webnovel

19. Mendung di Pagi Hari

"Jangan hanya berdiam jika kau tak ingin dikalahkan oleh keegoisan seseorang, tapi jadilah kuat untuk mempertahankan diri sendiri bukan hanya merendah untuk meroket," -Jungwoo Hermansyah

.

.

Pagi ini Jungwoo dan teman-teman ngeband-nya mempersiapkan untuk kemeriahan beberapa kompetisi yang diselenggarakan di aula graha kampus dan sebagai penghujung bulan Oktober yang sebentar lagi berakhir. Acara ini ada karena pihak DPM dan BEM yang mengadakannya sebagai salah satu event tahunan, bukan tanpa alasan pula mereka menyelenggarakan acara ini karena pada bulan ini pun Institut tengah merayakan diesnatalis.

Awalnya sih rencana mau di halaman lantai satu gedung graha hanya saja bulan ini mulai musim penghujan jadi untuk konser maupun acara kemeriahannya dilantai empat graha sedangkan untuk stand bazar bisa didalam kelas tiap fakultas.

Jungwoo berjalan menuju tempat latihannya ngeband, kampus memfasilitasi ruang band di lantai enam adipadma bersebelahan dengan ruang teater. Di dalam ruang band Daniel dan Jaehwan sudah menunggunya.

"Si herman dateng noh," ujar Jaehwan.

"Wassappp bro." Seru Jungwoo seperti biasa mereka melakukan tos ala-ala anak laki.

Jungwoo mendekati Daniel yang sedang mempersiapkan microphone.

"Ngapa lu pagi-pagi dah mendung aja tu muka," celetuk Jungwoo saat melihat wajah Daniel suram.

"Ga seru banget tahun ini masa indoor." Sungut Daniel.

"Wahhh iya sih gue juga nggak setuju, outdoor aja sekalian diguyur hujan kan makin mantep." Seru Jaehwan.

"Pala lo, mati kesetrum anjirr...." Jungwoo menggeplak kepala temannya, bener kata Jungwoo alat-alat mereka kan nggak kedap air bisa-bisa kejang diatas panggung kan ga lucu.

Daniel mengangguk setelah itu menoleh ke arah pintu karena ada yang membuka.

"Kak jungwoo," seru seorang gadis, dia menampakkan setengah wajahnya dibelakang pintu.

Jungwoo pun menoleh, "Eh dek, kenapa?" Laki-laki itu mendekati pintu.

Suhyun menyerahkan sebuah map berisi laporan, "Kak ini tanda tangan ketua organisasi yang mau ikut kompetisi sebagai dokumentasi dpm." Jelas gadis itu.

Jungwoo menerima map itu, "Bentar, niellll siniiii..."

Daniel segera keluar ruangan setelah mendengar teriakan Jungwoo. Suhyun menunduk memberi salam.

"Kenapa?" Tanya Daniel, lalu Jungwoo menyerahkan map hijau itu.

"Tanda tangan keikutsertaan kak," sahut Suhyun.

Daniel kembali memasuki ruangan untuk mengambil bolpoin, tidak beberapa lama dia keluar lagi dan menyerahkan map beserta laporan di dalamnya yang sudah ditanda tangani.

"Lo bukannya temennya si yerim ya?" Tanya Jaehwan yang baru saja keluar.

Suhyun menoleh lalu mengangguk, "Iya kak, kakak tetangganya kan?"

"Heéh kok tau??"

"Yeri sering cerita kalo ka jaehwan punya empang dibelakang rumah," gadis itu tersenyum geli saat mengingat cerita temannya kalau sering main bersama Jaehwan di kolam milik laki-laki itu.

Jungwoo dan Daniel seketika tertawa terbahak-bahak.

"Hahaha juragan empang ya lo," tawa Jungwoo.

"Wahh si kupret emang bener-bener,kan jadi nggak keren lagi gue di mata dekting." Dengus Jaehwan.

