webnovel

Chapter 12: Good Morning to Our New War

Keberanian, terdengar agung bukan? Aku melihat mereka berbaris di depan pintu kehormatan, berdiri dengan gagah, menanti kejayaan. Kini mereka membara, terselimuti jubah api Sang Putra Neraka, dengan tiap senjata mereka mengacung ke Angkasa.

Pagi ini aku terbangun bersama barisan prajurit dengan baja menyelimuti mereka. Berkilauan senjata di tangan mereka, manusia menyebutnya sebagai batu paling mulia sejagat raya, indah dan berharga, namun keras tiada tara, kami memanggilnya berlian suci.

Dengan mata menyala-nyala, memancarkan cahaya hijau yang mencekam, mereka melangkah bagai benteng yang bejalan. Rapih dan kokoh, dengan disiplin sebagai zirah terkuat mereka. Kini Daratan memanggil mereka, menyerukan tangisan perang atas nama kehormatan.

Para Dubalang sudah bersiap sejak dini hari, memulai hari mereka dengan olahraga dan teriakan-teriakan yang membakar semangat. Mereka yang tinggal di Sfyra hanyalah bangsawan, keluarga para Dubalang dan para wanita yang mengabdi pada Raja Alam, kericuhan di pagi hari bukanlah gangguan bagi mereka.

Amartya kini datang bersama Naema ke desa Sfyra. Penuh rasa hormat, mereka menyambut keduanya, lalu mengantarkan tamu terhormat ini menuju Raja Alam. Amartya seperti biasa meminta izin untuk menggunakan dan melindungi bentengnya, dan seperti biasa pula Raja Alam dengan berbaik hati mengizinkannya.

Karena perang sudah mendekat, Raja Alam meminta kedua anaknya, Pangeran dan Putri Ambawak, untuk mendampingi Amartya dan Naema hari ini. Layaknya semua keturunan utama di suku-suku Penempa Bumi, keduanya merupakan pribadi yang cerdas dan tangguh. Walau dibanding Amartya dan Naema, kecerdasan mereka tak seberapa. Akan tetapi jika bicara soal kekuatan, mereka jauh melebihi para Dubalang yang terkenal kokoh layaknya tembok berlian.

Karena hari ini bala pasukan akan datang, mereka mulai menyiapkan ruang dan tempat untuk para prajurit yang akan mempertahankan Sfyra. Amartya juga meminta para Dubalang untuk menyiapkan beberapa hal yang nantinya akan dirakit para Waraney sebagai peralatan yang akan membantu mereka mempertahankan benteng.

"Oh Naema, aku sampai lupa memperkenal mereka, ini adalah Pangeran dan Putri Ambawak, Yang Mulia Cronus dan Rhea." Ucap Amartya mengadahkan tangannya pada dua raksasa di belakangnya, memperlihatkan kedua pribadi yang berlumurkan berlian di tiap ukiran baju yang terajut di atas tubuh besar mereka. Mata mereka hijau cerah, kulit mereka bersih bagai terbalut susu dan rambut mereka cokelat mulus bagai untaian karamel.

"Senang bertemu dengan kalian Yang Mulia." Naema membungkukkan pandangannya sejenak, lalu menekuk lehernya ke atas, berusaha melihat wajah keduanya yang begitu tinggi ketimbang dirinya dan Amartya.

"Kehormatan ada pada kami Naema, bukankah dirimu juga seorang putri?" Balas Rhea yang meski bersuara lembut, terlihat begitu mengintimidasi karena tubuhnya yang begitu tinggi, sehingga selalu mengadahkan kepala ke bawah setiap kali ingin memandang ke arah gadis (wanita) kecil itu.

"Ah, Putri Salju adalah gelar karena bakatku, beberapa juga bilang karena diriku kelak akan menjadi permaisuri Ardiansyah." Jelas Naema, ia masih kesulitan memandang, ditambah silaunya berlian yang kian berkilauan tertabrak sinar mentari.

"Bukankah ini membuatmu menjadi Permaisuri Salju sekarang? Sebenarnya aku agak heran mengapa Baginda Abak sangat mendukung Tuan Amartya di sini menjadi Penguasa, aku pikir dia rakus akan kekuasaan." Ucap Cronus yang bingung, suaranya begitu berat, hingga tanahpun bergetar tiap kali ia membuka mulutnya.

"Sepertinya dirimu kurang mengenal ayahmu, Yang Mulia. Raja Alam, meskipun terperangkap dalam kerakusan, merupakan seorang raja yang cerdas. Walaupun dirinya tidak memegang kuasa akan seisi Daratan, tetapi dengan bersatunya Daratan di bawah satu pimpinan akan mempermudah segala akses yang dibutuhkan suku Tanah." Tak layaknya Naema, Amartya tak terlalu ingin repot untuk melihat wajah keduanya.

"Mungkin kamu tidak salah soal itu Tuan Amartya, tapi tetap sa—."

Tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari luar benteng menghentikan percakapan Cronus. Hentakan kaki dan senapan menggema ke seluruh Sfyra, bendera merah terlihat berkibar memasuki benteng baja yang bercorakkan berlian, putra-putri Mentari telah datang memenuhi panggilan Tuan mereka.

