webnovel

Tragedi 23 ! (2)

Dokter Emma berbaring. Bernapas. Seluruh tubuhnya merasa sakit yang luar biasa hingga ke tulang. Dokter Tio dan perawat Susi mengamati Emma dengan seksama.

" Dokter Emma, kamu masih ingat wajah pelaku nya? " tanya Tio.

Emma hanya diam. Mulutnya tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun dan itu membuat Tio semakin khawatir dengan keadaan rekan kerja nya.

" Pria itu memiliki luka bekas jahitan di area mata, " jawab seorang pria yang merupakan pihak keamanan rumah sakit. Dia melihat pelaku melaluo cctv yang diminta oleh Susi.

" Kita harus melaporkan kejadian ini kepihak berwajib! "

" Apa perlu ku kirim rekaman cctvnya juga? "

Tio mengangguk. " Lukanya serius, harus segera ditangani dengan cepat " Kata Tio.

Dokter Latifah memasuki ruangan. Dia menatap Emma dengan raut wajah khawatir. Seperti lukanya cukup serius, pikirnya. Mendengar di rumah sakit ada kasus penyerangan kepada salah satu dokter membuat Latifah sangat marah. Mereka tidak tahu terima kasih. Para dokter berusaha menyelamatkan nyawa mereka tapi mereka membalasnya dengan menyakiti dokter?.

" Kita lakukan operasi, aku yang akan menggantikan Dokter Abbiyya sementara. Dia tidak bisa ku hubungi selama seminggu ini " Kata Latifah menyuruh perawat laki-laki mengangkat tubuh Emma dan membawanya keruang operasi.

" Perawat Susi, bisakah kau berusaha menghubungi Dokter Abbiyya? dia seharusnya menjalankan tugasnya dengan baik. Bukan membolos bekerja " Omel Latifah.

" Baik, Dokter! "

" Kalau begitu, Dokter Tio. kau bantu aku! "

Bunyi sirene yang nyaring di luar sana memecahkan konsentrasi mereka. Mobil-mobil polisi memenuhi halaman rumah sakit, anggota polisi memasuki area rumah sakit dengan membawa senjata masing-masing.

" Semuanya di harapkan untuk keluar dari rumah sakit ini!. Evakuasi para pasien ketempat yang lebih aman! "

Kapten Ardi memberi perintah kepada seluruh penghuni rumah sakit untuk keluar segera mungkin. Pasukkan yang ia bawa kini mulai menggeledah rumah sakit, mencari keberadaan bom yang di sembunyikan. Tak lama, reporter dan cameraman dari berbagai stasiun TV berhamburan memenuhi garis kuning.

" Bagaimana bisa mereka menyiarkan ini ?" Teriak Ardi marah dengan kehadiran para reporter yang semakin berdatangan. Bahkan anggota timnya pun kewalahan memperingati mereka untuk menjauhi area rumah sakit.

Ah! pekerjaan kali ini membuatku sakit kepala, pikirnya. Ghibran yang melihat Ardi tengah frustasi menghadapi situasi saat ini berusaha mengikatannya. Tetap fokus dan cari dengan teliti adalah perintah yang dikeluarkan Ghibran kepada Ardi.

Semua orang bergerak gelisah, begitu paniknya mengevakuasi para pasien untuk kearea yang lebih aman. Namun, berbeda dengan salah satu ruang operasi. Mereka semua fokus menyelamatkan pasien yang mereka tangani, berharap jika polisi berhasil menemukan bom yang ada di rumah sakit segera.

" Siapa yang ada di dalam ruang operasi saat ini? " Tanya Rendy kepada seorang perawat.

" Salah satu dokter yang bekerja dirumah sakit ini di serang oleh pria tak di kenal. Dia sekarang tengah di tangani oleh Dokter Latifah " Jawabnya.

" Fadhli, aku akan mencari bom di ruang operasi! " Kata Rendy melalui alat komunikasi yang terpasang.

Fadhli yang mendengar perkataan Rendy melalui alat komunikasi hanya bisa menghela napas lelah. Fadhli tak mau membuang waktu, dia memanfaatkannya dengan baik untuk mencari bom yang tersebar di rumah sakit ini. Dia jadi bertanya-tanya. Dia ingin tahu, alasan mereka menyebar bom di titik keramaian?.Berada di sini, memperhatikan para perawat yang berusaha mengevakuasi pasien di bantu para polisi. Otaknya bekerja lebih keras, membayangkan jika dia adalah anggota teroris maka di mana kah dia akan memutuskan untuk menaruh bom?.