"Hehe kalo gitu aku permisi dulu kak jaehwan dan kak daniel." Pamit Suhyun tapi mengecualikan sepupunya.

"Kok gue kagak." Ujar Jungwoo.

"Gak ah bauuu, permisi..." Suhyun segera berlari pergi sebelum mendapat omelan dari sepupunya itu.

"Emang adek nggak tau diri huhh, di kasih hati minta jantung," dumel Jungwoo lalu berjalan masuk ke ruangan.

Suhyun segera menemui Renjun yang sudah menunggunya diparkiran adipadma, mereka membagi tugas agar bisa selesai semua hari ini karena besok ada beberapa kompetisi yang sudah dimulai seperti taekwondo dan kompetisi menyanyi.

Walaupun taekwondo dilaksanakan di gedung yang berbeda tapi tetap dengan pengawasan orang-orang kampus.

Suhyun menepuk pundak Renjun dari belakang karena laki-laki itu tengah fokus dengan beberapa lembar laporan yang dia bawa.

"Eh udah?" Tanya Renjun, gadis itu hanya mengangguk.

"Apa lagi sekarang? Ada yang kurang?" Tanya Suhyun.

"Itu tinggal anak-anak yang mau ikut kompetisi besok, viona dan kawan-kawan sih." Sahut Renjun lalu memberikan kertas bertuliskan UKM taekwondo.

"Ada lima anak nih hari ini mereka ada latihan, apa kita kesana sekarang aja," usul Suhyun.

"Oke kita kesana, pake motor gue aja yuk," mereka pun meninggalkan halaman parkir adipadma dan menuju parkiran fakultas Kedokteran Gigi.

Di lorong kelas mereka bertemu dengan Jeno dan Felix yang baru saja keluar dari ruang BEM.

"E-eh mau kemana kalian?" Tanya Jeno.

"Mau ke tempat latihan vio yangyang buat tanda tangan keikutsertaan," sahut Renjun.

"Ya udah sekalian barengan, gue sama jeno ada perlu sama pelatihnya." Ujar Felix.

Setelah mendapat anggukan dari Renjun dan Suhyun, mereka bersama-sama berjalan ke tempat parkir.

Tidak beberapa lama, keempat mahasiswa itu sampai di gedung latihan taekwondo. Tepat setelah mereka sampai, Viona dan Yangyang keluar dari ruangan untuk istirahat.

"Vi itu felix and the gengs ngapain kesini?" Tanya Yangyang sambil menunjuk ketiga laki-laki dan satu perempuan yang baru saja turun dari motor.

"Lah lu pada ngapain?" Tanya Viona agak keras karena jarak mereka yang lumayan jauh.

Renjun mendekat, "Mau liat lo latihan,"

"Viona doang nihhh," sahut Yangyang.

"Coach lo ada nggak?" Tanya Jeno.

"Ada di dalem jen." Sahut Yangyang.

Jeno mengangguk dan berlalu memasuki ruangan, tak lupa dia melemparkan senyuman ke Viona. Felix mengikuti Jeno setelah menerangkan tujuan mereka datang ke gedung latihan.

Suhyun menyerahkan map yang dia bawa sejak tadi, "Nih tanda tanganin sekalian kasih tau temen-temen lo yang lain gih, capek gue mau istirahat dulu," gadis itu lalu duduk di kursi ruangan menjauh dari sahabatnya, sekalian mau ngesis dibawah AC dia tuh soalnya engap udaranya mau turun hujan.

"Yeee emang tamu ngadi-ngadi maen nyelonong aja lu chi," seru Yangyang.

"Mang lo panggil koeun sama yang lainnya gih," suruh Viona.

Yangyang menguyel kepala gadis itu, "Sama aja lo mah." Laki-laki itu meninggalkan Renjun dan Viona yang masih duduk santai didepan gedung.

"Hishhh berantakan nih rambut gue mamanggg!!"

