja pasangan sejoli. Sakhi tersenyum ramah dan berbicara beberapa patah kata. Mungkin sedang menjelaskan minuman apa yang baru ia sajikan.

Senyum Sakhi yang ramah membuat siapa pun yang melihatnya ikut merasa senang. Sakhi adalah tipe yang tidak terlalu banyak bicara, tapi ia bisa membuat orang lain yang berada di dekatnya merasa nyaman.

Diam-diam melihat perempuan yang akan segera menjadi milik temannya adalah hal konyol. Buang-buang waktu. Itu tidak akan meluluhkan hati siapa pun dan hanya akan lebih membebani hatinya. Haikal tahu itu, karena ia juga berpikir seperti itu sebelumnya. Jauh sebelum ia mengenal Sakhi.

Nyatanya, sekarang justru Haikal sendiri yang melakukan sesuatu yang ia sebut konyol dan membuang-buang waktu.

Haikal adalah anak terakhir dari 3 bersaudara. Keluarganya berasal dari status sosial tinggi. Pekerjaan kerabat-kerabatnya yang lain tidak jauh-jauh dari politisi dan pengusaha. Menjadi polisi adalah cita-cita yang ditentang hampir semua anggota keluarga.

Meski ditentang, Haikal tetap bersikeras. Sifat keras kepala Haikal yang kemudian membuat hubungan dengan keluarganya berubah dingin.

Selama berkerja sebagai anggota polisi di satuan Reserse unit Kejahatan dengan kekerasan, prestasi tertingginya dalah masuk dalam Tim Khusus selama dua kali berturut-turut. Tim penyelidik yang disebut-sebut elit karena memiliki banyak tambahan wewenang. Termasuk masalah wilayah yuridiksi.

Pengakuan atas kerja keras yang ingin Haikal dengar sebenarnya bukan dari orang lain, melainkan keluarganya sendiri. Tapi sampai detik ini tidak ada satu kalimat pun yang pernah ia dengar.

Haikal sampai di rumahnya yang sepi. Tidak ada seorang pun yang menyambut kedatangannya atau mengisi ruang-ruang kosong yang ada di dalamnya. Sunyi.

Tempat Haikal tinggal memang tidak besar, tidak juga luas. Tapi karena seorang diri dan dengan mood yang jelek, Haikal merasa rumahnya begitu kosong. Hanya ada dinding-dinding dingin bercat putih. Sepi.

Tidak, tidak!

Haikal bukan orang dengan karakter melankonis menyedihkan. Ia selalu bisa menormalkan kembali suasana hatinya meski telah sampai di titik terburuknya. Haikal baik-baik saja hidup sendiri selama ini.

Di hari kelulusan saat tidak ada satu pun keluarga yang bisa ia undang untuk ikut merayakan, saat pertama kali menjadi seorang polisi dan di tempatkan di sebuah desa yang minim air bersih dan tidak dialiri listrik, tidak seorang pun anggota keluarga yang biasa ia hubungi untuk berkirim pesan atau menanyakan kabar.

Haikal terbiasa dengan itu. Sudah sangat terbiasa jadi tidak perlu untuk menjadi lebih bersedih dari hari-hari yang sudah berhasil ia lewati dengan baik.

Sakhi. Nama itu muncul sekelebat dalam benak Haikal.

Akan ada yang pertama kalinya untuk segala hal, termasuk Haikal.

Ini adalah pertama kalinya Haikal begitu menyukai seseorang. Sangat menyukai Sakhi, tapi juga menyukai Iwata sebagai sahabatnya. Ia menyukai kedua orang itu sejak mengenal mereka setahun yang lalu.

Sebagai seorang pria, Haikal sudah sangat populer sejak kecil. Tapi ia tidak pernah memiliki hubungan serius dengan siapa pun. Ia tidak pernah berikrar untuk mengikat seseorang dalam sebuah hubungan. Pernah dekat dengan beberapa di antaranya, tapi hanya dekat. Hanya sebatas itu.