" Saat ini, Organisasi teroris yang meneror NKRI dari balik bayangan mulai menunjukkan diri mereka! kalian paham maksud ku! "

Fadhli menganggukan kepalanya saat mendengar perkataan Ardi melalui alat komunikasi. " Paham! " Dia meninggalkan ruangan menuju lantai paling atas. Ketika ada yang ingin di lindungi, langkah ini merasa ringan. Fadhli meyakinkan firasatnya yang mengatakan jika bom terletak di lantai paling atas. Seiring langkah kaki yang di gerakkan, tercurah teriakkan panik mengiringinya.

***

Mobil patroli berhenti tepat di depan pintu masuk rumah sakit zaleh. Kirana keluar dari pintu belakang, Resga menyusul di belakangnya.

Kirana menyusuri kooridor rumah sakit gelisah, melirik kanan-kiri sambil berdoa agar ia di pertemukan oleh papanya. Seseorang menelpon pihak kepolisian yang mengatakan melihat Abbiyya berada di rumah sakit zaleh. Mendengar kabar tersebut, Resga yang di tugaskan menjaga Kirana pun segera mengantar Kirana menuju rumah sakit zaleh. Kirana begitu takut jika Abbiyya terluka. Namun, ia bernapas lega saat melihat Abbiyya tengah berhadapan dengan seorang pria.

" Mundur,Kirana! " Perintah Resga.

Dia menatap sengit kearah Ardian yang mengetahui kehadiran mereka berdua. " Kenapa kau ada di sini, Kirana? " Teriak Abbiyya.

Kirana memberontak dalam pelukkan Resga, berlari menuju Abbiyya sambil berteriak memanggil Abbiyya. Abbiyya melarang Kirana untuk menghampiri nya apalagi saat melihat Ardian mengarahkan pistolnya kearah Kirana. Resga tidak tinggal diam, dia berlari mengejar Kirana sekuat tenaga. Dor! peluru mengenai bahu Kirana membuat Abbiyya berteriak histeris melihat Kirana yang kini jatuh di atas lantai rumah sakit.

Mereka berlari keluar saat mendengar suara tembakkan, berusaha menyelamatkan diri. Maulidin beristighfar melihat darah yang mengucur dari tubuh Kirana. " Dokter! " Teriak Resga sambil memeluk Kirana yang kini kesulitan untuk bernapas. Terkejut mendapat serangan dadakan tersebut.

Dokter yang berani tak ikut melarikan diri itu membantu Resga menangani Kirana. Abbiyya hanya bisa melihat penyelamatan Kirana dari kejauhan, ia tak dapat melangkahkan kakinya.

" Apa yang kau pikirkan Ardian!" teriak Abbiyya penuh amarah. Ia merasa sakit hati melihat anaknya tertembak di hadapannya.

Resga mengarahkan pistolnya ke depan, setelah memastikan jika Kirana telah ditangani oleh dokter, ia melangkah ke depan. Terus melangkah hingga berada di samping Abbiyya.

" Serahkan dirimu, Tuan Ardian! " Perintah Resga tegas.

Ardian mengeluarkan senyuman mengejeknya, tak ragu melepaskan tembakkan ke arah mereka. Abbiyya bergerak, melindung Maulidin yang menjadi target selanjutnya. Dor! peluru lurus mengenai Abbiyya, terjatuh ke dalam pelukkan Maulidin yang terkejut akan pergerakkan Abbiyya.

Rintihan kesakitan dapat di dengar oleh Maulidin, kedua tangan bergetar karena terkejut. " Ardian! " Teriak Maulidin yang kini emosi. Maulidin semakin mempererat pelukkannya.

Ardian menyipit. " Aku hanya menjalankan tugas ku " Kata Ardian.

Resga menggeram, " Tugas apanya? membunuh orang-orang tak bersalah maksudmu? " Kata Resga.

" Ya, karena aku akan menjadi penerus ayahku maka aku harus membunuh orang-orang yang ku sayangi, termasuk mereka berdua."

"...Sebentar lagi bom akan meledak, lebih baik kalian cepat pergi dari sini—" seringaian licik diperlihatkan oleh Ardian, "—atau mati disini bersama pasien lain nya " lanjutnya lalu pergi meninggalkan mereka bertiga.

" Ukh, kita harus membawa Chandra. Dia sudah banyak membantu ku. " kata Abbiyya, terbatuk-batuk saat berusaha mengeluarkan suaranya.

Maulidin menganggukan kepalanya setuju. Memberitahukan kepada Resga untuk membawa keluar Chandra dari rumah sakit. Resga nampak kesulitan karena harus menuruni tangga.

" Tidak ada kursi roda ".

Mereka bersusah payah membawa Chandra dan juga Abbiyya. Namun saat mereka hampir sampai menuju pintu keluar sebuah ledakkan tak dapat dihindari. Menciptakan kepanikkan.

***

" Kapten, Rumah sakit Zaleh dikabarkan meledak barusan " Lapor seorang polisi yang berada di timnya.