Viona melepas ikat rambut dan menyisir rambutnya dengan menggunakan tangan. Renjun hanya terkekeh melihat gadis itu ngedumel.

"Emm vi," ujar Renjun, indra penglihatannya tetap fokus ke gadis yang berada di sampingnya.

Viona menoleh dan bertemu tatap dengan Renjun, "Ya?"

"Lo belum bales," Renjun menaikkan salah satu alisnya.

Viona agak memundurkan tubuhnya karena jarak mereka yang begitu dekat.

Gadis itu tersenyum kikuk, "Hmm anu itu..."

"Anu apanya?"

Viona tergelak, "E-eh itu, iya deh." Entah kenapa gadis itu jadi gugup dipandang Renjun dengan jarak sedekat ini. Apalagi dengan tatapan teduh milik laki-laki asal negeri tirai bambu itu.

Renjun tersenyum smirk, "Iya apa?"

"Hah? Ya mau,"

"Mau apa?"

Viona mendorong tubuh Renjun karena semakin lama semakin mendekat, kan jadi grogi si Viona.

"Hihhh ngeselin ya lo." Renjun tertawa terbahak-bahak karena melihat komuk Viona.

Renjun mensejajarkan tubuhnya kembali karena dia tadi tertawa sampai kepingkal-pingkal melihat wajah kesal sang gadis.

"Makasih," Renjun menggusak pelan rambut Viona, membuat sang gadis semakin memelototkan mata.

"Ihhh aneh lo, jauh-jauh sonooo!!" Viona terus mendorong-dorong tubuh Renjun, tapi laki-laki itu tak bergeming dan hanya terkekeh senang karena berhasil mengerjai Viona.

"Woyy ngapain lo berdua..." Seru Yangyang, dia kembali bersama Koeun dan Hina.

Viona mengalihkan pandangannya untuk membenahkan rambutnya kembali.

"Jadian ya lo??" Tanya Yangyang setelah duduk di samping sepupunya.

Viona menjotos pelan lengan Yangyang, "Sembarangan."

"Uwuuu salting nih," goda Yangyang sambil memainkan rambut Viona yang sudah terkuncir.

"Lo ngomong gitu lagi, gue tampol ya mang." Yangyang hanya menyengir sambil menjulurkan lidahnya.

"Oh ya nih koeun," Renjun memberikan mapnya.

"Eh rocky mana?" Tanya Viona pada Koeun.

"Masih di dalem tadi lagi bersihin pecahan balok," sahut gadis yang memiliki nama Koeun Nabilah dari fakultas Keperawatan.

"Nah tuh," ujar Hina.

"Lah gue baru tau kalo lo ikutan taekwondo bro." Seru Renjun karena melihat Rocky teman satu fakultasnya.

Rocky mengangkat tangannya untuk melakukan tos, "Yoi."

"Emang nggak lo baca dulu njun daftar namanya," ujar Viona.

"Gue pake nama asli hehe," ringis Rocky.

"Belaga amat kek artis aja lu," sahut Renjun.

Laki-laki yang memiliki nama asli Purnama Minhyuk Abdillah hanya terkekeh kecil mendengar penuturan Renjun.

Setelah menandatangani laporan tersebut, Rocky ikut duduk disamping Renjun yang semula laki-laki itu jongkok.

"Eh kalo gitu gue sama koeun balik kedalem dulu ya guys." Ujar Hina, lalu bangkit dari duduk bersama Koeun.

Kedua gadis itu memasuki ruang latihan kembali.

Jeno dan Felix yang sudah selesai dengan urusan mereka, segera menghampiri teman-temannya yang kini asik mengobrol.

Jeno yang baru sadar dengan kehadiran Rocky dia pun berseru, "Wihh sejak kapan lo ikut taekwondo bro, baru tau gue."

"Udah lama gue," sahut Rocky.

"Eh si mochi mana?" Tanya Felix.

"Tau tuh malah ditinggal, palingan duduk didalem." Sahut Renjun.