"Koyak ko ya i koyak ko"

"Koyak ko ya i koyak ko"

"Santine Waraney koyak ko"

"Santine kakenturan o yai koyak ko"

"Santine kapataran o yai koyak ko—"

Suara dari lagu-lagu mereka menggetarkan seisi benteng, diikuti hentakan ganas dari senapan api.

Para Waraney pun berbaris di depan gerbang Sfyra seraya menghadap Amartya dengan disiplin. Tatapan mereka garang dan penuh amarah, tubuh mereka begitu panas dan membara, senjata-senjata mereka menyala-nyala dibalut api yang tak kunjung padam.

"Ngapain kalian sok-sok galak begitu, minta ditampar?" Namun wajah Amartya terlihat lebih ganas ketimbang para Waraney.

"Hehehe, maaf Tuan, kita kan lagi di luar kawasan Maksallatan." Jawab seorang gadis Ina Waraney di barisan terdepan.

"Aku kira kakanda bilang akan datang 999 Waraney, mengapa hanya ada 666?" Tanya Naema.

"Tunggu, apa!? Kamu bisa menghitung jumlah mereka? Secepat itu!?" Tampak kaget lagi kagum, raut Amartya benar-benar sesuatu yang luar biasa untuk dipandang.

"Tapi ya, benar, satu regu Waraney berjumlah 333, dan satu grup aku letakkan di satu desa yang menurut ayah akan menjadi tempat turunnya para Ilmuan Langit."

"Apa yang akan kakanda lakukan dengan mereka?"

"Tentu saja berusaha menyabotase rencana perpindahan musuh kita. Ngomong-ngomong Raja Magnet juga akan memberitahu kita jika mereka mulai berpindah dan di mana."

"Raja Magnet? Dia ada di pihak kita?"

"Mau bagaimanapun juga dia tetap seorang Ambawak, tentu saja dia akan membantu melindungi kampung halamannya, dan bicara soal dirinya, sebenarnya dia memiliki banyak peran dalam perang ini, akan aku jelaskan nanti."

Setelah itu, Amartya mulai meminta para Waraney untuk membantu Dubalang-Dubalang di dalam untuk mempersiapkan tempat-tempat perkemahan bala pasukan yang akan datang. Ia juga meminta mereka untuk mulai memasang perangkat-perangkat perang yang akan membantu posisi Penempa Bumi untuk semaksimal mungkin bertahan dari hujan sihir pasukan Langit.

Waraney membangun kemah mereka di bagian selatan benteng Sfyra, di antara benteng dan kediaman Amartya. Tetapi mereka menaruh perbekalan perang mereka di dalam benteng, demi keamanan dan efisiensi. Di atas tembok Sfyra telah ditaruh sekumpulan meriam, dan Waraney turut menaruh milik mereka berbagai macam jenis peluru dari kristal elemen.

Matahari kini berada pada puncaknya. Benteng Sfyra sudah dikelilingi duri-duri raksasa untuk menghalau datangnya pasukan berkuda (walau jujur tak satupun kavaleri di Dunia ini terganggu oleh duri-duri itu). Tembok-tembok kecil juga dibuat di sekitar benteng untuk perlindungan para pemanah cilik yang nanti akan datang. Sementara di atas tembok terdapat banyak dinding logam anti sihir untuk dijadikan perlindungan para Waraney yang akan berjaga di atas tembok. Mereka juga memasang beberapa elemen kejutan untuk menyambut kedatangan pasukan Langit nanti.

Selain itu, bala pasukan dari Vhisawi akhirnya datang. Prajurit Vhisawi memang terkenal tak terlalu peduli pada kedisiplinan yang berlebihan, jadi mereka masuk ke benteng layaknya rakyat biasa yang sedang berkunjung ke Istana.

Amartya sedang tidak dalam suasana hati yang cukup baik untuk mengurus mereka, karena kedua putra mahkota lama kelamaan mulai membuatnya jengkel dengan ketidak pahaman mereka akan perang. Jadi dia hanya menyuruh para Vhisawi untuk membangun kemah, dan pria yang ia minta untuk mengurus toksik pemanah ciliknya, Grimm, tinggal sebentar sampai Ester datang.

Mau setoksik apapun sikap Grimm, dia tetap tak akan berani membantah perintah Amartya, terutama saat mood pria api itu sedang tidak baik. Sebenarnya tak satupun orang kecuali Cronus dan Rhea berani mengusik amarah Amartya, sayangnya kedua raksasa ini terlalu lugu untuk menyadari konsekuensi kejengkelan sang pemegang api.

Para Vhisawi pergi ke bagian barat benteng Sfyra yang mengarah ke Ratmuju, untuk membangun kemah mereka. Mereka ingin sejauh mungkin dari suku lain atas alasan keamanan, karena mereka belum 100% yakin dengan vaksin mereka.

Sementara para Dara Komodo, mereka berkeliaran di gerbang Sfyra karena penasaran dengan hal-hal yang dikerjakan Waraney dan Dubalang. Mereka mungkin bersikap layaknya hewan, namun toksik di tubuh mereka dapat dikendalikan dengan sangat baik oleh gadis-gadis kadal itu. Insting mereka juga sangat cekatan dalam membedakan mana kawan dan mana lawan. Bisa dikatakan, kehadiran mereka jauh lebih aman ketimbang Vhisawi lainnya.

Nächstes Kapitel