Ardi dan juga Ghibran terkejut mendengar laporan tersebut. Apalagi rumah sakit zaleh tidak termasuk kedalam daftar lokasi yang mereka temukan di boneka milik Kirana.

" Apa kita di tipu? " Tanya Ghibran.

Boomm!

Setelah ledakkan bom di rumah sakit Zaleh, bom kembali meledak di rumah sakit swasta harapan. Semua panik, berhamburan menjauhi lokasi kejadian. Begitu juga dengan pasukkan kepolisian dan beberapa pasien.

Dalam kepulan asap dan reruntuhan, Dokter Tio dan perawat susi mendorong ranjang pasien yang ternyata itu adalah Dokter Emma yang selesai melakukan operasi. Para dokter dan perawat membantu mereka untuk pergi kelokasi yang lebih aman.

" Dimana Dokter Latifah? " Teriak Tio.

" Dia aman!" Jawab perawat susi saat mendapatkan kabar jika semua dokter dan perawat selamat.

" Dimana Fadhli? " Teriak Rara, seorang polwan yang ikut membantu menevakuasi penghuni rumah sakit.

" Tidak ditemukan! " Lapor seorang Polwan yang tak jauh berdiri dari nya.

Rara semakin khawatir mendengar tidak ada tanda-tanda kehadiran Fadhli. Dalam hati ia terus berdoa akan keselamatan kekasihnya. " aku tidak akan memaafkan mu, Fadhli. Jika kamu meninggalkan ku " Bisik Rara dengan airmata yang mengalir.

" Fadhli di depan! " Teriak Rendy saat melihat Fadhli keluar dari reruntuhan bangunan sambil menggendong anak kecil berusia 5 tahun. Fadhli menyerahkan anak tersebut kepada perawat untuk di tangani.

" Apa ada yang terluka? " Tanya Fadhli dengan senyuman hangatnya.

Rara berlari kencang kearah Sim dan memeluk tubuh Fadhli. Memukul dada bidang Fadhli sambil mengeluarkan kekesalannya kepada Fadhli. ia hanya bisa meringis menahan sakit, pukulan Rara tidak main-main. " Maaf! " bisik Fadhli sambil memeluk Rara. Rara menangis dalam pelukkan hangat Rara.

" Laporan mu! " Perintah Ghibran.

" Ghib, dia baru saja—" Rara ingin protes, namun Fadhli menghentikan perkataan Rara dengan cepat. "—anak itu membawa bom dan menyembunyikannya di lantai paling atas. Aku ingin memanggil tim penjinak bom, tapi tidak sempat sehingga kami melarikan diri dengan cepat ".

Ghibran menganggukan kepalanya pelan,

" Taman bermain, dan Mall adalah target mereka selanjutnya. Jika kita mengikuti petunjuk yang kita dapatkan kemungkinan sekitar 30 menit lagi " Kata Ghibran.

" Bagaimana jika petunjuk itu palsu? " Tanya Diki, rekan Ghibran.

" Semoga saja tidak! "

...

Nathan keluar dari mobil yang ditumpanginya bersama dengan Intan, Alvar, Aryan, Satria dan juga Herman. Menatap bangunan di depan mereka dengan raut wajah serius.

" Kita mulai! " Perintah Nathan lalu memasang kacamata hitam miliknya.

Melumpuhkan para penjaga perusahaan Moon dengan keahlian mereka masing-masing. Merunduk, saat tembakkan menghujani mereka berenam. Nathan memberi isyarat kepada rekan-rekan nya untuk segera membagi tiga kelompok berpencar.

Jantung seolah berhenti berdetak, napas seolah berhenti ketika regu Nathan berhasil melumpuhkan bawahannya. Dokter Rizki yang mengawasi dari balik pintu berdecak kesal, ia akui betapa hebatnya kemampuan regu Nathan. Brakk! tubuhnya terpental saat pintu ruang di buka dengan paksa oleh Alvar. Mereka mengarahkan senjata mereka tepat dikepala Rizki yang kini mengangkat kedua tangannya.

" Dimana boss kalian? " Tanya Nathan tegas.

Rizki yang awalnya memasang raut wajah ketakutan kini memasang raut wajah menyeringai, " Di belakang mu~ " kata Rizki. Seketika mereka langsung menoleh kebelakang, sekitar enam puluh pembunuh bayaran mengelilingi mereka. Melindung Rizki dari serangan mereka berenam.

Mereka mulai menyerang, menandang dan memukul. Intan begitu gesit mematahkan pergelangan tangan musuh sekali serang, begitu juga dengan Alvar, Herman dan Aryan. tapi, nampaknya Nathan dan Satria agak kesulitan karena mereka melawan salah satu pembunuh bayaran yang cukup terkenal di situs gelap.