Jeno ikut duduk, lebih tepatnya duduk dibelakang Viona karena gadis itu kini malah melamun menatap jalanan yang mulai basah karena gerimis.

Posisinya tuh mereka duduk dilantai halaman gedung latihan sambil ngadep ke jalanan. Jadi arah pandangannya ke depan semua, Yangyang sebelah kiri Viona dan Renjun sebelah kanan sang gadis. Sedangkan Rocky sampingnya Renjun pas kanannya lagi, Jeno memilih duduk belakang Viona dan Felix samping kiri Yangyang.

Jeno iseng main-mainin rambut Viona membuat gadis itu memutar kepalanya dan yang didapatkan dari sang gadis yaitu senyuman mata bulan sabit dari Jeno, duh kan jadi makin gemes liatnya.

"Ngapain lu dibelakang gue?" Tanya Viona.

Teman-temannya yang tidak sadar dengan keberadaan Jeno yang duduk dibelakang Viona, mereka pun ikut menengok.

"Lah ngapa pada liatin gue sih," ujar Jeno sambil melihat ke kanan dan kirinya.

"Ya lu ngapain dibelakang viona si jen." Ujar Renjun.

Jeno mengerutkan kening, "Lah salahnya dimana? Kan sama-sama duduk juga."

"Ya nggak ada yang salah tapi kenapa tiba-tiba disitu sih,"

Viona nggak mempersalahkan Jeno duduk dimana terserah dia, tapi gadis itu heran aja kenapa Renjun kelihatannya nggak suka.

Mereka saling tatap, antara Jeno dan Renjun ditengah-tengah ada Viona nah kan jadi makin bingung dia tuh.

Viona segera melerai dari pada makin sengit kan, "Ya udah si ngapa pada nyolot gitu." Seru gadis itu.

"Lu juga nyolot!!" Seru Jeno dan Renjun berbarengan.

Viona sedikit mendelik, "Ga usah ngegas juga keles."

Sedangkan Yangyang, Felix, dan Rocky hanya diam saja sesekali geleng-geleng kepala dan berdecak kesal karena melihat permasalahan seperti anak kecil.

Viona kembali membalikkan badannya ke depan yang semula berhadapan dengan Jeno. Gadis itu menatap langit yang sebentar lagi menggelap, emang pada dasarnya lagi mager semua, udah tau mau turun hujan masih aja duduk depan gedung latihan bukannya cepet pulang padahal latihan mah udah selesai juga begitu pula urusan tanda tangan.

Akhirnya rintik hujan turun tapi masih nggak ada yang mau gerak maupun pulang. Rocky sendiri yang awalnya pengen cepet pulang, gara-gara diajak ngobrol si Renjun terus jadi urung.

"Lah hujan gaess," celetuk Yangyang.

Viona menengok lalu menjenggut kepala sepupunya itu, "Iyalahhh dari tadi kan mendung ogebbb..."

"Biasa aja tulul jangan ditelinga jugaaa..."

"Lo jugaa!!"

"Lah kok hujan, gimana pulangnya dong." Ujar Suhyun yang baru saja keluar dari gedung. Bisa dilihat kalo gadis itu baru saja tidur karena sang gadis masih mengucek-ucek matanya dan sesekali menguap.

"Enak ya chi, berasa dihotel kan." Sahut Felix.

"Hishhh kebawa suasana nyaman gue tuh," sungut Suhyun lalu duduk disamping Jeno.

"Vi pulang sama gue yuk," ujar Jeno, sekali lagi Viona memutar badannya ke arah laki-laki itu.

"Gak ah nanti lo culik lagi besok kan mau tanding." Sahut Viona lalu ingin berbalik lagi namun lengannya ditahan oleh Jeno.

Jeno terkekeh, "Enggak lah, bareng gue ya nanti mampir richeese gue traktir," mata Viona langsung berbinar.

"Serius?" Jeno mengangguk.

