webnovel

Prolog

Author Point of View

Gapyeong, 20 Desember 2004

Seluruh bangunan, jalan, dan pohon natal penuh cahaya indah dan menganggumkan. Seluruh mata kini sedang dimanjakan oleh keelokan pemandangan kota Gapyeong. Tidak hanya anak-anak dan keluarga kecil tapi juga muda-mudi yang sedang dimabuk cinta tidak ingin melewatkan festival tahunan di penghujung tahun ini. Little Prince Light Festival, festival favorit anak-anak pecinta little prince, tokoh buku asal Prancis.

Sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan tiga orang anak itu sedang asyik mengabadikan momen dengan berfoto ria. Ini adalah kali pertama mereka menghadiri festival karena selama ini kedua orang tua mereka terlalu sibuk mengumpulkan pundi-pundi bekal masa depan putra-putri mereka. Jika remaja lain akan lebih memilih untuk menghabiskan waktu liburnya bersama teman tapi tidak dengan salah satu anak mereka. Baginya momen ini sangat berharga. Apalagi melihat wajah bahagia kedua adiknya.

"Ayah, di sini sangat dingin. Aku ingin buang air kecil," lapor remaja tadi pada sang ayah. Ayahnya hanya tertawa melihat wajah anaknya yang sedang menahan sesak. Mereka akhirnya mengantarkan remaja itu ke toilet karena khawatir melepas sang anak di tengah keramaian.

Remaja tadi masuk ke dalam toilet dengan terburu. Tidak dihiraukannya suara hentakan kuat pintu akibat tangan mungilnya. Jelas terlihat kelegaan dari wajahnya setelah semua hasrat yang dari tadi ditahannya sudah terlepas.

"Emmm! Duk... duk... sret."

Suara aneh membuatnya menegang di tempat. Dia tahu jelas jika suara itu berasal dari bilik tepat di sebelah kanannya. Tangannya mengepal berusaha melawan rasa takutnya.

"Emmm! Sret."

Setelah suara itu dia semakin membeku di tempat. Gemetar di tangannya sudah menjalar ke seluruh tubuhnya. Napasnya tertahan, terlalu takut hanya untuk menghembuskan karbon dioksida ke udara yang semakin sesak dirasanya.

Tidak ingin terjebak lama di dalam, remaja tadi dengan buru-buru memasang kembali celananya. Saat ingin keluar dari bilik rasa penasarannya tiba-tiba meningkat. Apa yang terjadi di sana? Apakah seseorang butuh bantuan? Semua pertanyaan itu berlalu-lalang di otaknya.

"Tuk"

Suara ketukan dari dinding sisi kanan atasnya membuatnya semakin bergetar. Perasaannya mengatakan hal ini tidak baik. Dia ingin segera pergi tapi rasa penasarannya mencegahnya karena tidak ada ketukan setelah yang tadi. Perlahan dia tolehkan kepalanya ke sumber suara. Tubuhnya menegang saat menemukan seorang pria dengan pisau berlumur darah di tangan kirinya.

"Stt!"

Jari telunjuk kanan pria itu diletakkan di depan bibir yang mengembangkan senyumnya. Setelahnya pria itu melambaikan tangannya memerintahkan remaja tadi untuk pergi. Dengan rasa takut dia membuka pintu bilik, saat tepat di depan pintu dilihatnya ke arah cermin yang memantulkan kondisi bilik di sebelahnya yang sengaja dibuka lebar oleh pria berpisau tadi. Kembali pria itu menatap sang remaja dan tersenyum sambil menjilati tangannya yang berlumur darah.

Merasa takut dia langsung berlari menghampiri orangtuanya juga adik-adiknya dan sebisa mungkin untuk menormalkan ekspresi wajahnya.

"Kenapa lama sekali?" tanya ibunya.

"Terlalu banyak yang harus dikeluarkan," jawabnya dengan senyum canggung.

"Ayah aku sudah lelah, bagaimana jika kita pulang saja?" pintanya pada sang ayah.

"Kau yakin?" pertanyaan sang ayah hanya dijawab dengan anggukan oleh remaja itu.

"Maafkan oppa, karena liburan kita harus berakhir dengan singkat. Lain kali kita akan berlibur seharian penuh," katanya merasa bersalah kepada adik-adiknya.

"Okay, oppa!" jawab kedua adiknya kompak.

"Baiklah," jawab sang kepala keluarga dan mereka berjalan dengan saling bergandengan. Remaja tadi menoleh ke belakang tanpa disangkanya dia kembali bertatap muka dengan pria menyeramkan dari toilet tadi.

Dieratkan gandengannya pada sang ibu, tubuhnya kembali bergetar menahan rasa takut setelah menyaksikan pembunuhan keji tadi. Niatnya untuk bersenang-senang bersama keluarganya harus hancur. Tubuh wanita yang tergeletak dan penuh darah tadi terus terbayang olehnya. Dia ingin melapor tapi dia hanyalah remaja berumur 13 tahun dengan rasa takut yang lebih besar.

Mobil yang mereka kendarai berjalan pelan karena jalanan yang terselimuti salju cukup tebal. Untunglah jalanan tidak sunyi di malam yang dingin ini.

"Maaf tuan, perjalanan anda harus terhambat karena mobil pembersih saljunya terlambat tiba." Seorang polisi datang memberi informasi penyebab terjadinya macet.

Tingginya tumpukan salju membutuhkan mobil khusus untuk membersihkannya agar jalanan bisa dilewati kendaraan. Tidak heran karena suhu berada di bawah 0 derajat celsius. Remaja tadi menatap ke luar jendela, matanya memerah menahan tangis.

"Maaf," gumamnya lirih dan hanya mampu didengar olehnya sendiri.

Nächstes Kapitel