Ghost adalah sebutan pembunuh bayaran yang mereka berdua hadapi. Selalu mengambil organ tubuh korbannya untuk dijual di pasar gelap. " Kuharap organ ku tidak di ambil " Kata Satria.

Nathan tersenyum remeh, " Kita lihat, siapa yang lebih dahulu menjadi korbannya " Kata Nathan.

" Kalian berdua gila! " Umpat Intan saat mendengar taruhan Nathan dan Satria.

Satria dan Nathan tak ingin mengambil pusing perkataan Intan barusan. Mereka menyerang Ghost bersama, menendang, memukul, menghindar hal yang mereka lakukan. Tak ada yang ingin dikalahkan.Bruak! Tendangan maut diarahkan. Ghost terpelanting kebelakang, membuat Nathan dan Satria setidaknya bisa bernapas lega. Ya, hanya sebentar karena mereka diserang oleh pembunuh bayaran lainnya.

***

Panggung pementasan kini menjadi kacau saat beberapa pria bertopeng hitam menembak para pengunjung dengan cara membabi-buta. pengunjung yang ada dihadapan mereka langsung dimusnahkan tanpa rasa kasihan.

Zea Adrian, biasa di panggil Zea yang baru saja menyelesaikan penampilannya kini harus bersembunyi di salah satu ruangan untuk menghindari tembakkan para teroris diluar sana. Zea tidak menyangka jika hal seperti ini akan terjadi di kehidupan nya.

Rasanya ia ingin menangis saat ini juga. Dia belum siap untuk mati muda, Dia masih punya banyak mimpi yang belum tercapai.

" Sial! "

Zea terkejut saat mendengar umpatan kasar di dalam ruangan tempat ia bersembunyi. Ia menoleh kebelakang yang ternyata ada seorang wanita berambut pendek yang tengah mengisi peluru di senjatanya.

" Apa? kau mau ku bunuh? " Tanya Elina dengan nada ketus.

Zea menggelengkan kepalanya dengan cepat. Ini baru pertama kalinya juga baginya ketakutan kepada seorang wanita. Biasanya dia mampu menaklukkan berbagai jenis wanita diluar sana dengan sifat mereka yang berbeda-beda. tapi, kali ini ia tak mau berurusan dengan wanita di hadapannya.

" Kau akan menggunakan itu untuk melawan mereka? " Tanya Zea sambil menunjuk kearah senapan yang ada digenggaman Elina.

Elina menganggukan kepalanya, menghembuskan asap rokok dan mematikan rokok miliknya sekali injak. " Kau mau selamat? ".

" Tentu saja! "

" Maka aku membutuhkan bantuan mu! Siapa nama mu? "

" Zea Adrian!"

" Baiklah, Zea. Aku ingin saat mereka sibuk melawanku, kau pergi menuju alamat ini. Beritahu situasi ku saat ini kepada gadis yang ada di dalam foto itu " Kata Elina sambil menyerahkan selembar kertas dan selembar foto. " Setidaknya dia harus mengetahui keadaan ku saat ini " bisik Elina lirih.

Zea menganggukan kepalanya, " Sepertinya gadis ini sangat berarti untuk mu ".

" Ya, dia sangat berarti bagiku. " Kata Elina menjawab perkataan Zea. Sosok Hafi yang menyadarkan nya, karena Hafi lah ia memilih mengkhianati ayahnya dan keluarganya. Ia akan berjuang, mengkalahkan ayahnya dan memulai kehidupan yang baru tanpa ada darah, jeritan, organ tubuh, dan senjata yang menemani kesehariannya.

Elina bangkit dari posisi duduknya, bersiap ingin keluar dari ruang ganti. " Ha~ Aku harus hidup dan menebus kesalahan ku di masa lalu... " Kata Elina.

...

Dewa mematikan TV yang baru saja menayangkan berita. Menyembunyikan wajahnya yang begitu kacau akibat menangis terlalu lama. Ia mengkhawatirkan keadaan Satria. kejadian ditinggalkan oleh ayahnya membuatnya merasa takut, takut jika hal serupa terjadi kepada Satria.

Hafi yang baru saja keluar dari kamarnya berjalan menuju Dewa, handuk kecil bekas mengeringkan rambut basahnya kini berada diatas kepala Dewa. Membantu menyembunyikan wajah menyedihkannya saat ini.

" Maaf..." Gumam Dewa lirih.

Hafi tak menjawab, membiarkan Dewa menenangkan dirinya saat ini. Bagi Hafi, Dewa pasti akan merasa tertekan jika orang-orang yang dicintainya pergi meninggalkannya. Ini berdasarkan pengalamannya saat melihat langsung proses pemakaman ayah mereka. Saat itu ia masih lah sangat polos, tak menangis saat semua orang menangis melepas kepergian ayah mereka.

Hafi ingin sekali menghibur Kakaknya itu, tapi dengan cara apa?

Nächstes Kapitel