"Ya udah kalo maksa hehe,"

Ya jelas lah mau, gadis itu kan suka sama makanan yang pedas-pedas. Ditawarin ke richeese mah langsung gercep, apalagi ditraktir.

"Yeee beleguk siaa, kalo urusan traktir mah gercep." Sungut Suhyun.

"Iri bilang bu," ujar Viona sambil menaikkan salah satu alisnya.

Suhyun membuang pandangannya, "Sombong pisan ceunah,"

"Cuma viona aja nehhhh," sindir Yangyang.

Jeno menepuk pundak Yangyang, "Lo nanti aja kalo udah bawa mendali, oke."

"Cihh."

"Terus gue balik ke kampus gimana jen?" Tanya Felix yang tadi datang bersama Jeno dan motornya masih ada di kampus.

Jeno menunjuk dengan dagunya ke arah Yangyang, "Kan ada yangyang."

"Dihh nggak dapet traktiran tapi suruh nganter." Ketus Yangyang.

"Ya udah si nanti kalo lo menang gue traktir makan sepuas lo deh." Final Jeno.

Yangyang langsung mengangguk cepat sambil tersenyum lebar sampai giginya kelihatan, sedangkan Viona menatap tidak suka.

"Dasar mamang kampret," dengus Viona.

Renjun yang tatapannya tetap lurus ke jalanan namun telinganya sedang menguping pembicaraan Jeno dan Viona, dia hanya menghela nafas pelan. Bagaimanapun juga dia nggak akan pernah bisa melewati batas.

♥♥♥♥♥

Viona dan Jeno sudah sampai ditempat tujuan mereka. Viona tadi juga sempat mengganti pakaiannya, dia meletakkan totebag yang berisi dobok dijok motor Jeno karena masih sedikit gerimis. Untungnya jok Jeno lumayan besar jadi cukup untuk meletakkan totebag Viona dan beberapa barang Jeno yang sudah ada didalam jok.

Mereka tadi segera pulang setelah hujan mulai reda. Viona meletakkan helmnya lalu menyisir sedikit poninya yang berantakan.

Jeno melepas jaketnya karena agak basah, lalu diletakkan dijok motor. Jaket leather miliknya itu selalu ada dijok motor.

"Yuk," ajak Jeno. Viona mengikuti laki-laki itu dari belakang.

Jeno berhenti di depan richeese lalu berbalik menghadap Viona. Gadis itu ikut berhenti lalu menatap Jeno.

Tangan Jeno terulur untuk mengelap rambut sang gadis karena terkena rintik hujan. Viona tercengang dengan gerakan tangan Jeno diatas kepalanya.

Viona menepis tangan Jeno, "Ckk apaan sih."

Jeno mengkerutkan dahi, "Basah itu rambutnya nanti lo pusing." Laki-laki itu ingin mengangkat tanganya lagi ke arah kepala Viona namun gadis itu segera mencegahnya.

"Bi-biar gue aja," Viona segera mengelap kasar kepalanya.

"Ckk ya udah ayo masuk," dengus Jeno lalu berbalik dan berjalan memasuki richeese. Viona ikut mengintili di belakang.

Viona segera duduk di dekat jendela namun agak ke tengah. Jeno kembali dari tempat order dengan membawa daftar menu.

"Mau apa?" Tanya laki-laki itu.

"Fire chicken level tiga," sahut sang gadis.

"Ihh jangan pedes-pedes nanti sakit perut, level satu aja lah."

Viona menggeleng, "Pengen level tiga jennn..." Rengek Viona.

Jeno menggeleng, "Nggak kalo lo sakit besok gagal tanding, combo fire chicken level satu oke,"

Viona menurunkan bibirnya biar keliatan sedih gitu, "Nggak mau pake nasi tapi," ujarnya lirih masih dengan tatapan sedihnya.

Jeno menghela nafas, "Harus pake nasi, kalo nggak habis ya biarin aja, seenggaknya perut kamu tuh nggak cuma dimasukin fire chicken doang biar netral."