Haikal mengalihkan pikirannya, memfokuskan pada kasus yang sedang Tim Khusus tangani. Ia membolak-balik kertas yang ada di tangannya, kemudian terdiam berpikir. Mengurutkan semuanya dari awal.

Penyekapan. Kecelakaan lalu lintas. Pembunuhan.

"Akan ada kejahatan lanjutan."

Haikal teringat argumen yang Ken utarakan saat mereka selesai makan siang di kafe tempat Sakhi bekerja.

Saat itu Sakhi tidak mengenakan seragam kerja. Sakhi menggunakan kaos atasan peach dan celana kain berwarna moka. Riasannya natural dengan tambahan eyeliner di kelopak matanya. Wajah Sakhi lebih cerah dibanding hari-hari sebelumnya, senyumnya lebih sering dan lebih sumringah. Ada sedikit noda hitam di pipi kanannya.

Menyadari apa yang memenuhi pikirannya, Haikal menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Harusnya sekarang ia fokus pada kasus.

Fokus pada kasus!

"Kenapa kalian sangat yakin kalau orang itu pelakunya? Dia sama sekali tidak masuk dalam karakteristik pelaku. Profesional atau dari kalangan penegak hukum."

"Kenapa dia bukan pelakunya, dan dari mana kamu yakin kalau dia bukan seorang profesional?"

"Dia tidak punya ketelitian, tidak punya kehati-hatian, dan tidak ada kepercayadirian. Dia hanya orang yang terlihat putus asa dan tersesat."

Haikal teringat adu argumen antara Ken dan Huda. Ken sangat percaya diri. Dia juga pendendam, tidak akan mudah melupakan perlakuan buruk yang orang lain lakukan ke dirinya, tapi sebenarnya anak yang baik. Meski tidak terlalu banyak bicara, dia adalah orang yang ramah, murah senyum. Tidak ingin orang lain khawatir jadi selalu berusaha terlihat kuat...

"Hah!"

Begitu sadar sifat-sifat yang dipikirkannya bukan lagi mengarah pada Ken melainkan Sakhi, Haikal mengerang kemudian menarik-narik rambutnya sendiri. Nyaris gila. Mengalihkan pikirannya pada kasus bahkan sama sekali tidak berpegaruh.

Haikal menarik nafas dalam-dalam. Berusaha menenangkan diri.

Sama seperti Iwata, Ken terlihat begitu menarik bagi Haikal. Tipe orang yang sangat mempercayai firasatnya. Mengatakan semua hal yang ada dipikirannya meski dalil yang dimilikinya hanya insting. Itu sangat berbahaya karena insting tidak memiliki dasar hukum dan tidak bisa diterima sebagai bukti dalam persidangan.

Untungnya Ken sudah mempelajari semua dasar tentang itu di akademinya. Jadi seharusnya ia mengerti dan tidak menuntut terlalu banyak jika yang dikumpulkannya hanya firasat.

"Atmaja Ken." Haikal menggumamkan nama Ken. Ia benar-benar tertarik pada anak itu sekarang.

Haikal beralih pada laptopnya. Ia masuk ke database kepolisian dengan menggunakan akun miliknya dan memeriksa profil Atmaja Ken.

Sekilas tidak ada yang menarik. Semuanya biasa, normal. Tapi Haikal bukan tipe orang yang cukup puas hanya dengan melihat profil orang lain yang ada di depan mata. Ia akan bergerak sedikit lebih jauh meski itu artinya privasi orang lain akan terganggu.

"At-ma-ja-Ken." Haikal mulai bersemangat, moodnya berubah lebih baik.

Malam semakin larut. Langit yang tetap cerah dengan banyak bintang bergemerlapan tidak membuatnya mencekam. Masih ada banyak waktu tersisa sebelum bertemu fajar. Masih harus bertahan sedikit lagi sebelum dininabobokan kantuk. Masih ada yang harus dikerjakan, masih ada yang harus diselesaikan. Karena saat fajar menyapa, tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

***

Nächstes Kapitel