"Ckk pala batu," dengus Viona lalu membuang muka ke samping kiri. Viona nggak sadar kalo Jeno baru saja ngomong pake kamu ke dia. Jeno sendiri pun juga nggak sadar bisa kelepasan ngomong kamu.

Jeno selesai menuliskan pesanan lalu beranjak ke tempat order.

Jeno kembali ke tempat duduk tapi gadis itu tetap membuang muka.

"Hufttt kalo lo sakit perut nanti gimana mau konsen dapet medalinya vi," ujar Jeno lembut.

Viona hanya melirik ke arah Jeno. Soalnya dia pengen banget makan yang pedas-pedas apalagi lagi gerimis gini kan makin enak tapi malah nggak boleh.

"Ihh pundungan, ya udah nanti mampir gramed dulu deh gue beliin novel," ujar Jeno, Viona langsung menengok.

"Kok lo baik sih," sahut Viona. Jeno tertawa sampai matanya tidak terlihat.

"Ckk ga usah ngeselin ya lo, udah mau expect gue." Lanjutnya.

"Iya gue serius, gue beliin novel setelah ini."

"Gak ah, beli sendiri aja gue lagi ada inceran dua novel."

Jeno menyunggingkan senyumannya, "Gapapa gue beliin biar lo nggak pundung lagi."

"Yeee siapa juga yang pundung," Viona memainkan jari-jarinya, dia sebenarnya tidak enak dengan Jeno karena sudah ditraktir.

"Ya udah sih tinggal bilang iya aja, anggap aja support dari gue buat fighter."

"Ihhh ga gitu juga, apalagi tadi lo juga janji sama si mamang,"

Jeno lagi-lagi terkekeh dengan penuturan Viona, apalagi gadis itu sok-sokan mempoutkan bibirnya padahal dalem ati seneng dibeliin novel kalo jadi sih.

"Elahh santuy aja kali, kayak sama siapa aja,"

"Ya tetep aja nggak enak atuh jen."

"Dah ihh, tuh fire chicken udah dateng." Viona mengangguk disertai pesanan yang sudah datang.

Mereka tak banyak berbicara sampai menghabiskan makanan. Viona yang emang dasarnya level satu tidak menggugah pedas di mulutnya, dia tak banyak minum ya menurutnya cuma standar aja malah dirasa manis doang.

Jeno yang melihat ekspresi sang gadis saat memakan ayamnya, dia hanya menahan tawa karena sang gadis sesekali menghela nafas dan menunjukkan kekecewaan.

Laki-laki itu tau betul kalau Viona tuh suka banget sama pedas tapi dia juga tau kalo alhasil nanti perutnya bakalan sakit, dia pernah ngajak makan bareng nasi goreng Viona meminta sambal yang banyak di nasinya eh malah besoknya gadis itu sakit perut sampai-sampai harus izin tidak masuk karena maghnya kambuh.

Jeno nggak mau kejadian itu terulang lagi besok disaat kompetisi taekwondo yang dinanti-nantikan. Biarpun gadis itu nggak suka tapi demi kebaikan dan kelancaran kompetisi Jeno harus tegas, ya walaupun Viona menganggap itu keras kepala.

Jeno melihat dipiring Viona hanya tersisa setengah nasi, lauknya udah habis walaupun sempat nggak suka tapi tetap aja dihabisin dasar anak perempuan nggak pernah mau disalahin hmm. Viona sebenarnya enggan makan dengan nasi, dia sudah kenyang karena ditempat latihan tadi dia banyak minum makanya tadi mau minta ayamnya doang tapi malah nggak dibolehin sama laki-laki berkulit putih bersih dihadapannya.

Creation is hard, cheer me up!

I tagged this book, come and support me with a thumbs up!

Like it ? Add to library!

Have some idea about my story? Comment it and let me know.

Tulisan_Pyycreators' thoughts
Nächstes Kapitel